Oleh Bistok Simbolon*
Jakarta (Antara Bali) - Judu tulisan ini terinspirasi dari artikel Sdr. Yusril Ihza Mahendra di harian Seputar Indonesia tanggal 11 Juni 2012 yang mengangkat tema "Wamen Versi Baru Tetap Membingungkan".
Setelah kami cermati tulisan tersebut, "kebingungan" itu tampaknya berakar pada ketidakpuasan Sdr. Yusril atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011 yang menguji konstitusionalitas Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Hal tersebut tercermin dari pandangan beliau dalam artikel tersebut yang menyatakan "...Kebingungan yang disebabkan oleh pengaturan yang tidak jelas dalam UU Kementerian Negara itu diatur sendiri oleh Perpres 60/2012".
Itu dapat dimaklumi mengingat Yusril Ihza Mahendra memang terlibat sebagai saksi ahli pemohon dalam perkara pengujian UU Nomor 39 Tahun 2008 terhadap UUD 1945, yang pada intinya berpendapat bahwa pengangkatan wakil menteri (wamen) oleh Presiden tidak sejalan dan bertentangan dengan Pasal 17 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
Pendapat saksi ahli tersebut sudah ditimbangi oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Akan tetapi MK berkesimpulan bahwa tidak terdapat masalah terhadap konstitusionalitas Pasal 10 (batang tubuh) UU Kementerian Negara, yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 adalah Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara yang berbunyi: "Yang dimaksud dengan "Wakil Menteri" adalah pejabat karier dan bukan merupakan anggota kabinet".
Oleh karena itu, Pasal 10 UU Kementerian Negara yang berbunyi: "Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil menteri pada Kementerian tertentu" adalah kostitusional, tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Konstruksi berpikir

Sebelum sampai pada Amar Putusannya, MK dalam pendapatnya dengan akurat membangun suatu konstruksi berpikir yang sistemik tentang kedudukan Presiden dalam sistem Pemerintahan berdasarkan UUD 1945.
Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan menurut Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 berbunyi: "Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.", sementara Pasal 17 ayat (2) berbunyi: "Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden".
Bertolak dari Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 ayat (2) dari UUD 1945 tersebut, MK sampai pada pendapat bahwa pengangkatan wamen adalah bagian dari kewenangan Presiden untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Baik diatur maupun tidak diatur dengan UU.
Pengangkatan wamen sebenarnya merupakan bagian dari kewenangan Presiden, sehingga dari sudut substansi tidak terdapat persoalan konstitusionalitas dalam konteks ini. Pendapat MK tersebut membuat terang hak konstitusional Presiden untuk mengangkat wamen sekalipun tidak ada UU yang mengaturnya, bahkan sekalipun ada uji materi terhadap UU Kementerian Negara.
Sdr. Yusril berpandangan bahwa wamen tidak memiliki kedudukan yang jelas karena tidak ada dalam struktur organisasi Kementerian Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 2008.
Pandangan ini sebetulnya sudah tidak relevan karena sudah terjawab melalui pendapat MK yang menyatakan bahwa norma dari Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 merupakan ketentuan khusus dari Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU a quo yang tidak mencantumkan Wamen dalam susunan organisasi Kementerian Negara. Alasannya, "...oleh karena UU tidak menjelaskan mengenai apa yang dimaksud ¿beban kerja yang membutuhkan penanganan khusus", maka menurut MK hal tersebut menjadi wewenang Presiden untuk menentukannya.
Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 yang berbunyi: "Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil menteri pada Kementerian tertentu", mengisyaratkan suatu amanat bahwa jabatan Wamen tidak secara otomatis terdapat pada seluruh Kementerian Negara.
Sehingga, apabila Sdr. Yusril memandang keberadaan Wamen tersebut harus merujuk pada ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 2008, hal tersebut dapat diartikan mendorong pada situasi agar seluruh Kementerian Negara memiliki wamen. Kalau itu yang menjadi tujuannya, berarti ada keinginan untuk mengubah UU Nomor 39 Tahun 2008.
Pertanyaan mengenai di mana sesungguhnya kedudukan wamen pasca keluarnya putusan MK, adalah pertanyaan yang relevan. Pendapat MK dalam Putusan Nomor 79/PUU-IX/2011 telah memberi isyarat bahwa jabatan wamen tersebut bersifat politis karena sumber rekrutmennya dapat berasal dari Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/Polri, bahkan juga warga negara biasa.
Atas dasar pendapat MK tersebut, Presiden dengan kewenangannya, mengeluarkan Perpres Nomor 60 Tahun 2012 tentang Wakil Menteri, yang menempatkan posisi wamen tersebut berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Menteri (Pasal 1).
Wakil menteri mempunyai tugas membantu menteri dalam "memimpin
"pelaksana tugas Kementerian Negara (Pasal 2 ayat (1)). Karena tugas wamen adalah membantu untuk ¿memimpin" maka berdasarkan Pasal 2 ayat (1) ini, wamen ditempatkan pada posisi pimpinan. Tetapi posisi pimpinan disini ditempatkan pada layer "supporting to the authority of the Minister".
Kedudukan wamen berdasarkan Perpres Nomor 60/2012 tersebut memang tidak sama dengan menteri muda sebagaimana diberikan dalam contoh perbandingan oleh Sdr. Yusril yang merujuk pada masa pemerintahan Presiden Soeharto di mana terdapat Menteri Muda Pemuda dan Olah Raga di dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Jika kita ingin berbaik sangka, maka suatu kesempatan yang baik sebetulnya untuk melihat objektivitas dari keberadaan menteri muda pada masa itu. Dalam pandangan kami, keberadaan menteri muda tersebut justru menimbulkan "matahari kembar" dalam satu kementerian, sehingga dampak yang terjadi kemudian adalah terjadinya pemekaran Kementerian Pemuda dan Olah Raga yang terpisah dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kondisi "matahari kembar" inilah yang justru ingin dihindari oleh Presiden sehingga desain wamen saat ini diposisikan berada dan bertanggung jawab kepada menteri, sehingga, apabila terdapat pandangan yang menghendaki agar kedudukan wamen saat ini harus disamakan dengan kedudukan menteri muda pada masa Presiden Soeharto itu, artinya kita tidak belajar dari sejarah.
Bahwa pendapat-pendapat MK dalam Putusan Nomor 79/PUU-IX/2011 (dalam dokumen tertulis) justru menjadi acuan utama dalam penerbitan Perpres Nomor 60 Tahun 2012 dan Keppres Nomor 65/M Tahun 2012. Penyusunan Perpres dan Keppres tersebut tidak didasarkan (dan tidak boleh didasarkan) pada opini yang berkembang di media massa pasca Putusan MK tersebut.
Tanpa bermaksud untuk mengabaikan pendapat yang berkembang di masyarakat, namun opini yang berkembang di media massa nampaknya tidak sejalan dengan Putusan MK termasuk pendapat yang menyertainya. MK berpandangan bahwa sumber rekrutmen untuk jabatan wamen tersebut dapat berasal dari Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/Polri, bahkan juga dapat berasal dari warga negara biasa.
Pandangan MK ini kami maknai bahwa jabatan wamen menjadi bersifat politis, sehingga dengan demikian harus ada jangka waktu berakhirnya masa jabatan wamen, yaitu paling lama sama dengan masa jabatan atau berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan pejabat yang mengangkatnya (Pasal 4 ayat (1)) Perpres Nomor 60 Tahun 2012.
Pembatasan masa jabatan tersebut juga secara eksplisit disebutkan dalam Keppres Nomor 65/M Tahun 2012, dimana masa jabatan para wamen yang sudah diangkat oleh Presiden berakhir bersamaan dengan masa jabatan Presiden periode 2009-2014. Dengan Keppres Nomor 65/M Tahun 2012 tersebut, dilakukan perubahan atas Keppres yang mengangkat para Wakil Menteri menurut Keppres Nomor 111/M Tahun 2009, Keppres Nomor 3/P Tahun 2010, Keppres No. 57/P Tahun 2010, dan Keppres Nomor 159/M Tahun 2011.
Keppres Nomor 65/M Tahun 2012 tersebut tidak memberhentikan (dan tidak perlu memberhentikan) para wamen pasca putusan MK Nomor 79/PUU-IX/2011 dengan alasan bahwa MK sendiri berpendapat Presiden mempunyai hak eksklusif (yang kami maknai hak prerogratif) untuk mengangkat Wamen, sekalipun ada atau tidak ada UU yang mengatur tentang Wamen.
Dengan demikian, semua Keputusan Presiden yang mengangkat para wamen selama ini adalah sah, sehingga tidak diperlukan pemberhentian atau pelantikan para Wamen yang telah diangkat.(M038/T007)
*) Bistok Simbolon adalah Deputi Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan pada Sekretariat Kabinet.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012
Jakarta (Antara Bali) - Judu tulisan ini terinspirasi dari artikel Sdr. Yusril Ihza Mahendra di harian Seputar Indonesia tanggal 11 Juni 2012 yang mengangkat tema "Wamen Versi Baru Tetap Membingungkan".
Setelah kami cermati tulisan tersebut, "kebingungan" itu tampaknya berakar pada ketidakpuasan Sdr. Yusril atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011 yang menguji konstitusionalitas Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Hal tersebut tercermin dari pandangan beliau dalam artikel tersebut yang menyatakan "...Kebingungan yang disebabkan oleh pengaturan yang tidak jelas dalam UU Kementerian Negara itu diatur sendiri oleh Perpres 60/2012".
Itu dapat dimaklumi mengingat Yusril Ihza Mahendra memang terlibat sebagai saksi ahli pemohon dalam perkara pengujian UU Nomor 39 Tahun 2008 terhadap UUD 1945, yang pada intinya berpendapat bahwa pengangkatan wakil menteri (wamen) oleh Presiden tidak sejalan dan bertentangan dengan Pasal 17 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
Pendapat saksi ahli tersebut sudah ditimbangi oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Akan tetapi MK berkesimpulan bahwa tidak terdapat masalah terhadap konstitusionalitas Pasal 10 (batang tubuh) UU Kementerian Negara, yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 adalah Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara yang berbunyi: "Yang dimaksud dengan "Wakil Menteri" adalah pejabat karier dan bukan merupakan anggota kabinet".
Oleh karena itu, Pasal 10 UU Kementerian Negara yang berbunyi: "Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil menteri pada Kementerian tertentu" adalah kostitusional, tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Konstruksi berpikir

Sebelum sampai pada Amar Putusannya, MK dalam pendapatnya dengan akurat membangun suatu konstruksi berpikir yang sistemik tentang kedudukan Presiden dalam sistem Pemerintahan berdasarkan UUD 1945.
Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan menurut Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 berbunyi: "Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.", sementara Pasal 17 ayat (2) berbunyi: "Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden".
Bertolak dari Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 ayat (2) dari UUD 1945 tersebut, MK sampai pada pendapat bahwa pengangkatan wamen adalah bagian dari kewenangan Presiden untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Baik diatur maupun tidak diatur dengan UU.
Pengangkatan wamen sebenarnya merupakan bagian dari kewenangan Presiden, sehingga dari sudut substansi tidak terdapat persoalan konstitusionalitas dalam konteks ini. Pendapat MK tersebut membuat terang hak konstitusional Presiden untuk mengangkat wamen sekalipun tidak ada UU yang mengaturnya, bahkan sekalipun ada uji materi terhadap UU Kementerian Negara.
Sdr. Yusril berpandangan bahwa wamen tidak memiliki kedudukan yang jelas karena tidak ada dalam struktur organisasi Kementerian Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 2008.
Pandangan ini sebetulnya sudah tidak relevan karena sudah terjawab melalui pendapat MK yang menyatakan bahwa norma dari Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 merupakan ketentuan khusus dari Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU a quo yang tidak mencantumkan Wamen dalam susunan organisasi Kementerian Negara. Alasannya, "...oleh karena UU tidak menjelaskan mengenai apa yang dimaksud ¿beban kerja yang membutuhkan penanganan khusus", maka menurut MK hal tersebut menjadi wewenang Presiden untuk menentukannya.
Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 yang berbunyi: "Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil menteri pada Kementerian tertentu", mengisyaratkan suatu amanat bahwa jabatan Wamen tidak secara otomatis terdapat pada seluruh Kementerian Negara.
Sehingga, apabila Sdr. Yusril memandang keberadaan Wamen tersebut harus merujuk pada ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 2008, hal tersebut dapat diartikan mendorong pada situasi agar seluruh Kementerian Negara memiliki wamen. Kalau itu yang menjadi tujuannya, berarti ada keinginan untuk mengubah UU Nomor 39 Tahun 2008.
Pertanyaan mengenai di mana sesungguhnya kedudukan wamen pasca keluarnya putusan MK, adalah pertanyaan yang relevan. Pendapat MK dalam Putusan Nomor 79/PUU-IX/2011 telah memberi isyarat bahwa jabatan wamen tersebut bersifat politis karena sumber rekrutmennya dapat berasal dari Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/Polri, bahkan juga warga negara biasa.
Atas dasar pendapat MK tersebut, Presiden dengan kewenangannya, mengeluarkan Perpres Nomor 60 Tahun 2012 tentang Wakil Menteri, yang menempatkan posisi wamen tersebut berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Menteri (Pasal 1).
Wakil menteri mempunyai tugas membantu menteri dalam "memimpin
"pelaksana tugas Kementerian Negara (Pasal 2 ayat (1)). Karena tugas wamen adalah membantu untuk ¿memimpin" maka berdasarkan Pasal 2 ayat (1) ini, wamen ditempatkan pada posisi pimpinan. Tetapi posisi pimpinan disini ditempatkan pada layer "supporting to the authority of the Minister".
Kedudukan wamen berdasarkan Perpres Nomor 60/2012 tersebut memang tidak sama dengan menteri muda sebagaimana diberikan dalam contoh perbandingan oleh Sdr. Yusril yang merujuk pada masa pemerintahan Presiden Soeharto di mana terdapat Menteri Muda Pemuda dan Olah Raga di dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Jika kita ingin berbaik sangka, maka suatu kesempatan yang baik sebetulnya untuk melihat objektivitas dari keberadaan menteri muda pada masa itu. Dalam pandangan kami, keberadaan menteri muda tersebut justru menimbulkan "matahari kembar" dalam satu kementerian, sehingga dampak yang terjadi kemudian adalah terjadinya pemekaran Kementerian Pemuda dan Olah Raga yang terpisah dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kondisi "matahari kembar" inilah yang justru ingin dihindari oleh Presiden sehingga desain wamen saat ini diposisikan berada dan bertanggung jawab kepada menteri, sehingga, apabila terdapat pandangan yang menghendaki agar kedudukan wamen saat ini harus disamakan dengan kedudukan menteri muda pada masa Presiden Soeharto itu, artinya kita tidak belajar dari sejarah.
Bahwa pendapat-pendapat MK dalam Putusan Nomor 79/PUU-IX/2011 (dalam dokumen tertulis) justru menjadi acuan utama dalam penerbitan Perpres Nomor 60 Tahun 2012 dan Keppres Nomor 65/M Tahun 2012. Penyusunan Perpres dan Keppres tersebut tidak didasarkan (dan tidak boleh didasarkan) pada opini yang berkembang di media massa pasca Putusan MK tersebut.
Tanpa bermaksud untuk mengabaikan pendapat yang berkembang di masyarakat, namun opini yang berkembang di media massa nampaknya tidak sejalan dengan Putusan MK termasuk pendapat yang menyertainya. MK berpandangan bahwa sumber rekrutmen untuk jabatan wamen tersebut dapat berasal dari Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/Polri, bahkan juga dapat berasal dari warga negara biasa.
Pandangan MK ini kami maknai bahwa jabatan wamen menjadi bersifat politis, sehingga dengan demikian harus ada jangka waktu berakhirnya masa jabatan wamen, yaitu paling lama sama dengan masa jabatan atau berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan pejabat yang mengangkatnya (Pasal 4 ayat (1)) Perpres Nomor 60 Tahun 2012.
Pembatasan masa jabatan tersebut juga secara eksplisit disebutkan dalam Keppres Nomor 65/M Tahun 2012, dimana masa jabatan para wamen yang sudah diangkat oleh Presiden berakhir bersamaan dengan masa jabatan Presiden periode 2009-2014. Dengan Keppres Nomor 65/M Tahun 2012 tersebut, dilakukan perubahan atas Keppres yang mengangkat para Wakil Menteri menurut Keppres Nomor 111/M Tahun 2009, Keppres Nomor 3/P Tahun 2010, Keppres No. 57/P Tahun 2010, dan Keppres Nomor 159/M Tahun 2011.
Keppres Nomor 65/M Tahun 2012 tersebut tidak memberhentikan (dan tidak perlu memberhentikan) para wamen pasca putusan MK Nomor 79/PUU-IX/2011 dengan alasan bahwa MK sendiri berpendapat Presiden mempunyai hak eksklusif (yang kami maknai hak prerogratif) untuk mengangkat Wamen, sekalipun ada atau tidak ada UU yang mengatur tentang Wamen.
Dengan demikian, semua Keputusan Presiden yang mengangkat para wamen selama ini adalah sah, sehingga tidak diperlukan pemberhentian atau pelantikan para Wamen yang telah diangkat.(M038/T007)
*) Bistok Simbolon adalah Deputi Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan pada Sekretariat Kabinet.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012