Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Pusat Penelitian Ekonomi (P2E) mengungkapkan hasil survei daring menunjukkan lebih dari 94 persen usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) mengalami penurunan penjualan akibat dampak pandemi COVID-19.
Kepala P2E LIPI Agus Eko Nugroho dalam webinar bertajuk "Dampak Pandemi COVID-19 Terhadap Kinerja UMKM: Mitigasi dan Pemulihan" di Jakarta, Senin, menjelaskan penurunan penjualan terbesar dialami oleh UMKM yang mengandalkan toko fisik, penjualan langsung dan reseller.
"Kalau dilihat dari hasil survei, mayoritas mengalami penjualan yang menurun. Sekitar 94,7 persen mengalami penurunan penjualan. Penurunan terbesar dialami UMKM yang mengandalkam toko fisik, penjualan langsung dan reseller," katanya.
Agus menuturkan kondisi pandemi juga menyebabkan 58,8 persen UMKM memutuskan untuk menurunkan harga jual produk dan jasanya guna mempertahankan usaha. Hal itu menyebabkan keuntungan menurun lebih dari 75 persen sebagaimana dialami 43,3 persen pelaku UMKM.
Ada pun dilihat dari penurunan penjualan menurut skala usaha, Agus menjelaskan mayoritas usaha mikro, ultra-mikro dan menengah paling besar terdampak. Begitu pula berdasarkan lama usaha di mana usaha dalam rentang 0-5 tahun mengalami penurunan penjualan yang cukup dalam.
"Dari berbagai dimensi karakteristik, UMKM dari kelompok ultra-mikro dan mikro yang mengandalkan penjualan fisik dan usia bisnis relatif muda perlu mendapat perhatian khusus," katanya.
Baca juga: ITDC berdayakan UMKM di Bali dan NTB
Terkait struktur biaya UMKM, Agus menjelaskan biaya produksi ternyata tetap atau bahkan meningkat selama pandemi. Ia merinci bahan baku mengalami peningkatan signfikan meski biaya transportasi dan tenaga kerja relatif tetap.
"Dari situ, kita bisa simpulkan bahwa pandemi secara umum akan menurunkan profit secara signifikan akibat penurunan penjualan sementara biaya produksi tetap dan akan meningkat," katanya.
P2E LIPI melakukan survei daring sepanjang periode 1-20 Mei 2020 terhadap 679 responden yang merupakan pelaku UMKM yang tersebar di 24 provinsi.
Mayoritas usaha yang disurvei berada pada skala usaha ultra-mikro dan mikro dengan mayoritas lama usaha 0-5 tahun. Responden juga memiliki proporsi yang berimbang berdasarkan cara penjualan antara daring dan luring.
Meski terdampak cukup dalam, Agus menyebut hampir seluruh UMKM memiliki langkah yang sama untuk mempertahankan bisnisnya mulai dari mencari pasar baru, mencari pemasok bahan baku yang lebih murah, mengurangi tenaga kerja dan mengajukan penundaan pembayaran kredit.
Terkait penjualan, usaha ultra-mikro lebih memilih memilih potongan harga ketimbang strategi penjualan lainnya.
"Selain penundaan pembayaran kredit, usaha menengah juga memilih pengajuan keringanan bunga," pungkas Agus.
Baca juga: Normal baru bisa jadi peluang "go digital" bagi UMKM
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020
Kepala P2E LIPI Agus Eko Nugroho dalam webinar bertajuk "Dampak Pandemi COVID-19 Terhadap Kinerja UMKM: Mitigasi dan Pemulihan" di Jakarta, Senin, menjelaskan penurunan penjualan terbesar dialami oleh UMKM yang mengandalkan toko fisik, penjualan langsung dan reseller.
"Kalau dilihat dari hasil survei, mayoritas mengalami penjualan yang menurun. Sekitar 94,7 persen mengalami penurunan penjualan. Penurunan terbesar dialami UMKM yang mengandalkam toko fisik, penjualan langsung dan reseller," katanya.
Agus menuturkan kondisi pandemi juga menyebabkan 58,8 persen UMKM memutuskan untuk menurunkan harga jual produk dan jasanya guna mempertahankan usaha. Hal itu menyebabkan keuntungan menurun lebih dari 75 persen sebagaimana dialami 43,3 persen pelaku UMKM.
Ada pun dilihat dari penurunan penjualan menurut skala usaha, Agus menjelaskan mayoritas usaha mikro, ultra-mikro dan menengah paling besar terdampak. Begitu pula berdasarkan lama usaha di mana usaha dalam rentang 0-5 tahun mengalami penurunan penjualan yang cukup dalam.
"Dari berbagai dimensi karakteristik, UMKM dari kelompok ultra-mikro dan mikro yang mengandalkan penjualan fisik dan usia bisnis relatif muda perlu mendapat perhatian khusus," katanya.
Baca juga: ITDC berdayakan UMKM di Bali dan NTB
Terkait struktur biaya UMKM, Agus menjelaskan biaya produksi ternyata tetap atau bahkan meningkat selama pandemi. Ia merinci bahan baku mengalami peningkatan signfikan meski biaya transportasi dan tenaga kerja relatif tetap.
"Dari situ, kita bisa simpulkan bahwa pandemi secara umum akan menurunkan profit secara signifikan akibat penurunan penjualan sementara biaya produksi tetap dan akan meningkat," katanya.
P2E LIPI melakukan survei daring sepanjang periode 1-20 Mei 2020 terhadap 679 responden yang merupakan pelaku UMKM yang tersebar di 24 provinsi.
Mayoritas usaha yang disurvei berada pada skala usaha ultra-mikro dan mikro dengan mayoritas lama usaha 0-5 tahun. Responden juga memiliki proporsi yang berimbang berdasarkan cara penjualan antara daring dan luring.
Meski terdampak cukup dalam, Agus menyebut hampir seluruh UMKM memiliki langkah yang sama untuk mempertahankan bisnisnya mulai dari mencari pasar baru, mencari pemasok bahan baku yang lebih murah, mengurangi tenaga kerja dan mengajukan penundaan pembayaran kredit.
Terkait penjualan, usaha ultra-mikro lebih memilih memilih potongan harga ketimbang strategi penjualan lainnya.
"Selain penundaan pembayaran kredit, usaha menengah juga memilih pengajuan keringanan bunga," pungkas Agus.
Baca juga: Normal baru bisa jadi peluang "go digital" bagi UMKM
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020