Anggota DPD, Misharti, menyebutkan, hoaks dan propaganda yang menyebar di tengah masyarakat mengancam memecah belah bangsa.
 
Kepada pers, di Jakarta, Kamis, dia mengatakan, beberapa hal yang tersebar melalui internet saat ini mengancam dan menyerang karakter serta persatuan bangsa, di antaranya adalah propaganda asing, intoleransi dan radikalisme.
 
“Ada juga weaponization of social media, ‘tempur politik di media sosial'. Hoaks menjadi alat propaganda yang dimanfaatkan banyak pihak, menjadi permainan politik di berbagai negara, termasuk di Indonesia," ujar Misharti.
 
Ia memahami perkembangan dunia teknologi informasi yang sangat pesat memudahkan orang mendapat informasi dan menambah ilmu. Namun pada sisi lain, sering pula disalahgunakan segelintir orang untuk mencapai tujuan.

Baca juga: Japelidi: Masyarakat digital sudah berpikir kritis tapi masih rendah
 
Kelompok kecil ini memanfaatkan kebiasaan generasi muda Indonesia yang amat bergantung pada ponsel pintar dan koneksi internet.
 
Sebagai kebutuhan primer, para digital native itu menggunakan internet sebagai medium eksistensi diri seraya menambah pengetahuan akan berbagai isu yang sedang berkembang, termasuk isu keadilan dan sosial politik.
 
Menurut dia, situasi ini membuka peluang untuk menyusupkan nilai-nilai yang dapat memprovokasi dan memecah belah sesama anak bangsa melalui konten-konten hoaks dan ujaran kebencian.
 
Secara tidak sadar, generasi muda Indonesia sebagai kelompok pengguna aktif media sosial pun ikut terpengaruh.

Baca juga: Pegiat: Budaya literasi penting tangkal hoaks
 
Rata-rata anak muda terkoneksi dengan internet minimal empat jam sehari. Selain itu, kata dia saat ini orang juga hanya bisa terpisah tujuh menit dari gawainya
 
"Seharusnya, kemajuan teknologi serta kemudahan mendapat informasi memberi manfaat bagi masyarakat, untuk saling menguatkan. Inilah pentingnya literasi," kata dia.
 
Pengguna media sosial, kata dia, harus dapat memilah mana berita yang pantas untuk dikonsumsi dan mana yang tidak. Terlebih lagi, berita-berita hoaks tersebut berpotensi merusak tatanan kehidupan masyarakat dan negara.
 
"Untuk itu, saya minta pemerintah, dalam hal ini Kemenkominfo, bertindak tegas. Termasuk juga kepolisian harus bertindak cepat dan tegas. Bila perlu harus diusut tuntas siapa saja yang menyebarkan berita hoaks tersebut dan diberi hukuman untuk memberi efek jera," ujarnya.
 
Sepanjang 2019, Kementerian Komunikasi dan Informasi menemukan 3.801 hoaks. Mayoritas hoaks itu adalah terkait politik, yaitu mengenai calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta dan penyelenggara Pemilu.
 
Baca juga: Presiden minta media tidak hanya cari "click" dan "like"
 
Sementara itu, per 16 November 2020, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia yang berkolaborsi dengan cekfakta.com menemukan 2.024 hoaks beredar di Indonesia sejak awal tahun.
 
Setidaknya sepertiga dari jumlah tersebut adalah hoaks terkait pandemi Covid-19. Sementara isu lain yang kerap dijadikan tema hoaks adalah pilkada serentak 2020 dan UU Omnibus Law.
 
Peredaran hoaks sendiri umumnya terjadi di media sosial. Terbanyak ada di Facebook, kemudian platform lain seperti Twitter dan WhatsApp.
 
Pengemasannya yang mudah dicerna dan dibumbui kesan bombastis kerap membuat orang mudah mempercayai hoaks. Tak jarang, para pembuatnya menggunakan hoaks ini sebagai alat propaganda untuk memecah belah sesama anak bangsa.
 

Pewarta: Boyke Ledy Watra

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020