Anggota DPD RI Made Mangku Pastika mengatakan generasi muda Bali di tengah kondisi pandemi COVID-19 harus mau membanting setir untuk mengambil pekerjaan di sektor informal dan mengubah sikap mental tak hanya berorientasi menjadi birokrat ataupun bekerja di sektor pariwisata.

"Mau nggak generasi muda Bali misalnya menjadi tukang cukur, menjadi pengemudi ojek online? Bisa nggak kita buka warung sate kambing dan lalapan? Karena warga kita tidak hanya suka 'lawar', tetapi juga suka sate kambing, lalapan dan sebagainya yang selama ini peluang tersebut tidak diambil warga Bali," kata Pastika saat menjadi narasumber dalam Webinar bertajuk 'Antisipasi Ledakan COVID-19 Pasca Arus Balik, Tantangan dan Prospek Wujudkan Bali Era Baru', di Denpasar, Rabu.

Mantan Gubernur Bali dua periode itu juga mencontohkan selama ini daerah setempat harus mendatangkan orang dari luar untuk memetik cengkih, membantu panen, dan menjadi buruh bangunan karena warga Bali tidak mau mengambil pekerjaan itu.

"Dalam pandemi COVID-19 ini kita jangan cengeng dan gampang menyerah, karena tidak ada pekerjaan yang hina, kecuali mencuri. Kita juga tidak bisa bermimpi kalau pariwisata Bali akan pulih dengan cepat," ucapnya pada acara yang digagas oleh DPD Prajaniti Bali itu.

Menurut Pastika, jika pun pariwisata Bali mulai bergeliat, diprediksi hanya sekitar 25 persen dari total 1,1 juta pekerja yang bergerak di sektor pariwisata yang bisa kembali bekerja. "Jadi, nanti lebih dari 700 ribu orang Bali akan kehilangan pekerjaan," ujarnya pada acara yang dipandu oleh I Made Dwija Suastana itu.

Meskipun kondisi ekonomi Bali relatif lesu, khususnya di sektor pariwisata akibat dampak COVID-19, namun jika dibandingkan dengan daerah lain, sejauh ini kondisi Bali masih lebih baik dibandingkan daerah lainnya.

"Ibaratnya itu, gula dan madunya masih ada di Bali. Bagaimana kalau madunya diambil duluan oleh orang luar? Di tengah kondisi COVID-19 ini, sudah waktunya kita menata ulang demografi kita. Mari kita berbuat, cukup dulu santai dan paniknya," kata Pastika.

Oleh karena itu, dalam menghadapi arus balik Idul Fitri ini, Pastika mengingatkan di samping perlu ketegasan menegakkan aturan terkait pengetatan arus masuk untuk mencegah gelombang kedua COVID-19, generasi muda Bali harus siap mengambil peluang sektor informal yang sudah ada.

"Anak-anak muda yang balik dari kapal pesiar seharusnya dirangkul dan diberikan pemahaman juga untuk melirik sektor informal karena tentu tidak bisa berharap kembali bekerja di kapal pesiar dengan cepat," ucapnya.

Sementara itu Ketua/Bendesa Agung Majelis Desa Adat Provinsi Bali Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet mengatakan di tengah kondisi pandemi COVID-19 ini sesungguhnya menjadi momentum bagi "krama" atau warga Bali untuk kembali menggarap sektor informal.

"Kita bisa kembali menjadi petani, peternak, ataupun berdagang. Kalau orang dari luar sampai datang ke Bali untuk bekerja, dengan modal sedikit dan tidak punya lahan mereka bisa, kenapa kita tidak bisa?" ucapnya mempertanyakan.

Pandemi COVID-19, lanjut dia, sekaligus menjadi pelajaran untuk Bali, supaya jangan selalu mengandalkan pariwisata. Namun hendaknya bisa berimbang dengan sektor lainnya sehingga ketika pariwisata mandek, kita masih tetap bisa optimistis.

Ida Pangelingsir juga sepakat dalam masa arus balik Idul Fitri dilakukan pengetatan untuk pendatang, supaya jangan sampai terjadi gelombang kedua kasus COVID-19 di Bali.

Demikian pula saat membuka kembali pariwisata harus benar-benar selektif, pemeriksaannya harus ketat dan seharusnya wisatawan dari daera-daerah yang sudah bebas COVID-19 yang boleh masuk Bali.

Ida Pangelingsir menambahkan, memang kita sebagai NKRI tidak bisa melarang orang untuk ke Bali, tetapi mesti diingat pula bahwa persoalan demografi memiliki efek domino terhadap lapangan kerja, lingkungan hingga tingkat kriminalitas.

Akademisi Prof Dr I Nengah Dasi Astawa, MSi berpandangan senada bahwa sudah saatnya dilakukan perbaikan mental bagi masyarakat Bali, khususnya bagi generasi muda untuk terus meningkatkan kualitas diri dan jangan hanya mengejar pekerjaan di sektor formal.

"Selama ini orang Bali sudah lama terbuai dalam kenikmatan pariwisata, memiliki mental elitisme priyayi dan elitisme birokrasi. Akibatnya ketika tidak mendapatkan pekerjaan yang diharapkan, mereka lebih memilih menganggur. Ataupun memilih pekerjaan yang dirasa lebih membanggakan, ketimbang pekerjaan yang menghasilkan uang," ucapnya.

Menurut akademisi yang juga Kepala LLDIKTI Wilayah VIII itu, warga Bali juga tidak bisa serta merta menyalahkan orang luar masuk dan mengambil peluang yang ada, karena warga Bali sendiri tidak mau mengambil peluang yang sudah terbuka.

"Ini sudah fakta, kalau kita tidak siap berusaha di sektor lain, kita mati di ladang sendiri. Jangan kita lantas menjadi bangga ketika sudah menjadi pegawai negeri dan pegawai formal lainnya sehingga kemudian memandang rendah pekerjaan lainnya," ucapnya.

Oleh karena itu, Prof Dasi mengharapkan peran orang tua dan juga jenjang pendidikan dari TK hingga perguruan tinggi untuk menanamkan pentingnya kewirausahaan.

"Kita jangan hanya berorientasi mencari pekerjaan, tetapi harus bisa menciptakan pekerjaan sendiri. Pemerintah juga tentu harus terlibat, diantaranya dengan memberikan berbagai insentif untuk lebih menggairahkan generasi muda Bali menggeluti sektor informal," ujarnya.
 

Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : Adi Lazuardi


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020