Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly mengatakan pasal penghinaan terhadap presiden/wakil presiden yang diatur dalam RKUHP merupakan delik aduan dan aturan ini sangat dibutuhkan di Indonesia.
"Saat ini aturan tersebut bedanya menjadi delik aduan. Kalau dibiarkan, ketika saya dihina orang, saya punya hak secara hukum untuk melindungi harkat dan martabat," kata Yasonna dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi III DPR RI di Jakarta, Selasa.
Terkait dengan pasal penghinaan presiden tersebut, menurut Menkumham, berbeda dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 013-022/PUU-IV/2006 telah membatalkan pasal-pasal dalam KUHP yang dapat menyasar kasus-kasus penghinaan presiden.
Ia mengutarakan bahwa Indonesia akan menjadi sangat liberal kalau tidak ada aturan terkait dengan penghinaan presiden/wapres dan harus ada batas-batas yang harus dijaga sebagai masyarakat Indonesia yang beradab.
"Misalnya, di Thailand lebih parah aturannya, jangan coba-coba menghina raja, urusannya berat. Bahkan, di Jepang dan beberapa negara hal yang lumrah," ujarnya.
Baca juga: PBNU: Revisi UU ITE harus tetap atur ujaran kebencian
Yasonna mencontohkan dirinya tidak masalah kalau disebut tidak becus dalam menangani lapas dan imigrasi karena itu adalah kritik terhadap kinerja.
Namun, lanjut dia, jangan sekali-kali menyerang harkat dan martabatnya, misalnya mengatakan dirinya sebagai anak haram jadah.
"Kalau sekali menyerang harkat dan martabat saya misalnya dikatakan anak haram jadah, wah, di kampung saya tidak bisa. Dikatakan anak PKI, tunjukkan kalau saya anak PKI," katanya.
Ditegaskan pula bahwa keadaban harus tetap diutamakan masyarakat. Dengan demikian, mengkritik kebijakan presiden/wapres adalah hal yang wajar. Namun, ketika tidak puas, ada mekanisme konstitusi.
Dalam draf RKUHP yang beredar, aturan terkait penghinaan terhadap presiden/wapres diatur dalam BAB II Pasal 217—219.
Pasal 217 disebutkan bahwa setiap orang yang menyerang diri presiden/wapres yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.
Pasal 218 Ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden/wapres dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Ayat (2) menyebutkan tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Baca juga: Facebook: Maret-November, 1 dari 1.000 unggahan adalah ujaran kebencian
Pasal 219 disebutkan bahwa setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap presiden/wapres dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Pasal 220 Ayat (1) disebutkan bahwa tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.
Ayat (2) disebutkan bahwa pengaduan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh presiden/wapres.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021