Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali Trisno Nugroho optimistis pada November 2021 dapat mencapai target jumlah merchant pengguna Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) di Pulau Dewata sebanyak 363.100 merchant tahun ini.
"Kami optimistis di November sudah bisa terlewati target merchant QRIS untuk 2021 tersebut," kata Trisno dalam acara Capacity Building Media 2021 di Singaraja, Buleleng, Kamis malam.
Hingga 1 Oktober 2021 sudah ada sebanyak 330.282 merchant pengguna QRIS atau 91 persen dari target di Bali tahun ini. Bahkan Bali masuk dalam 10 besar provinsi di Tanah Air dengan penggunaan QRIS tertinggi.
Selain UMKM, ada 14 mal dan sejumlah pasar tradisional , berbagai destinasi wisata dan akomodasi pariwisata, rumah sakit milik pemerintah dan swasta, hingga di kalangan TNI-Polri menggunakan QRIS di Bali.
Baca juga: BI Bali pacu UMKM untuk ekspor kopi ke Eropa dan Australia
Penerimaan daerah dari sejumlah pajak dan retribusi dari Pemerintah Provinsi Bali dan enam pemerintah kabupaten/kota (Kabupaten Tabanan, Kabupaten Klungkung, Karangasem, Gianyar, Kabupaten Badung, dan Kota Denpasar pun telah menerapkan QRIS.
"Kami terus mendorong agar semakin banyak merchant maupun penerimaan pemerintah daerah yang menerapkan digitalisasi pembayaran dengan QRIS ini karena akan memudahkan masyarakat untuk membayarkan kewajibannya," ucap Trisno.
Ia pun berharap agar penyaluran bansos dapat menggunakan nontunai, sehingga bisa langsung masuk ke rekening penerima.
Dalam kesempatan tersebut, dia mengajak insan media untuk senantiasa membangun optimisme publik, terlebih pariwisata Bali untuk wisatawan mancanegara akan dibuka secara resmi pada 14 Oktober 2021.
"Media merupakan mitra yang sangat penting agar pesan dapat sampai ke masyarakat dengan cepat dan mudah dipahami. Kami mengharapkan sinergitas dengan media yang sudah berjalan dengan baik, dapat ditingkatkan lebih baik lagi," ujar Trisno.
Baca juga: "Bali Jagadhita Culture Week" diharapkan dorong UMKM lebih mandiri
Sementara itu, Kepala LKBN ANTARA Biro Bali Edy M Ya'kub yang menjadi narasumber dalam acara itu menyampaikan materi mengenai mengelola isu ekonomi dalam pemberitaan.
"Ada tiga wilayah yang memerlukan wartawan 'cerdas' yakni mereka yang meliput di wilayah konflik, wilayah bencana, dan wilayah pariwisata. Kita di Bali sebagai daerah pariwisata, tentunya tidak boleh mengabaikan fakta dalam pemberitaan ketika ada kasus," ucapnya.
Tetapi, kata Edy, ketika ada kasus, jangan sampai jurnalis hanya fokus pada pemberitaan kasusnya saja berhari-hari. Jurnalis hendaknya dapat memberitakan solusi atau penanganan terhadap kasus yang terjadi sehingga tidak sampai membuat ekonomi Bali terpapar terlalu dalam.
"Dari sisi Humas, kasus yang besar dapat segera di-stop dengan menghadirkan narasumber utama, seperti dirut atau gubernur/bupati, karena tanpa sumber utama akan mendorong wartawan cari sumber secara ngawur, sehingga kasusnya justru tidak selesai-selesai," katanya.
Menurut dia, hal itu menjadi salah satu dari lima langkah manajemen isu seperti disarankan ahli manajemen isu W Howard Chase & Barry Jones pada tahun 1976, yakni reaktif (melawan/stop), akomodatif, dan dinamis (paduan reaktif-akomodatif). "Kalau skala isu atau kasus cukup besar ya solusinya reaktif atau melawan dengan menghadirkan narasumber utama," kata Edy.
Narasumber berikutnya, Kepala Biro Harian Bisnis Indonesia di Bali, Feri Kristianto, agaknya lebih banyak mengulas mengenai pentingnya "jurnalisme data" karena pemberitaan yang tidak dilengkapi data, termasuk berita yang belum lengkap atau belum terverifikasi.
"Data dengan sumber yang jelas menjadi penting karena dapat menghindarkan potensi penulis terkena gugatan hukum. Di era digital seperti sekarang ini, tentu menjadi lebih mudah untuk mendapatkan data dari sumber-sumber resmi," ucapnya.
Terkait data-data ekonomi dalam pemberitaan, ujar Feri, hendaknya dinarasikan dengan bahasa yang sederhana dan istilah yang mudah dipahami sehingga pesan yang ingin disampaikan mengena pada masyarakat. Untuk pemberitaan ekonomi juga perlu mengikuti trend perekonomian dan perbandingan dengan data pada tahun sebelumnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021
"Kami optimistis di November sudah bisa terlewati target merchant QRIS untuk 2021 tersebut," kata Trisno dalam acara Capacity Building Media 2021 di Singaraja, Buleleng, Kamis malam.
Hingga 1 Oktober 2021 sudah ada sebanyak 330.282 merchant pengguna QRIS atau 91 persen dari target di Bali tahun ini. Bahkan Bali masuk dalam 10 besar provinsi di Tanah Air dengan penggunaan QRIS tertinggi.
Selain UMKM, ada 14 mal dan sejumlah pasar tradisional , berbagai destinasi wisata dan akomodasi pariwisata, rumah sakit milik pemerintah dan swasta, hingga di kalangan TNI-Polri menggunakan QRIS di Bali.
Baca juga: BI Bali pacu UMKM untuk ekspor kopi ke Eropa dan Australia
Penerimaan daerah dari sejumlah pajak dan retribusi dari Pemerintah Provinsi Bali dan enam pemerintah kabupaten/kota (Kabupaten Tabanan, Kabupaten Klungkung, Karangasem, Gianyar, Kabupaten Badung, dan Kota Denpasar pun telah menerapkan QRIS.
"Kami terus mendorong agar semakin banyak merchant maupun penerimaan pemerintah daerah yang menerapkan digitalisasi pembayaran dengan QRIS ini karena akan memudahkan masyarakat untuk membayarkan kewajibannya," ucap Trisno.
Ia pun berharap agar penyaluran bansos dapat menggunakan nontunai, sehingga bisa langsung masuk ke rekening penerima.
Dalam kesempatan tersebut, dia mengajak insan media untuk senantiasa membangun optimisme publik, terlebih pariwisata Bali untuk wisatawan mancanegara akan dibuka secara resmi pada 14 Oktober 2021.
"Media merupakan mitra yang sangat penting agar pesan dapat sampai ke masyarakat dengan cepat dan mudah dipahami. Kami mengharapkan sinergitas dengan media yang sudah berjalan dengan baik, dapat ditingkatkan lebih baik lagi," ujar Trisno.
Baca juga: "Bali Jagadhita Culture Week" diharapkan dorong UMKM lebih mandiri
Sementara itu, Kepala LKBN ANTARA Biro Bali Edy M Ya'kub yang menjadi narasumber dalam acara itu menyampaikan materi mengenai mengelola isu ekonomi dalam pemberitaan.
"Ada tiga wilayah yang memerlukan wartawan 'cerdas' yakni mereka yang meliput di wilayah konflik, wilayah bencana, dan wilayah pariwisata. Kita di Bali sebagai daerah pariwisata, tentunya tidak boleh mengabaikan fakta dalam pemberitaan ketika ada kasus," ucapnya.
Tetapi, kata Edy, ketika ada kasus, jangan sampai jurnalis hanya fokus pada pemberitaan kasusnya saja berhari-hari. Jurnalis hendaknya dapat memberitakan solusi atau penanganan terhadap kasus yang terjadi sehingga tidak sampai membuat ekonomi Bali terpapar terlalu dalam.
"Dari sisi Humas, kasus yang besar dapat segera di-stop dengan menghadirkan narasumber utama, seperti dirut atau gubernur/bupati, karena tanpa sumber utama akan mendorong wartawan cari sumber secara ngawur, sehingga kasusnya justru tidak selesai-selesai," katanya.
Menurut dia, hal itu menjadi salah satu dari lima langkah manajemen isu seperti disarankan ahli manajemen isu W Howard Chase & Barry Jones pada tahun 1976, yakni reaktif (melawan/stop), akomodatif, dan dinamis (paduan reaktif-akomodatif). "Kalau skala isu atau kasus cukup besar ya solusinya reaktif atau melawan dengan menghadirkan narasumber utama," kata Edy.
Narasumber berikutnya, Kepala Biro Harian Bisnis Indonesia di Bali, Feri Kristianto, agaknya lebih banyak mengulas mengenai pentingnya "jurnalisme data" karena pemberitaan yang tidak dilengkapi data, termasuk berita yang belum lengkap atau belum terverifikasi.
"Data dengan sumber yang jelas menjadi penting karena dapat menghindarkan potensi penulis terkena gugatan hukum. Di era digital seperti sekarang ini, tentu menjadi lebih mudah untuk mendapatkan data dari sumber-sumber resmi," ucapnya.
Terkait data-data ekonomi dalam pemberitaan, ujar Feri, hendaknya dinarasikan dengan bahasa yang sederhana dan istilah yang mudah dipahami sehingga pesan yang ingin disampaikan mengena pada masyarakat. Untuk pemberitaan ekonomi juga perlu mengikuti trend perekonomian dan perbandingan dengan data pada tahun sebelumnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021