Tenaga Ahli Utama Kedeputian II Kantor Staf Presiden (KSP) Usep Setiawan mengatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memberikan peluang kepada rakyat untuk mengelola hutan dan melindungi masyarakat adat.
Usep mengatakan penegasan itu tertuang dalam sejumlah pasal menyangkut sektor kehutanan, contohnya sejumlah pasal yang menunjukkan keberpihakan pada perhutanan sosial.
"Ada pasal yang mengatur tentang pemanfaatan hutan lindung dan hutan produksi melalui program Perhutanan Sosial. Program ini bisa diberikan kepada perseorangan, kelompok tani hutan dan koperasi," ujar Usep dalam siaran pers KSP, di Jakarta, Sabtu.
Baca juga: Anggota DPR: Indonesia makin siap bersaing dengan Omnibus Law
Menurut Usep, aturan itu ada pada paragraf 4, terkait pasal yang mengatur tentang kehutanan. Dia mengatakan di antara Pasal 29 dan Pasal 30 UU Kehutanan disisipkan 2 pasal baru yakni Pasal 29A dan Pasal 29B yang salah satunya mengatur penguatan perhutanan sosial.
Dia mengatakan pengaturan ini akan memperkuat upaya pemerintah dalam pemberian akses pengelolaan kawasan hutan bagi rakyat.
“Jadi, nanti ada dampak positif yang muncul berupa perluasan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat di sekitar hutan,” ujar Usep.
Menurut pegiat reforma agraria ini, program perhutanan sosial semakin kuat sejak disahkannya UU Cipta Kerja. Apalagi, kata dia, pemerintahan Presiden Joko Widodo sudah menyerahkan 4,2 juta hektare lahan untuk dikelola masyarakat.
Baca juga: UU Cipta Kerja jadi angin segar "startup" digital
"Selanjutnya, yang paling penting adalah soal pendampingan program lanjutan. Sehingga masyarakat di sekitar hutan memiliki kemampuan dalam mengelola kewenangan yang telah diberikan, seperti masuk dalam aspek bisnis perhutanan sosial. Dalam hal ini tidak hanya agroforestri,” ujar Usep.
Usep menambahkan, Undang-undang Cipta Kerja juga sangat berpihak dan melindungi masyarakat adat, terutama yang tinggal di kawasan hutan dan kebun.
Bahkan, dalam UU Cipta Kerja, kata dia, masyarakat adat akan diikutkan dalam kebijakan penataan kawasan hutan, konservasi hingga Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).
"Jelas bahwa dengan UU ini pemerintah berpihak pada rakyat. UU Cipta Kerja ini menegaskan keberpihakan pemerintah pada masyarakat dengan 'restorative justice' atau penyelesaian hukum di luar pengadilan," katanya.
Dalam UU Cipta Kerja juga diatur persoalan lingkungan hutan yang terbagi atas dua bagian, yakni bagian persetujuan lingkungan yang menjadi persyaratan dasar perizinan berusaha.
Baca juga: Bank Dunia: UU Cipta Kerja dukung pemulihan ekonomi
Sedangkan bagian berikutnya adalah bagian perizinan berusaha serta kemudahan persyaratan investasi dari sektor kehutanan.
Dia menjelaskan, keduanya berasal dari tiga UU berbeda yakni UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
“Penyatuan ini akan membuat aturan semakin mudah dipahami dan tidak akan merepotkan masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan,” kata Usep.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020
Usep mengatakan penegasan itu tertuang dalam sejumlah pasal menyangkut sektor kehutanan, contohnya sejumlah pasal yang menunjukkan keberpihakan pada perhutanan sosial.
"Ada pasal yang mengatur tentang pemanfaatan hutan lindung dan hutan produksi melalui program Perhutanan Sosial. Program ini bisa diberikan kepada perseorangan, kelompok tani hutan dan koperasi," ujar Usep dalam siaran pers KSP, di Jakarta, Sabtu.
Baca juga: Anggota DPR: Indonesia makin siap bersaing dengan Omnibus Law
Menurut Usep, aturan itu ada pada paragraf 4, terkait pasal yang mengatur tentang kehutanan. Dia mengatakan di antara Pasal 29 dan Pasal 30 UU Kehutanan disisipkan 2 pasal baru yakni Pasal 29A dan Pasal 29B yang salah satunya mengatur penguatan perhutanan sosial.
Dia mengatakan pengaturan ini akan memperkuat upaya pemerintah dalam pemberian akses pengelolaan kawasan hutan bagi rakyat.
“Jadi, nanti ada dampak positif yang muncul berupa perluasan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat di sekitar hutan,” ujar Usep.
Menurut pegiat reforma agraria ini, program perhutanan sosial semakin kuat sejak disahkannya UU Cipta Kerja. Apalagi, kata dia, pemerintahan Presiden Joko Widodo sudah menyerahkan 4,2 juta hektare lahan untuk dikelola masyarakat.
Baca juga: UU Cipta Kerja jadi angin segar "startup" digital
"Selanjutnya, yang paling penting adalah soal pendampingan program lanjutan. Sehingga masyarakat di sekitar hutan memiliki kemampuan dalam mengelola kewenangan yang telah diberikan, seperti masuk dalam aspek bisnis perhutanan sosial. Dalam hal ini tidak hanya agroforestri,” ujar Usep.
Usep menambahkan, Undang-undang Cipta Kerja juga sangat berpihak dan melindungi masyarakat adat, terutama yang tinggal di kawasan hutan dan kebun.
Bahkan, dalam UU Cipta Kerja, kata dia, masyarakat adat akan diikutkan dalam kebijakan penataan kawasan hutan, konservasi hingga Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).
"Jelas bahwa dengan UU ini pemerintah berpihak pada rakyat. UU Cipta Kerja ini menegaskan keberpihakan pemerintah pada masyarakat dengan 'restorative justice' atau penyelesaian hukum di luar pengadilan," katanya.
Dalam UU Cipta Kerja juga diatur persoalan lingkungan hutan yang terbagi atas dua bagian, yakni bagian persetujuan lingkungan yang menjadi persyaratan dasar perizinan berusaha.
Baca juga: Bank Dunia: UU Cipta Kerja dukung pemulihan ekonomi
Sedangkan bagian berikutnya adalah bagian perizinan berusaha serta kemudahan persyaratan investasi dari sektor kehutanan.
Dia menjelaskan, keduanya berasal dari tiga UU berbeda yakni UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
“Penyatuan ini akan membuat aturan semakin mudah dipahami dan tidak akan merepotkan masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan,” kata Usep.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020