Kementerian Komunikasi dan Informatika mendorong narasi yang positif sebagai salah satu upaya mengatasi hoaks di dunia maya.

"Dua hal komunikasi (dalam mengatasi hoaks), yaitu kontranarasi dan mendorong narasi yang positif," kata Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kominfo, Usman Kansong, dalam webinar, Rabu.

Selain pandemi virus corona, tantangan besar lain yang dihadapi pemerintah adalah penyebaran hoaks di ruang digital.

Data Kominfo per 29 Agustus menunjukkan terdapat 1.875 isu hoaks yang berkaitan dengan COVID-19. Isu tersebut menyebar menjadi 4.599 sebaran.

Baca juga: Pemerintah: hoaks, vaksinasi jadi syarat masuk tempat ibadah

Sementara untuk hoaks tentang vaksin COVID-19, terdapat 305 isu dan sebarannya sebanyak 2.042 sebaran.

"(Hoaks) ini mengganggu komunikasi publik dalam mengajak masyarakat dalam mengatasi pandemi," kata Usman.

Kominfo melakukan pendekatan dari hulu ke hilir untuk menangani berita bohong ini, yaitu literasi digital di hulu dan kontra narasi serta manajemen konten di hilir.

Kominfo meminta platform media sosial untuk menurunkan (take down) konten negatif, termasuk yang berhubungan dengan virus corona.

Hoaks seputar virus corona dan vaksin COVID-19 berdasarkan data Kominfo, lazim ditemui di Facebook, TikTok, Twitter, YouTube dan Instagram.

Baca juga: Biden: medsos "bunuh" orang dengan hoaks vaksin COVID-19

Selain itu, Kominfo juga membuat kontranarasi atau penjelasan yang benar untuk isu yang dibahas dalam hoaks tersebut.

Kominfo juga melaporkan sejumlah hoaks ke kepolisian jika menemukan unsur pidana. Dari total hoaks soal COVID-19, menurut data Kominfo per 29 Agustus, yang diteruskan ke kepolisian terdapat 767.

Kominfo memiliki tim untuk menyisir hoaks yang beredar di dunia maya dan memberikan label hoaks kepada sebuah konten setelah melalui verifikasi.

Penjelasan atau kontranarasi hoaks tersebut disiarkan di situs resmi kementerian. Dari total 4.599 hoaks tentang COVID-19, sebanyak 4.465 sudah diturunkan.

Kualitas Jurnalistik
Kominfo menilai dunia jurnalistik perlu mempertahankan kualitas di tengah perkembangan teknologi saat ini.

"Kita tentu berharap kompetisi di media digital tidak menurunkan kualitas jurnalisme," kata Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Usman Kansong.

Saat Safari Jurnalistik "Masa Depan Media Pascadigitalisasi Televisi dan Era 5G", Kamis, ia menjelaskan Indonesia sedang dalam tahap migrasi siaran televisi terestrial analog ke digital, beberapa daerah saat ini sudah bisa menonton siaran televisi digital.

Selain pertelevisian, industri telekomunikasi juga sedang menuju jaringan telekomunikasi radio generasi terbaru 5G, yang sudah digelar di sejumlah kota.

Baca juga: MPR: Pers beritakan COVID-19 yang benar berarti tegakkan Empat Pilar

Usman menilai perkembangan teknologi di dua industri tersebut membawa peluang dan tantangan tersendiri bagi dunia jurnalistik.

Siaran televisi terestrial digital membuka peluang kerja sama stasiun televisi dengan televisi lokal. "Sama seperti ketika televisi nasional menyewakan pemancar di daerah untuk dipakai televisi lokal, kurang lebih seperti itu," kata Usman.

Sementara itu, jaringan Internet generasi kelima, 5G, yang menawarkan kecepatan jauh di atas 4G akan membuka peluang kompetisi jurnalistik. Dia memperkirakan akan semakin mudah membuat situs berita sehingga kompetisi akan semakin ketat.

Tantangan yang harus dihadapi, media jurnalistik perlu mempersiapkan bagaimana menghadirkan informasi yang cepat tanpa harus mengorbankan akurasi informasi tersebut.

"Tantangan untuk jurnalisme adalah membangun jurnalisme yang berkualitas di tengah internet yang semakin cepat," kata Usman.

Di tengah kecepatan arus informasi itu, Usman Kansong berharap media tidak lagi melakukan umpan klik atau clickbait, membuat judul yang bombastis agar orang tertarik meng-klik tautan dan membaca berita tersebut.

"Kita ditantang membuat jurnalisme yang baik, yang bermanfaat," kata Usman.


 

Pewarta: Natisha Andarningtyas

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021