Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan terjadi defisit APBN 2021 sebesar 1,72 persen dari Produk Domestik Bruto atau sebesar Rp283,2 triliun hingga semester I 2021.
Sri Mulyani, dalam konferensi pers usai Sidang Kabinet Paripurna di Jakarta, Senin, mengatakan anggaran negara selama semester I terdorong oleh meningkatnya pendapatan negara hingga 9,1 persen secara tahunan (Year on Year/YoY) menjadi Rp886,9 triliun atau 50,9 persen dari target di APBN 2021 sebesar Rp1.743,6 triliun.
Di sisi lain, belanja negara juga terus digencarkan untuk menggerakkan perekonomian di tengah tekanan pandemi COVID-19. Belanja negara pada paruh pertama tahun ini mencapai Rp1.170,1 triliun, atau sebesar 42,5 persen dari target di APBN 2021.
“Realisasi semester I ini defisit mencapai 1,72 persen atau Rp283,2 Triliun,” ujarnya.
Sri Mulyani merinci pada pos pendapatan negara, penerimaan pajak terkumpul Rp557,8 triliun atau tumbuh 4,9 persen dibandingkan tahun lalu. Pada 2020, penerimaan negara mengalami kontraksi yang cukup dalam, yaitu 12 persen atau hanya Rp531,8 triliun di semester I 2020.
Dari penerimaan bea cukai, kata Menkeu, terkumpul Rp122,2 triliun atau tumbuh 31,1 persen (YoY) dibandingkan tahun lalu yang hanya naik 8,8 persen (YoY).
Kemudian, Sri Mulyani menyebutkan realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mencapai Rp206,9 triliun atau naik 11,4 persen (YoY) dari tahun lalu Rp185,7 persen.
Sedangkan, dari pos belanja negara, pemerintah mengeluarkan Rp1.170 triliun atau tumbuh 9,4 persen (YoY). Kenaikan terbesar adalah belanja pemerintah pusat yang bertumbuh 19,1 persen (YoY).
“Dari belanja kementerian/lembaga yaitu Rp449,6 triliun atau naik 28,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan non kementerian/lembaga Rp346,7 triliun atau naik 8,9 persen,” ujar dia.
Sri Mulyani juga mencatat transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) masih mengalami kendala. Hingga semester I ini realisasi TKDD sebesar Rp373,9 triliun atau mengalami kontraksi 6,8 persen dibandingkan semester I 2020.
“Ini (TKDD) meskipun sudah ditransfer masih ada Silpa, berarti belum dipakai oleh para pemerintah daerahnya,” kata Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021