Adalah pernyataan viral dari Ketua Umum PBNU KH Said Agil Sirodj bahwa "pintu masuk" terorisme itu benih-nya dari Wahabi dan Salafi. Wahabisme itu bukanlah terorisme, tapi dari paham Wahabi itu memunculkan bibit-bibit teroris, karena ajaran Wahabi itu memusyrikkan segala hal, atau takfiri (mengkafirkan) dan jihadi (teror/kekerasan).
"Kalau sudah Wahabi, ini musyrik, ini bi'dah, ini nggak boleh, ini sesat, ini kafir (takfiri), itu langsung satu langkah lagi, satu step lagi, sudah halal darahnya dan boleh dibunuh (jihadi)," katanya saat membuka webinar Ikatan Sarjana NU atau ISNU bertajuk 'Mencegah Radikalisme & Terorisme Untuk Melahirkan Keharmonisan Sosial' (30/3/2021).
Selain Wahabi, ajaran Salafi juga disebut Said Agil bisa menjadi "pintu masuk" terorisme di Indonesia, karena Wahabi maupun Salafi sama-sama mengajarkan bahwa apa pun yang tidak sama dengan zaman Rasulullah SAW, maka termasuk sesat. Mereka bergabung dengan JAD (Jamaah Ansharut Daulah) yang "keras" bukan hanya kepada non-Muslim, tapi Muslim juga.
Mirip ISIS, mereka maunya pemerintahan Islam mirip zaman Rasulullah. "Walaupun mereka naik mobil sih, bukan naik unta. Tapi apapun yang kita lakukan, kalau tak seperti Rasulullah, katanya bid'ah. Kalau bid'ah berarti sesat. Kalau sesat berarti neraka. Ajaran seperti ini pintu masuk untuk menjadi terorisme, menghalalkan darah sesama orang," katanya.
Pandangan itu dibenarkan Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol Ahmad Nurwahid bahwa seluruh teroris yang ada di tahanan Densus-88, BNPT maupun lapas-lapas pelaku teror, memang mereka berpaham Salafi-Wahabi. Jadi, Salafi-Wahabi itu menjadi "pintu masuk" radikalisme, tapi "pintu" (ideologi takfiri/jihadi) itu bukan "rumah" (Salafi/Wahabi).
Faktanya, Tim Densus 88 Antiteror selama Januari-Maret 2021 saja telah menangkap 94 orang terduga teroris di Makassar (Sulawesi Selatan), Bima (NTB), Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jakarta, Bekasi (Jawa Barat) dan Tangerang Selatan (Banten). Dari semuanya hanya tangkapan Polda Metro Jaya yang bukan dari Jamaah Ansharut Daulah (JAD) atau Jamaah Islamiah (JI) yang berpaham mirip ISIS.
Hal itu juga dibenarkan fakta-fakta yang sangat mudah dilacak melalui Jejak Digital. Misalnya, terduga teroris Zakiah Aini yang menerobos Mabes Polri (30/3/2021) adalah pelajar SLTA yang sempat studi di Universitas Gunadharma pada 2013-2015. Dia memposting bendera ISIS dalam IG-nya dalam 21 jam sebelum menerobos Mabes Polri.
Bahkan, ada yang menyebut Salafi adalah Wahabi yang "bersembunyi" (mutasi). Benarkah ? "Wahhabi sejatinya adalah gerakan pemikiran salah satu etnis Arab, yaitu dakwah Islamiah yang digagas oleh suku Nejd, dipelopori Muhammad bin Abdul Wahhab at-Tamimi al-Najdi (w. 1206 H./1791 M.)," kata pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon, Jabar, KH. Imam Jazuli, Lc. MA. (tribunnews/2/4/2021).
Namun, pemikiran keagamaan ini diorientasikan mendukung kepentingan politik seorang Amir yang ambisius kekuasaan, Muhammad bin Sa'ud, yang sedang berjuang menyebarkan ideologi Salafi dan mempertahankan kekuasaan yang meliputi Jazirah Arab, Yaman, Syam, Iraq. (Dhohir; 1993).
Jadi, Salafiah dengan Wahhabi itu "berbeda" dalam praktek, meski "sama" dalam teori, karena Salafi adalah ideologi (visi-misi sebuah gerakan), sedangkan Wahhabiah adalah gerakan. Korban awal gerakan Wahhabi adalah masyarakat Iraq, bahkan Madinah, karena banyak makam ulama dan situs arkeologis yang dihancurkan di awal penyebarannya.
Sebagai gerakan, Wahabi melibatkan tokoh-tokoh intelektual maupun massa pendukungnya. Sebagai sebuah ideologi, Salafi mengajarkan pemurnian agama (purifikasi). Sebagai sebuah gerakan, Wahhabi menempuh strategi-strategi yang merusak (destruktif), radikal, dan cenderung menimbulkan teror (Blanchard, 2008:21).
Di Indonesia, Wahabi/Salafi masuk sebagai ideolog transnasional dengan cara-cara dakwah (ideologi) pada periode awal, namun kini mulai sering menggunakan cara-cara teror (gerakan). Mereka juga "bermain" di dunia medsos untuk "meneror" secara ideologis, sekaligus melakukan "perang" medsos pada "musuh" dengan menghalalkan segala cara, termasuk ujaran kebencian dan hoaks.
Pandangan bahwa teroris itu bersumber dari ideologi "takfiri/jihadi" itu juga dibenarkan oleh dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, Dr. Ainur Rofiq Al Amin, yang juga penulis buku 'Membongkar Proyek Khilafah HTI (Perspektif Kritis)' itu. Menurut dia, "pintu masuk" terorisme atau radikalisme itu bukan karena faktor kesulitan ekonomi ataupun karena faktor ketidakadilan, dan lain sebagainya.
Anggota Tim Penulis Sejarah Pesantren Tambak Beras, Jombang, Jatim itu menyatakan banyak fakta bahwa pelaku terorisme bukan dari orang miskin karena kemiskinannya, atau orang yang merasa diperlakukan tidak adil dalam hukum di Indonesia. Terlebih juga dijumpai pelaku teroris yang hidupnya berkecukupan.
Bahkan, anggota Dewan Khos Pagar Nusa dan pengurus Cabang NU Jombang itu menyebutkan fakta terbaru justru menyatakan terduga terorisme di Condet adalah tuan tanah (https://m.tribunnews.com/amp/nasional/2021/03/30/terduga-teroris-condet-dikenal-orang-kaya-warga-sekitar-juluki-sebagai-juragan-tanah).
Nalar yang sama juga bisa berlaku pada koruptor atau bandar narkoba yang juga bukan karena faktor kesulitan ekonomi dan ketidakadilan. Bisa jadi, ekonomi dan ketidakadilan itu "mempercepat" radikalisme saja, tapi bukan "pintu utama", karena "pintu utama" adalah ideologi atau karakter yang "merusak".
Ya, Gus Ainur Rofiq Al Amin menyebut "pintu masuk" atau faktor yang menginspirasi teroris di Indonesia, yakni ideologi radikal. Ideologi radikal inilah pemicu utama dan mendasar. Kelompok radikal adalah mereka yang anti NKRI, anti Pancasila, plus kelompok yang doyan dan hobi dalam pengajiannya men-stempel liyan (kelompok lain) dengan syirik dan bid'ah hingga terpupuklah sikap intoleran. Selanjutnya menjadi radikal dan bisa berakhir kepada perbuatan teror.
Bid'ah NU-Muhammadiyah (solusi)
Sejatinya, perbedaan yang ditunjukkan Wahabi/Salafi melalui ideologi takfiri/jihadi itu juga dialami NU dan Muhammadiyah yang keduanya pernah berbeda dalam hal bid'ah yang dikenal dengan istilah TBC (tahayul, bid'ah, churafat), namun perbedaan itu hanya sebatas "beda pendapat" (keilmuan) yang tidak mengarah pada "kekerasan" ala Wahabi/Salafi.
Bukan berarti NU dan Muhammadiyah itu tidak tegas dalam beragama, namun keduanya memandang sesama umat Islam sebagai "ukhuwah" (saudara) dan tidak perlu sampai mengkafirkan dan meneror, karena ketegasan dan kekerasan itu berbeda. Orang tegas itu hanya bisa melakukan kekerasan dengan satu syarat, yakni terancam/terusir. Indonesia 'kan aman dan damai ?!.
Bahkan, "ukhuwah" dalam perbedaan antara NU dan Muhammadiyah itu ditunjukkan dengan sangat indah oleh para pemimpin kedua organisasi massa itu, meski tanpa "tembak-tembakan" (bom) kayak anak TK. Para pemimpin kedua ormas itu saling menghormati, menghargai, memahami, mengingatkan, memotivasi, dan tak jarang menjalin hubungan "pernikahan" (keluarga).
Misalnya, ketika Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 1956-1984 KH Idham Chalid satu kapal dengan tokoh Muhammadiyah Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam perjalanan haji pada zaman transportasi laut itu, sehingga keduanya pun secara bergantian di kapal saling mengimami Shalat Subuh yang di kalangan NU selalu pakai Doa Qunut, sedangkan Muhammadiyah justru tidak.
Menariknya, keduanya tidak menjalankan tradisi ibadah masing-masing. Bagi kalangan Nahdliyin, qunut diyakini sebagai sunnah haiat dalam shalat Subuh, karena mayoritas warga NU, termasuk Kiai Idham, merupakan penganut mazhab Syafi'i yang menilai qunut bukan sekadar sunnah biasa, melainkan sangat dianjurkan. Bahkan, kalau ditinggal atau tertinggal, sengaja ataupun lupa, maka disunnahkan sujud sahwi bagi orang tersebut.
Sebaliknya, kalangan Muhammadiyah tidak memandang qunut sebagai suatu sunnah dalam shalat Subuh. Artinya, mereka pada umumnya tidak melakukannya dalam shalat dua rakaat di waktu pagi itu. Namun, Subuh di kapal itu berbeda. Kiai Idham yang notabene tumbuh sejak kecil dalam lingkungan yang melakukan qunut, secara sengaja tidak melakukannya.
Buya Hamka pun saat didapuk menjadi imam, maka ketua pertama Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu justru tanpa ragu membaca doa qunut. Kedua ulama itu menerapkan akhlakul karimah. Mereka saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Tidak ada 'perang dalil' yang menuntut keabsahan, menilai diri paling benar dan menuduh pandangan orang lain yang berbeda salah. Tidak takfiri dan jihadi, karena keduanya mengajarkan bahwa 'Adab itu di atas ilmu'.
Pengetahuan keduanya tidak ada yang meragukan. Justru, dengan banyaknya bacaan yang telah mereka serap dan keluasan pengetahuannya menjadikan mereka lebih arif dalam menyikapi perbedaan. Sikap Kiai Idham tersebut dilandasi atas kisah Imam Syafi'i yang tidak berqunut kala shalat Subuh di Masjid Imam Hanafi. (https://www.nu.or.id/post/read/127427/kala-dua-pembesar-ormas-islam-terbesar-saling-mengimami-shalat-subuh).
Banyak pengalaman menarik yang patut diteladani dari para ulama NU dan Muhammadiyah. Mungkin karena itulah, Ketua Umum PBNU KH Said Agil Sirodj menyarankan pembelajaran di sekolah hendaknya mengutamakan akhlak/perilaku/karakter dibandingkan dengan akidah/keimanan atau syariah/hukum Islam. Misalnya, pembelajaran agama itu ada 14 pertemuan, maka sebaiknya 10 pertemuan mengkaji masalah akhlak dan sisanya untuk akidah/syariah.
Soal akidah cukup dengan belajar rukun iman, sedangkan soal syariah cukup dengan belajar rukun islam. Kalau soal akhlak, bisa terkait hormat orang tua (birrul walidain), hormat tamu/tetangga, besuk orang sakit/takziyah, mendoakan saudara/teman, dan bertingkah sebaik mungkin dengan orang lain. "Kalau perlu ada praktek akhlak juga, misalnya besuk teman yang sakit di rumah sakit, sehingga agama tidak diwarnai takfiri dan jihadi, tapi lebih mewarisi tradisi para wali dan ulama masa lalu," katanya.
Selain solusi terkait perlunya reorientasi pendidikan agama dalam kurikulum (kemenag/mendikbud/ormas/pesantren), solusi lain untuk menghadapi ideologi takfiri/jihadi adalah dekradikalisasi seutuhnya melalui cara-cara lintas instansi/kelembagaan. Bisa dimulai dengan memaksimalkan peran mantan kombatan oleh BNPT/kemenag, lalu "pembersihan" ASN struktural oleh kemendagri-ormas, hingga "perang" medsos kontra-teror oleh Kominfo-ormas milenial dan "pelembagaan" kerukunan oleh FKUB dan Paguyuban Etnis/Adat.
"Apa yang disarankan oleh Kiai Said Aqil Siraj agar pemerintah menghapus media online dan akun-akun yang menjadi media penyebaran Wahabisme, benar adanya. Wahabisme biang dari radikalisme dan terorisme. Hal ini diakui juga oleh Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi Pangeran Muhammad bin Salman yang telah mencanangkan gerakan moderasi beragama sebagai anti tesis dari ekstrimisme dan radikalisme di tempat kelahiran Wahabisme," kata pengurus LDNU Jabar Ayik Heriansyah.
Wahabisme itu meniscayakan radikalisme, implikasi dari doktrin-doktrin dasar Wahabisme, antara lain doktrin tri tauhid, khususnya tauhid yang kedua atau tauhid uluhiyah. Tauhid uluhiyah dimaknai dengan tauhid hakimiyah, bahwa hanya ada satu Dzat yang berhak memerintah dan membuat aturan bagi manusia yaitu Allah SWT, sehingga siapa pun yang memerintah dan membuat aturan bagi manusia lain dianggap sebagai tandingan Allah SWT dan dihukumi musyrik, kufur dan thaghut.
Dengan pemahaman tauhid uluhiyah yang demikian, Wahabisme mencampuradukkan perkara aqidah dengan syariah/fiqih, sehingga melahirkan tiga bentuk ekstremisme dan radikalisme, yaitu politisasi agama (manipulator agama) dengan tujuan kekuasaan dan mengganti ideologi negara (Khilafah/Daulah Islamiyah), Takfiri (mengkafirkan pihak lain dan menghalalkan segala cara atas nama agama), dan Anti-tasawuf/thariqat (membenci/mengharamkan) yang lebih bermakna penyucian hati/jiwa yang "ikhlas dan mutmainah" (tazkiyat al-nafs), menuju ridha Allah SWT.
Ya, pendidikan dan deradikalisasi seutuhnya adalah kata kunci menangkal ideologi "takfiri" (radikal), termasuk dengan menghapus media online dan akun-akun penyebaran wahabisme, karena teror yang dilakukan sudah bukan bersifat ideologis lagi, namun sudah menjadi "jihad" dengan target sasaran bukan hanya mereka yang berbeda agama, namun juga mereka yang berbeda pendapat saja, serta memasuki ranah dunia maya. Kelompok Wahabi/Salafi memang aktif mengajak sejumlah selebritis untuk "hijrah" dengan dua ciri khas yang menarik selebritis yakni kembali ke Sunnah-Qur'an dan kemudahan pembelajaran agama lewat media sosial, namun mereka yang awam tetap perlu mewaspadai ideologi takfiri/jihadi itu.
"Secara normatif, umat Islam itu satu, tapi secara entitas belum menyatu, karena Ukhuwah Islamiyah hanya didengungkan secara lisan, tulisan, dan seminar. Ukhuwah Islamiyah sulit diwujudkan karena ukhuwah yang dijalin bukan kepentingan (kebaikan) agama, melainkan kepentingan non-Islamiyah, seperti politik, kekuasaan, ekonomi, dan sebagainya," kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir dalam tulisan pada republika-online yang berjudul "Jalan Terjal Umat Islam" (17/7/2015).
Atas nama kepentingan non-Islamiyah itulah, Abdullah bin Ubay bin Salul memisahkan diri dari barisan umat Islam saat Perang Uhud hingga umat Islam pun kalah, atau sebagaimana Ibnu Muljam yang hafidz tapi akhirnya menjadi "algojo" yang menebas leher Sahabat Ali bin Abi Thalib. Padahal, ketika Khalifah Umar bin Khattab merebut Yerussalem saja menjamin hak beribadah kaum Nasrani dan berjanji tidak akan membumihanguskan gereja mereka. Sejatinya, Islam menolak berbagai bentuk perusakan dan teror, namun jargon-jargon Qurani kini sudah "dipakai" untuk kepentingan non-Islamiyah.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021
"Kalau sudah Wahabi, ini musyrik, ini bi'dah, ini nggak boleh, ini sesat, ini kafir (takfiri), itu langsung satu langkah lagi, satu step lagi, sudah halal darahnya dan boleh dibunuh (jihadi)," katanya saat membuka webinar Ikatan Sarjana NU atau ISNU bertajuk 'Mencegah Radikalisme & Terorisme Untuk Melahirkan Keharmonisan Sosial' (30/3/2021).
Selain Wahabi, ajaran Salafi juga disebut Said Agil bisa menjadi "pintu masuk" terorisme di Indonesia, karena Wahabi maupun Salafi sama-sama mengajarkan bahwa apa pun yang tidak sama dengan zaman Rasulullah SAW, maka termasuk sesat. Mereka bergabung dengan JAD (Jamaah Ansharut Daulah) yang "keras" bukan hanya kepada non-Muslim, tapi Muslim juga.
Mirip ISIS, mereka maunya pemerintahan Islam mirip zaman Rasulullah. "Walaupun mereka naik mobil sih, bukan naik unta. Tapi apapun yang kita lakukan, kalau tak seperti Rasulullah, katanya bid'ah. Kalau bid'ah berarti sesat. Kalau sesat berarti neraka. Ajaran seperti ini pintu masuk untuk menjadi terorisme, menghalalkan darah sesama orang," katanya.
Pandangan itu dibenarkan Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol Ahmad Nurwahid bahwa seluruh teroris yang ada di tahanan Densus-88, BNPT maupun lapas-lapas pelaku teror, memang mereka berpaham Salafi-Wahabi. Jadi, Salafi-Wahabi itu menjadi "pintu masuk" radikalisme, tapi "pintu" (ideologi takfiri/jihadi) itu bukan "rumah" (Salafi/Wahabi).
Faktanya, Tim Densus 88 Antiteror selama Januari-Maret 2021 saja telah menangkap 94 orang terduga teroris di Makassar (Sulawesi Selatan), Bima (NTB), Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jakarta, Bekasi (Jawa Barat) dan Tangerang Selatan (Banten). Dari semuanya hanya tangkapan Polda Metro Jaya yang bukan dari Jamaah Ansharut Daulah (JAD) atau Jamaah Islamiah (JI) yang berpaham mirip ISIS.
Hal itu juga dibenarkan fakta-fakta yang sangat mudah dilacak melalui Jejak Digital. Misalnya, terduga teroris Zakiah Aini yang menerobos Mabes Polri (30/3/2021) adalah pelajar SLTA yang sempat studi di Universitas Gunadharma pada 2013-2015. Dia memposting bendera ISIS dalam IG-nya dalam 21 jam sebelum menerobos Mabes Polri.
Bahkan, ada yang menyebut Salafi adalah Wahabi yang "bersembunyi" (mutasi). Benarkah ? "Wahhabi sejatinya adalah gerakan pemikiran salah satu etnis Arab, yaitu dakwah Islamiah yang digagas oleh suku Nejd, dipelopori Muhammad bin Abdul Wahhab at-Tamimi al-Najdi (w. 1206 H./1791 M.)," kata pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon, Jabar, KH. Imam Jazuli, Lc. MA. (tribunnews/2/4/2021).
Namun, pemikiran keagamaan ini diorientasikan mendukung kepentingan politik seorang Amir yang ambisius kekuasaan, Muhammad bin Sa'ud, yang sedang berjuang menyebarkan ideologi Salafi dan mempertahankan kekuasaan yang meliputi Jazirah Arab, Yaman, Syam, Iraq. (Dhohir; 1993).
Jadi, Salafiah dengan Wahhabi itu "berbeda" dalam praktek, meski "sama" dalam teori, karena Salafi adalah ideologi (visi-misi sebuah gerakan), sedangkan Wahhabiah adalah gerakan. Korban awal gerakan Wahhabi adalah masyarakat Iraq, bahkan Madinah, karena banyak makam ulama dan situs arkeologis yang dihancurkan di awal penyebarannya.
Sebagai gerakan, Wahabi melibatkan tokoh-tokoh intelektual maupun massa pendukungnya. Sebagai sebuah ideologi, Salafi mengajarkan pemurnian agama (purifikasi). Sebagai sebuah gerakan, Wahhabi menempuh strategi-strategi yang merusak (destruktif), radikal, dan cenderung menimbulkan teror (Blanchard, 2008:21).
Di Indonesia, Wahabi/Salafi masuk sebagai ideolog transnasional dengan cara-cara dakwah (ideologi) pada periode awal, namun kini mulai sering menggunakan cara-cara teror (gerakan). Mereka juga "bermain" di dunia medsos untuk "meneror" secara ideologis, sekaligus melakukan "perang" medsos pada "musuh" dengan menghalalkan segala cara, termasuk ujaran kebencian dan hoaks.
Pandangan bahwa teroris itu bersumber dari ideologi "takfiri/jihadi" itu juga dibenarkan oleh dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, Dr. Ainur Rofiq Al Amin, yang juga penulis buku 'Membongkar Proyek Khilafah HTI (Perspektif Kritis)' itu. Menurut dia, "pintu masuk" terorisme atau radikalisme itu bukan karena faktor kesulitan ekonomi ataupun karena faktor ketidakadilan, dan lain sebagainya.
Anggota Tim Penulis Sejarah Pesantren Tambak Beras, Jombang, Jatim itu menyatakan banyak fakta bahwa pelaku terorisme bukan dari orang miskin karena kemiskinannya, atau orang yang merasa diperlakukan tidak adil dalam hukum di Indonesia. Terlebih juga dijumpai pelaku teroris yang hidupnya berkecukupan.
Bahkan, anggota Dewan Khos Pagar Nusa dan pengurus Cabang NU Jombang itu menyebutkan fakta terbaru justru menyatakan terduga terorisme di Condet adalah tuan tanah (https://m.tribunnews.com/amp/nasional/2021/03/30/terduga-teroris-condet-dikenal-orang-kaya-warga-sekitar-juluki-sebagai-juragan-tanah).
Nalar yang sama juga bisa berlaku pada koruptor atau bandar narkoba yang juga bukan karena faktor kesulitan ekonomi dan ketidakadilan. Bisa jadi, ekonomi dan ketidakadilan itu "mempercepat" radikalisme saja, tapi bukan "pintu utama", karena "pintu utama" adalah ideologi atau karakter yang "merusak".
Ya, Gus Ainur Rofiq Al Amin menyebut "pintu masuk" atau faktor yang menginspirasi teroris di Indonesia, yakni ideologi radikal. Ideologi radikal inilah pemicu utama dan mendasar. Kelompok radikal adalah mereka yang anti NKRI, anti Pancasila, plus kelompok yang doyan dan hobi dalam pengajiannya men-stempel liyan (kelompok lain) dengan syirik dan bid'ah hingga terpupuklah sikap intoleran. Selanjutnya menjadi radikal dan bisa berakhir kepada perbuatan teror.
Bid'ah NU-Muhammadiyah (solusi)
Sejatinya, perbedaan yang ditunjukkan Wahabi/Salafi melalui ideologi takfiri/jihadi itu juga dialami NU dan Muhammadiyah yang keduanya pernah berbeda dalam hal bid'ah yang dikenal dengan istilah TBC (tahayul, bid'ah, churafat), namun perbedaan itu hanya sebatas "beda pendapat" (keilmuan) yang tidak mengarah pada "kekerasan" ala Wahabi/Salafi.
Bukan berarti NU dan Muhammadiyah itu tidak tegas dalam beragama, namun keduanya memandang sesama umat Islam sebagai "ukhuwah" (saudara) dan tidak perlu sampai mengkafirkan dan meneror, karena ketegasan dan kekerasan itu berbeda. Orang tegas itu hanya bisa melakukan kekerasan dengan satu syarat, yakni terancam/terusir. Indonesia 'kan aman dan damai ?!.
Bahkan, "ukhuwah" dalam perbedaan antara NU dan Muhammadiyah itu ditunjukkan dengan sangat indah oleh para pemimpin kedua organisasi massa itu, meski tanpa "tembak-tembakan" (bom) kayak anak TK. Para pemimpin kedua ormas itu saling menghormati, menghargai, memahami, mengingatkan, memotivasi, dan tak jarang menjalin hubungan "pernikahan" (keluarga).
Misalnya, ketika Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 1956-1984 KH Idham Chalid satu kapal dengan tokoh Muhammadiyah Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam perjalanan haji pada zaman transportasi laut itu, sehingga keduanya pun secara bergantian di kapal saling mengimami Shalat Subuh yang di kalangan NU selalu pakai Doa Qunut, sedangkan Muhammadiyah justru tidak.
Menariknya, keduanya tidak menjalankan tradisi ibadah masing-masing. Bagi kalangan Nahdliyin, qunut diyakini sebagai sunnah haiat dalam shalat Subuh, karena mayoritas warga NU, termasuk Kiai Idham, merupakan penganut mazhab Syafi'i yang menilai qunut bukan sekadar sunnah biasa, melainkan sangat dianjurkan. Bahkan, kalau ditinggal atau tertinggal, sengaja ataupun lupa, maka disunnahkan sujud sahwi bagi orang tersebut.
Sebaliknya, kalangan Muhammadiyah tidak memandang qunut sebagai suatu sunnah dalam shalat Subuh. Artinya, mereka pada umumnya tidak melakukannya dalam shalat dua rakaat di waktu pagi itu. Namun, Subuh di kapal itu berbeda. Kiai Idham yang notabene tumbuh sejak kecil dalam lingkungan yang melakukan qunut, secara sengaja tidak melakukannya.
Buya Hamka pun saat didapuk menjadi imam, maka ketua pertama Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu justru tanpa ragu membaca doa qunut. Kedua ulama itu menerapkan akhlakul karimah. Mereka saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Tidak ada 'perang dalil' yang menuntut keabsahan, menilai diri paling benar dan menuduh pandangan orang lain yang berbeda salah. Tidak takfiri dan jihadi, karena keduanya mengajarkan bahwa 'Adab itu di atas ilmu'.
Pengetahuan keduanya tidak ada yang meragukan. Justru, dengan banyaknya bacaan yang telah mereka serap dan keluasan pengetahuannya menjadikan mereka lebih arif dalam menyikapi perbedaan. Sikap Kiai Idham tersebut dilandasi atas kisah Imam Syafi'i yang tidak berqunut kala shalat Subuh di Masjid Imam Hanafi. (https://www.nu.or.id/post/read/127427/kala-dua-pembesar-ormas-islam-terbesar-saling-mengimami-shalat-subuh).
Banyak pengalaman menarik yang patut diteladani dari para ulama NU dan Muhammadiyah. Mungkin karena itulah, Ketua Umum PBNU KH Said Agil Sirodj menyarankan pembelajaran di sekolah hendaknya mengutamakan akhlak/perilaku/karakter dibandingkan dengan akidah/keimanan atau syariah/hukum Islam. Misalnya, pembelajaran agama itu ada 14 pertemuan, maka sebaiknya 10 pertemuan mengkaji masalah akhlak dan sisanya untuk akidah/syariah.
Soal akidah cukup dengan belajar rukun iman, sedangkan soal syariah cukup dengan belajar rukun islam. Kalau soal akhlak, bisa terkait hormat orang tua (birrul walidain), hormat tamu/tetangga, besuk orang sakit/takziyah, mendoakan saudara/teman, dan bertingkah sebaik mungkin dengan orang lain. "Kalau perlu ada praktek akhlak juga, misalnya besuk teman yang sakit di rumah sakit, sehingga agama tidak diwarnai takfiri dan jihadi, tapi lebih mewarisi tradisi para wali dan ulama masa lalu," katanya.
Selain solusi terkait perlunya reorientasi pendidikan agama dalam kurikulum (kemenag/mendikbud/ormas/pesantren), solusi lain untuk menghadapi ideologi takfiri/jihadi adalah dekradikalisasi seutuhnya melalui cara-cara lintas instansi/kelembagaan. Bisa dimulai dengan memaksimalkan peran mantan kombatan oleh BNPT/kemenag, lalu "pembersihan" ASN struktural oleh kemendagri-ormas, hingga "perang" medsos kontra-teror oleh Kominfo-ormas milenial dan "pelembagaan" kerukunan oleh FKUB dan Paguyuban Etnis/Adat.
"Apa yang disarankan oleh Kiai Said Aqil Siraj agar pemerintah menghapus media online dan akun-akun yang menjadi media penyebaran Wahabisme, benar adanya. Wahabisme biang dari radikalisme dan terorisme. Hal ini diakui juga oleh Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi Pangeran Muhammad bin Salman yang telah mencanangkan gerakan moderasi beragama sebagai anti tesis dari ekstrimisme dan radikalisme di tempat kelahiran Wahabisme," kata pengurus LDNU Jabar Ayik Heriansyah.
Wahabisme itu meniscayakan radikalisme, implikasi dari doktrin-doktrin dasar Wahabisme, antara lain doktrin tri tauhid, khususnya tauhid yang kedua atau tauhid uluhiyah. Tauhid uluhiyah dimaknai dengan tauhid hakimiyah, bahwa hanya ada satu Dzat yang berhak memerintah dan membuat aturan bagi manusia yaitu Allah SWT, sehingga siapa pun yang memerintah dan membuat aturan bagi manusia lain dianggap sebagai tandingan Allah SWT dan dihukumi musyrik, kufur dan thaghut.
Dengan pemahaman tauhid uluhiyah yang demikian, Wahabisme mencampuradukkan perkara aqidah dengan syariah/fiqih, sehingga melahirkan tiga bentuk ekstremisme dan radikalisme, yaitu politisasi agama (manipulator agama) dengan tujuan kekuasaan dan mengganti ideologi negara (Khilafah/Daulah Islamiyah), Takfiri (mengkafirkan pihak lain dan menghalalkan segala cara atas nama agama), dan Anti-tasawuf/thariqat (membenci/mengharamkan) yang lebih bermakna penyucian hati/jiwa yang "ikhlas dan mutmainah" (tazkiyat al-nafs), menuju ridha Allah SWT.
Ya, pendidikan dan deradikalisasi seutuhnya adalah kata kunci menangkal ideologi "takfiri" (radikal), termasuk dengan menghapus media online dan akun-akun penyebaran wahabisme, karena teror yang dilakukan sudah bukan bersifat ideologis lagi, namun sudah menjadi "jihad" dengan target sasaran bukan hanya mereka yang berbeda agama, namun juga mereka yang berbeda pendapat saja, serta memasuki ranah dunia maya. Kelompok Wahabi/Salafi memang aktif mengajak sejumlah selebritis untuk "hijrah" dengan dua ciri khas yang menarik selebritis yakni kembali ke Sunnah-Qur'an dan kemudahan pembelajaran agama lewat media sosial, namun mereka yang awam tetap perlu mewaspadai ideologi takfiri/jihadi itu.
"Secara normatif, umat Islam itu satu, tapi secara entitas belum menyatu, karena Ukhuwah Islamiyah hanya didengungkan secara lisan, tulisan, dan seminar. Ukhuwah Islamiyah sulit diwujudkan karena ukhuwah yang dijalin bukan kepentingan (kebaikan) agama, melainkan kepentingan non-Islamiyah, seperti politik, kekuasaan, ekonomi, dan sebagainya," kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir dalam tulisan pada republika-online yang berjudul "Jalan Terjal Umat Islam" (17/7/2015).
Atas nama kepentingan non-Islamiyah itulah, Abdullah bin Ubay bin Salul memisahkan diri dari barisan umat Islam saat Perang Uhud hingga umat Islam pun kalah, atau sebagaimana Ibnu Muljam yang hafidz tapi akhirnya menjadi "algojo" yang menebas leher Sahabat Ali bin Abi Thalib. Padahal, ketika Khalifah Umar bin Khattab merebut Yerussalem saja menjamin hak beribadah kaum Nasrani dan berjanji tidak akan membumihanguskan gereja mereka. Sejatinya, Islam menolak berbagai bentuk perusakan dan teror, namun jargon-jargon Qurani kini sudah "dipakai" untuk kepentingan non-Islamiyah.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021