Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Netty Prasetiyani Aher meminta program vaksinasi COVID-19 memperhatikan asas keadilan agar seluruh masyarakat Indonesia tak terkecuali rakyat miskin bisa mengakses vaksin itu.
"Negara harus memastikan program vaksinasi berada dalam kendali satu pintu agar transparan, mudah dievaluasi dan dilakukan pengawasan," kata Netty dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu.
"Jangan sampai kran vaksin mandiri ini menimbulkan 'potong kompas' pengusaha dengan beli langsung dari produsen. Akibatnya, potensi konglomerasi dan komersialisasi sangat terbuka. Jika sudah masuk skema konglomerasi, bagaimana nasib rakyat miskin untuk mendapat vaksin?," lanjutnya.
Baca juga: Bali sasar vaksinasi pada 395 nakes usia 60 tahun lebih
Netty menuturkan pentingnya satu komando dalam program vaksinasi dan memperhatikan skema pengadaan vaksin sesuai aturan yang berlaku di Tanah Air. Selain otoritas penggunaan darurat (Emergency Use Authorization), ada juga standar kehalalan vaksin.
Sejauh ini baru vaksin dari Sinovac yang dapat persetujuan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Netty menyoroti hal itu terkait pemerintah mempertimbangkan vaksin mandiri atau gotong royong sebagai saran dari pengusaha, untuk meringankan pembiayaan dan mempercepat tercapainya kekebalan kelompok.
Baca juga: Pemprov Bali segera perbaiki data vaksinasi COVID-19 bagi nakes
Sekitar 26 juta karyawan badan usaha milik nasional (BUMN) dan swasta akan mendapat prioritas vaksinasi setelah tenaga kesehatan dan tenaga pelayanan publik.
Netty mempertanyakan motif di balik usulan pelibatan swasta dalam pelaksanaan vaksinasi mandiri.
"Isu vaksin mandiri oleh BUMN pernah mencuat di awal program vaksinasi, namun ditepis oleh pemerintah dengan menyampaikan secara terbuka bahwa vaksinasi gratis untuk seluruh rakyat Indonesia. Jika sekarang muncul lagi isu melibatkan sektor swasta untuk mengadakan dan melaksanakan vaksinasi secara mandiri atau gotong royong, saya perlu mempertanyakan apa motif dibalik usulan tersebut? Benarkah untuk meringankan biaya dan mempercepat kekebalan kolektif, atau ada motivasi lain? Demi asas keadilan, jangan sampai ada motif terselubung," ujar Ketua Tim COVID-19 FPKS DPR RI itu.
Baca juga: 11.753 nakes Denpasar telah divaksin COVID-19
Hingga saat ini belum ada payung hukum yang mengatur tentang vaksin mandiri, kecuali terkait proses pengadaan yang dapat dilakukan oleh badan usaha dengan menggunakan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 99 Tahun 2020.
Perpres itu memberi ruang pengadaan vaksin, termasuk jenis dan jumlahnya, melalui penunjukan langsung badan usaha penyedia, bahkan melalui kerja sama dengan lembaga atau badan internasional dengan persetujuan Menteri Kesehatan.
"Jangan sampai pemerintah memainkan celah hukum tersebut untuk memberikan prioritas pada kelompok pengusaha yang memiliki dukungan finansial dan mengabaikan masyarakat lainnya. Apalagi jika di dalamnya ada motif tersembunyi berupa mengambil keuntungan di tengah kesulitan," ujar Netty.
Baca juga: Presiden: 5.000 vaksin COVID-19 disiapkan untuk insan pers pada akhir Februari
Dia mendukung pemerintah yang menugaskan Kementerian Kesehatan untuk menyelesaikan program vaksinasi dalam masa satu tahun dengan target, sasaran dan strategi vaksinasi yang terukur.
"Fokus saja pada target, sasaran dan strategi yang dibuat agar kinerja Kementerian Kesehatan dalam program vaksinasi ini terukur dengan jelas. Wacana vaksin mandiri, selain membuat pemerintah tampak plin plan dalam membuat kebijakan, juga berpotensi mencederai rasa keadilan masyarakat sebagai penerima vaksin. Jangan sampai ada kesan pemerintah meninggalkan masyarakat miskin yang tidak mampu membayar vaksin," tutur Netty.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021
"Negara harus memastikan program vaksinasi berada dalam kendali satu pintu agar transparan, mudah dievaluasi dan dilakukan pengawasan," kata Netty dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu.
"Jangan sampai kran vaksin mandiri ini menimbulkan 'potong kompas' pengusaha dengan beli langsung dari produsen. Akibatnya, potensi konglomerasi dan komersialisasi sangat terbuka. Jika sudah masuk skema konglomerasi, bagaimana nasib rakyat miskin untuk mendapat vaksin?," lanjutnya.
Baca juga: Bali sasar vaksinasi pada 395 nakes usia 60 tahun lebih
Netty menuturkan pentingnya satu komando dalam program vaksinasi dan memperhatikan skema pengadaan vaksin sesuai aturan yang berlaku di Tanah Air. Selain otoritas penggunaan darurat (Emergency Use Authorization), ada juga standar kehalalan vaksin.
Sejauh ini baru vaksin dari Sinovac yang dapat persetujuan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Netty menyoroti hal itu terkait pemerintah mempertimbangkan vaksin mandiri atau gotong royong sebagai saran dari pengusaha, untuk meringankan pembiayaan dan mempercepat tercapainya kekebalan kelompok.
Baca juga: Pemprov Bali segera perbaiki data vaksinasi COVID-19 bagi nakes
Sekitar 26 juta karyawan badan usaha milik nasional (BUMN) dan swasta akan mendapat prioritas vaksinasi setelah tenaga kesehatan dan tenaga pelayanan publik.
Netty mempertanyakan motif di balik usulan pelibatan swasta dalam pelaksanaan vaksinasi mandiri.
"Isu vaksin mandiri oleh BUMN pernah mencuat di awal program vaksinasi, namun ditepis oleh pemerintah dengan menyampaikan secara terbuka bahwa vaksinasi gratis untuk seluruh rakyat Indonesia. Jika sekarang muncul lagi isu melibatkan sektor swasta untuk mengadakan dan melaksanakan vaksinasi secara mandiri atau gotong royong, saya perlu mempertanyakan apa motif dibalik usulan tersebut? Benarkah untuk meringankan biaya dan mempercepat kekebalan kolektif, atau ada motivasi lain? Demi asas keadilan, jangan sampai ada motif terselubung," ujar Ketua Tim COVID-19 FPKS DPR RI itu.
Baca juga: 11.753 nakes Denpasar telah divaksin COVID-19
Hingga saat ini belum ada payung hukum yang mengatur tentang vaksin mandiri, kecuali terkait proses pengadaan yang dapat dilakukan oleh badan usaha dengan menggunakan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 99 Tahun 2020.
Perpres itu memberi ruang pengadaan vaksin, termasuk jenis dan jumlahnya, melalui penunjukan langsung badan usaha penyedia, bahkan melalui kerja sama dengan lembaga atau badan internasional dengan persetujuan Menteri Kesehatan.
"Jangan sampai pemerintah memainkan celah hukum tersebut untuk memberikan prioritas pada kelompok pengusaha yang memiliki dukungan finansial dan mengabaikan masyarakat lainnya. Apalagi jika di dalamnya ada motif tersembunyi berupa mengambil keuntungan di tengah kesulitan," ujar Netty.
Baca juga: Presiden: 5.000 vaksin COVID-19 disiapkan untuk insan pers pada akhir Februari
Dia mendukung pemerintah yang menugaskan Kementerian Kesehatan untuk menyelesaikan program vaksinasi dalam masa satu tahun dengan target, sasaran dan strategi vaksinasi yang terukur.
"Fokus saja pada target, sasaran dan strategi yang dibuat agar kinerja Kementerian Kesehatan dalam program vaksinasi ini terukur dengan jelas. Wacana vaksin mandiri, selain membuat pemerintah tampak plin plan dalam membuat kebijakan, juga berpotensi mencederai rasa keadilan masyarakat sebagai penerima vaksin. Jangan sampai ada kesan pemerintah meninggalkan masyarakat miskin yang tidak mampu membayar vaksin," tutur Netty.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021