Bertepatan dengan peringatan Hari Tuberkulosis Sedunia yang jatuh pada 24 Maret, Guru Besar Paru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Prof. Tjandra Yoga Aditama menyoroti dampak pandemi COVID-19 pada pengendalian dan kemajuan program TB di dunia termasuk Indonesia.
Dia menyebut dampak pandemi COVID-19 pada TB cukup besar. Pemodelan yang dibuat Stop TB Partnership dan Imperial College, Avenir Health, Johns Hopkins University dan USAID memperkirakan disrupsi akibat COVID-19 dapat membuat indikator kemajuan program TB dunia mundur ke situasi di 2013-2016.
"Jadi kemunduran 5 sampai 8 tahun," kata dia dalam keterangan tertulisnya, Rabu.
Baca juga: Badung Siapkan Petugas Jangkau "Tuberkulosis" Hingga Desa
Publikasi lain menyebutkan, deteksi TB global menurun rata-rata 25 persen dalam 3 bulan sehingga akan ada peningkatan kematian akibat TB sebanyak 190 000 orang. Artinya untuk kawasan WHO Asia Tenggara akan ada penambahan 100.000 kematian.
"Kalau pada 2018 ada 1,49 juta kematian akibat TB di dunia maka akibat pandemi COVID-19 maka di tahun 2020 dapat terjadi 1,85 juta kematian di dunia," tutur Tjandra.
Padahal, menurut dia, pengendalian tuberkulosis di kawasan WHO Asia Tenggara termasuk Indonesia awalnya berjalan cukup baik. Salah satu indikatornya, angka notifikasi kasus TB yang naik dari 2,6 juta di tahun 2015 menjadi menjadi 3,36 juta di tahun 2018 atau terjadi kenaikan sekitar 20 persen.
Di sisi lain, keberhasilan pengobatan pada TB sensitif obat juga naik dari 79 persen pada kohort 2014 menjadi 83 persen pada kohort 2017.
Baca juga: Indonesia Tunjukan Peningkatan Kualitas Pengobatan TB
Sementara dari jumlah kematian, data menunjukkan terjadi penurunan dari 758.000 di tahun 2015 menjadi 658.000 pada 2018.
Kemajuan yang sudah dicapai dunia ini sempat diharapkan pada 2020 akan berlanjut. Tetapi, pandemi COVID-19 membelenggu dunia pada 2020.
Menurut Tjandra, penemuan pasif di fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan turun ke lapangan (aktif) menjadi dua hal yang perlu dilakukan.
Hal ini sejalan dengan tujuh kegiatan yang dapat sejalan dengan pengendalian COVID-19 meliputi tes, pelacakan kontak, pengendalian pencegahan infeksi, pengawasan, penguatan pelayanan kesehatan, komunikasi risiko dan keterlibatan komunitas.
Tjandra menilai, belum terlambat untuk kembali mengedepankan deteksi dan penanganan kasus agar angka kematian akibat TB tak melonjak.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021
Dia menyebut dampak pandemi COVID-19 pada TB cukup besar. Pemodelan yang dibuat Stop TB Partnership dan Imperial College, Avenir Health, Johns Hopkins University dan USAID memperkirakan disrupsi akibat COVID-19 dapat membuat indikator kemajuan program TB dunia mundur ke situasi di 2013-2016.
"Jadi kemunduran 5 sampai 8 tahun," kata dia dalam keterangan tertulisnya, Rabu.
Baca juga: Badung Siapkan Petugas Jangkau "Tuberkulosis" Hingga Desa
Publikasi lain menyebutkan, deteksi TB global menurun rata-rata 25 persen dalam 3 bulan sehingga akan ada peningkatan kematian akibat TB sebanyak 190 000 orang. Artinya untuk kawasan WHO Asia Tenggara akan ada penambahan 100.000 kematian.
"Kalau pada 2018 ada 1,49 juta kematian akibat TB di dunia maka akibat pandemi COVID-19 maka di tahun 2020 dapat terjadi 1,85 juta kematian di dunia," tutur Tjandra.
Padahal, menurut dia, pengendalian tuberkulosis di kawasan WHO Asia Tenggara termasuk Indonesia awalnya berjalan cukup baik. Salah satu indikatornya, angka notifikasi kasus TB yang naik dari 2,6 juta di tahun 2015 menjadi menjadi 3,36 juta di tahun 2018 atau terjadi kenaikan sekitar 20 persen.
Di sisi lain, keberhasilan pengobatan pada TB sensitif obat juga naik dari 79 persen pada kohort 2014 menjadi 83 persen pada kohort 2017.
Baca juga: Indonesia Tunjukan Peningkatan Kualitas Pengobatan TB
Sementara dari jumlah kematian, data menunjukkan terjadi penurunan dari 758.000 di tahun 2015 menjadi 658.000 pada 2018.
Kemajuan yang sudah dicapai dunia ini sempat diharapkan pada 2020 akan berlanjut. Tetapi, pandemi COVID-19 membelenggu dunia pada 2020.
Menurut Tjandra, penemuan pasif di fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan turun ke lapangan (aktif) menjadi dua hal yang perlu dilakukan.
Hal ini sejalan dengan tujuh kegiatan yang dapat sejalan dengan pengendalian COVID-19 meliputi tes, pelacakan kontak, pengendalian pencegahan infeksi, pengawasan, penguatan pelayanan kesehatan, komunikasi risiko dan keterlibatan komunitas.
Tjandra menilai, belum terlambat untuk kembali mengedepankan deteksi dan penanganan kasus agar angka kematian akibat TB tak melonjak.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021