Perusahaan teknologi informasi dan komunikasi PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk berencana membuat platform untuk distribusi konten media, sebagai dukungan kepada industri media dalam negeri di tengah disrupsi platform digital asing.
Direktur Utama Telkom, Ririek Adriansyah, mengatakan saat ini telah mulai berdiskusi dengan beberapa pihak dalam mengembangkan platform yang akan digarap secara kolaboratif itu.
"Kita kembangkan suatu, katakanlah platform lokal begitu, yang melibatkan dari para platform iklan, publisher, media, para agensi, dan tentunya kita membutuhkan support dari pemerintah untuk mengatur regulasi yang memang memungkinkan ini untuk dijalankan," ujar Ririek dalam Konvensi Nasional Media Massa pada peringatan Hari Pers Nasional 2021, Senin.
Baca juga: PWI: Perlu regulasi lindungi media mainstream
Lebih jauh, platform tersebut, menurut Ririek, tidak hanya sekadar membantu media, namun juga sebagai upaya untuk membendung penyebaran misinformasi, dan membantu masyarakat untuk mendapatkan informasi langsung dari sumber yang terpercaya.
"Kalau kita bisa pasang rating di berita-berita itu tidak hanya judulnya yang bombastis, tapi kita juga rating, itu juga membantu masyarakat untuk hanya membaca media atau berita yang memang dianggap kredibel atau rating-nya bagus," kata Ririek.
"Sehingga secara tidak langsung ini akan membantu juga bagaimana memilah berita yang hoaks, mana berita yang layak dibaca, layak dipercaya, ini juga yang nantinya secara luas akan membantu masyarakat, sehingga kita bisa membangun budaya yang memang lebih kredibel ketika menyampaikan informasi di berbagai media," dia melanjutkan.
Disrupsi platform digital
Pengurus pusat Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Anthony Wonsono, melihat saat ini distribusi konten dikuasai secara keseluruhan, atau secara mayoritas paling tidak, oleh platform digital.
Distribusi konten yang dikuasai platform, menurut Anthony, berdampak pada tiga hal utama, di antaranya isu terkait akuntabilitas, di mana jurnalis melawan netizen.
Baca juga: HPN 2021: Media dan nasionalisme di tengah pandemik
Platform mendistribusikan konten, seringkali tanpa membedakan produksi media yang melalui serangkaian proses jurnalistik atau tidak. Hal itu membuat konten berkualitas dan konten abal-abal dinilai sama derajatnya, sehingga masyarakat umum tidak dapat membedakan konten yang berkualitas dengan konten yang tidak ada basisnya.
Isu selanjutnya adalah jurnalistik melawan algoritma yang berdampak pada kualitas konten dan kualitas informasi yang disajikan kepada publik.
"Ada dampak yang lebih makro terhadap isu moral dan isu etis, dan isu demokrasi di Indonesia," ujar Anthony.
Isu jurnalistik melawan algoritma mesin, yang mengakibatkan selera publik menyetir jurnalisme dan pers cenderung menulis apa yang disukai publik, berlanjut pada isu ketergantungan model bisnis industri media terhadap platform digital tersebut.
"Dengan adanya kebergantungan industri pers ini Indonesia kepada iklan, maka perusahaan-perusahaan pers sangat bergantung kepada platform," kata Anthony.
"Tetapi di sisi lain, kita juga melihat bahwa selama berjalan hubungan kerja sama atau isu komersial ini selama 10 tahun terakhir, belum ada diskusi serius antara platform dan industri media yang bisa menjembatani perubahan-perubahan," dia menambahkan.
Baca juga: "Komedi" Pandji Pragiwaksono jelang Harlah Ke-95 NU
Sementara itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga nasional untuk menyusun regulasi terkait hak pengelola media (Publisher Rights) guna merespons tuntutan perkembangan dan kemajuan digital.
Menteri Kominfo Johnny G Plate mengatakan akan terus mendukung mitra-mitra kerja yang terkait, termasuk Kementerian Hukum dan Ham, Dewan Pers, pelaku dan asosiasi industri media, serta ekosistem media secara keseluruhan.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021
Direktur Utama Telkom, Ririek Adriansyah, mengatakan saat ini telah mulai berdiskusi dengan beberapa pihak dalam mengembangkan platform yang akan digarap secara kolaboratif itu.
"Kita kembangkan suatu, katakanlah platform lokal begitu, yang melibatkan dari para platform iklan, publisher, media, para agensi, dan tentunya kita membutuhkan support dari pemerintah untuk mengatur regulasi yang memang memungkinkan ini untuk dijalankan," ujar Ririek dalam Konvensi Nasional Media Massa pada peringatan Hari Pers Nasional 2021, Senin.
Baca juga: PWI: Perlu regulasi lindungi media mainstream
Lebih jauh, platform tersebut, menurut Ririek, tidak hanya sekadar membantu media, namun juga sebagai upaya untuk membendung penyebaran misinformasi, dan membantu masyarakat untuk mendapatkan informasi langsung dari sumber yang terpercaya.
"Kalau kita bisa pasang rating di berita-berita itu tidak hanya judulnya yang bombastis, tapi kita juga rating, itu juga membantu masyarakat untuk hanya membaca media atau berita yang memang dianggap kredibel atau rating-nya bagus," kata Ririek.
"Sehingga secara tidak langsung ini akan membantu juga bagaimana memilah berita yang hoaks, mana berita yang layak dibaca, layak dipercaya, ini juga yang nantinya secara luas akan membantu masyarakat, sehingga kita bisa membangun budaya yang memang lebih kredibel ketika menyampaikan informasi di berbagai media," dia melanjutkan.
Disrupsi platform digital
Pengurus pusat Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Anthony Wonsono, melihat saat ini distribusi konten dikuasai secara keseluruhan, atau secara mayoritas paling tidak, oleh platform digital.
Distribusi konten yang dikuasai platform, menurut Anthony, berdampak pada tiga hal utama, di antaranya isu terkait akuntabilitas, di mana jurnalis melawan netizen.
Baca juga: HPN 2021: Media dan nasionalisme di tengah pandemik
Platform mendistribusikan konten, seringkali tanpa membedakan produksi media yang melalui serangkaian proses jurnalistik atau tidak. Hal itu membuat konten berkualitas dan konten abal-abal dinilai sama derajatnya, sehingga masyarakat umum tidak dapat membedakan konten yang berkualitas dengan konten yang tidak ada basisnya.
Isu selanjutnya adalah jurnalistik melawan algoritma yang berdampak pada kualitas konten dan kualitas informasi yang disajikan kepada publik.
"Ada dampak yang lebih makro terhadap isu moral dan isu etis, dan isu demokrasi di Indonesia," ujar Anthony.
Isu jurnalistik melawan algoritma mesin, yang mengakibatkan selera publik menyetir jurnalisme dan pers cenderung menulis apa yang disukai publik, berlanjut pada isu ketergantungan model bisnis industri media terhadap platform digital tersebut.
"Dengan adanya kebergantungan industri pers ini Indonesia kepada iklan, maka perusahaan-perusahaan pers sangat bergantung kepada platform," kata Anthony.
"Tetapi di sisi lain, kita juga melihat bahwa selama berjalan hubungan kerja sama atau isu komersial ini selama 10 tahun terakhir, belum ada diskusi serius antara platform dan industri media yang bisa menjembatani perubahan-perubahan," dia menambahkan.
Baca juga: "Komedi" Pandji Pragiwaksono jelang Harlah Ke-95 NU
Sementara itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga nasional untuk menyusun regulasi terkait hak pengelola media (Publisher Rights) guna merespons tuntutan perkembangan dan kemajuan digital.
Menteri Kominfo Johnny G Plate mengatakan akan terus mendukung mitra-mitra kerja yang terkait, termasuk Kementerian Hukum dan Ham, Dewan Pers, pelaku dan asosiasi industri media, serta ekosistem media secara keseluruhan.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021