Denpasar (Antara Bali) - Masih seringnya muncul tukang gosip, provokator atau penghasut di kalangan karyawan pada unit-unit kerja, menjadi salah satu penghambat terbesar dalam upaya membangun dan memajukan perusahaan atau institusi.
Untuk mengatasi hal itu, maka perlu dipastikan dulu bahwa seluruh tim atau karyawan memahami nilai-nilai budaya perusahaan, seperti kejujuran, rasa malu, disiplin, bekerja dengan senang dan semangat, kata Ary Ginanjar Agustian, pendiri ESQ LC & ACT Consulting, Rabu.
Pendiri pusat pelatihan kepemimpinan Emotional Spiritual Quotient Leadership Center (ESQ LC) dan lembaga mitra konsultasi transformasi budaya perusahaan ACT Consulting itu menyampaikan hal tersebut pada talkshow CEO Forum di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah III (Bali & Nusa Tenggara) di Denpasar.
"Kalau masih banyak karyawan yang bekerja atas dasar takut pada atasan, melakukan berbagai hal secara terpaksa, bukan didasari keikhlasan turut memajukan perusahaan, maka akan sulit mencapai 'goals'," katanya pada acara yang diikuti sekitar 150 pejabat atau eksekutif perbankan, perusahaan BUMN, perhotelan dan lainnya di Bali.
Kegiatan tersebut dibuka Direktur Eksekutif BI Wilayah III, Dwi Pranoto, dengan pesan bahwa dampak krisis ekonomi, terutama belakangan yang bersifat global, perlu diantisipasi dengan membangun nilai-nilai budaya perusahaan guna memperbaiki kinerja bisnis di berbagai bidang, baik perbankan, perhotelan maupun usaha BUMN.
Ary Ginanjar yang berbicara dengan tema ""Corporate Culture is the new Competitive Advantage" mengakui bahwa ada saja karyawan dalam suatu unit kerja atau perusahaan yang sulit menyesuaikan diri untuk menerapkan nilai-nilai budaya perusahaan yang baru.
"Jika masih ada yang demikian, ketimbang menjadi penghambat atau friksi, maka lebih baik disisihkan. Kalau dia masih punya rasa malu, maka tidakakan betah berada di lingkungan yang telah berubah dan dengan sendirinya mundur," ucapnya.
Selain memastikan seluruh karyawan memahami nilai-nilai perusahaan, juga mutlak dipastikan seluruh jajaran pimpinan atau manajemen sudah bisa menjalankan hal tersebut dan menjadi contoh dalam praktek sehari-hari.
Jika nilai-nila budaya perusahaan yang memegang peran terbesar dalam membangun perusahaan itu sudah berjalan sesuai harapan, maka tinggal didukung keterampilan, pengetahuan, sistem operasional dan strategi dalam mencapai target (goals), ujarnya.
Pada kesempatan itu juga dicontohkan perusahaan yang tingkat friksinya hanya tiga persen, seperti Perum Pegadaian, sehingga usahanya maju pesat. Kemudian sebuah rumah sakit dengan tingkat kendala 13 persen dan sebuah kementerian penghambatnya masih 22 persen. Kalau tingkat penghambat mencapai 50 persen, maka sebuah perusahaan atau institusi tinggal menunggu ambruk.
Kehadiran Ari Ginanjar itu juga dimanfaatkan untuk sekaligus mengumpulkan para alumni lembaga pelatihan kepemimpinan tersebut dengan menggelar pertemuan di Inna Grand Bali Beach Sanur, Rabu malam.(T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012
Untuk mengatasi hal itu, maka perlu dipastikan dulu bahwa seluruh tim atau karyawan memahami nilai-nilai budaya perusahaan, seperti kejujuran, rasa malu, disiplin, bekerja dengan senang dan semangat, kata Ary Ginanjar Agustian, pendiri ESQ LC & ACT Consulting, Rabu.
Pendiri pusat pelatihan kepemimpinan Emotional Spiritual Quotient Leadership Center (ESQ LC) dan lembaga mitra konsultasi transformasi budaya perusahaan ACT Consulting itu menyampaikan hal tersebut pada talkshow CEO Forum di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah III (Bali & Nusa Tenggara) di Denpasar.
"Kalau masih banyak karyawan yang bekerja atas dasar takut pada atasan, melakukan berbagai hal secara terpaksa, bukan didasari keikhlasan turut memajukan perusahaan, maka akan sulit mencapai 'goals'," katanya pada acara yang diikuti sekitar 150 pejabat atau eksekutif perbankan, perusahaan BUMN, perhotelan dan lainnya di Bali.
Kegiatan tersebut dibuka Direktur Eksekutif BI Wilayah III, Dwi Pranoto, dengan pesan bahwa dampak krisis ekonomi, terutama belakangan yang bersifat global, perlu diantisipasi dengan membangun nilai-nilai budaya perusahaan guna memperbaiki kinerja bisnis di berbagai bidang, baik perbankan, perhotelan maupun usaha BUMN.
Ary Ginanjar yang berbicara dengan tema ""Corporate Culture is the new Competitive Advantage" mengakui bahwa ada saja karyawan dalam suatu unit kerja atau perusahaan yang sulit menyesuaikan diri untuk menerapkan nilai-nilai budaya perusahaan yang baru.
"Jika masih ada yang demikian, ketimbang menjadi penghambat atau friksi, maka lebih baik disisihkan. Kalau dia masih punya rasa malu, maka tidakakan betah berada di lingkungan yang telah berubah dan dengan sendirinya mundur," ucapnya.
Selain memastikan seluruh karyawan memahami nilai-nilai perusahaan, juga mutlak dipastikan seluruh jajaran pimpinan atau manajemen sudah bisa menjalankan hal tersebut dan menjadi contoh dalam praktek sehari-hari.
Jika nilai-nila budaya perusahaan yang memegang peran terbesar dalam membangun perusahaan itu sudah berjalan sesuai harapan, maka tinggal didukung keterampilan, pengetahuan, sistem operasional dan strategi dalam mencapai target (goals), ujarnya.
Pada kesempatan itu juga dicontohkan perusahaan yang tingkat friksinya hanya tiga persen, seperti Perum Pegadaian, sehingga usahanya maju pesat. Kemudian sebuah rumah sakit dengan tingkat kendala 13 persen dan sebuah kementerian penghambatnya masih 22 persen. Kalau tingkat penghambat mencapai 50 persen, maka sebuah perusahaan atau institusi tinggal menunggu ambruk.
Kehadiran Ari Ginanjar itu juga dimanfaatkan untuk sekaligus mengumpulkan para alumni lembaga pelatihan kepemimpinan tersebut dengan menggelar pertemuan di Inna Grand Bali Beach Sanur, Rabu malam.(T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012