Anna Silvia tidak pernah membayangkan Lebaran tahun ini akan dia habiskan di tempat tidak terduga, di Balai Rehabilitasi Sosial (BRS) Watunas Mulya Jaya yang dikelola oleh Kementerian Sosial (Kemensos).
Tapi itulah kenyataan yang terjadi, ketika Hari Kemenangan datang pada pekan ini, dia harus merayakannya jauh dari keluarga di Jawa Barat dan teman-teman yang biasa menemaninya selama belasan tahun bekerja di Jakarta.
Silvia adalah satu dari puluhan pekerja yang kini tinggal di balai sosial yang dialihfungsikan menjadi tempat penampungan sementara bagi orang-orang yang kehilangan tempat tinggal sebagai dampak dari pandemi COVID-19 yang terjadi di Indonesia.
Beberapa waktu sebelum kasus pertama COVID-19 ditemukan di Tanah Air pada awal Maret, ibu satu anak itu adalah satu dari jutaan pekerja yang mencari penghidupan di ibu kota. Selain bekerja sebagai pegawai di sebuah kantor di kawasan Jakarta Pusat, dia juga membuka usaha kecil bersama teman-temannya membuat bantalan infus.
Untuk memutus rantai infeksi penyakit itu, pemerintah memutuskan untuk membatasi kegiatan sosial dan ekonomi dengan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di DKI Jakarta mulai diterapkan pada 10 April 2020.
Baca juga: Wakil Bupati Badung ajak masyarakat terapkan pola hidup bersih
Dampaknya signifikan, banyak perusahaan harus mengurangi aktivitas bisnis mereka bahkan ada yang harus meniadakan kegiatan usaha. Hal itu langsung menimbulkan efek kepada pekerja, ada yang harus dirumahkan atau bahkan menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK).
Silvia adalah salah satu pekerja yang dirumahkan. Tidak hanya itu, usaha kecil yang dia rintis bersama temannya pun harus dihentikan karena kekurangan modal.
Tanpa penghasilan, dia tidak mampu membayar sewa kos dan menjadi tuna wisma. Silvia bertekad untuk bertahan di Jakarta, karena tidak bisa pulang ke kampung halaman di Jawa Barat akibat larangan mudik dan ketakutan akan menyebarkan virus tersebut.
"Saya sudah bertahan di Jakarta dari 1999, kenapa saya mesti pulang dengan cara seperti ini," kata dia.
Di saat seperti itu beberapa orang kenalannya mengusulkan agar Silvia mencari bantuan ke Dinas Sosial DKI Jakarta yang kemudian merujuknya ke BRS Mulya Jaya di Jakarta Timur.
Baca juga: WHO janjikan tinjauan terhadap penanganan virus COVID-19
Sudah dua pekan dia berada di Balai Kemensos yang bertugas melakukan rehabilitasi untuk wanita tuna wisma tersebut. Dia mengaku diperlakukan baik oleh para petugas yang ada di sana, bahkan mendapatkan pelatihan untuk membantunya berdiri kembali pascapandemi.
Menurut dia, jika berhasil menyelesaikan pelatihan di balai tersebut, Silvia dijanjikan akan diberi bantuan untuk memajukan usahanya yang sempat terhenti karena COVID-19.
Tidak hanya itu, Silvia optimistis akan bisa kembali bekerja di kantor lamanya setelah mendapatkan informasi dari grup kantor.
"Katanya nanti setelah PSBB selesai, akhir Mei kali ya. Saya dapat informasi itu dari grup kantor, mereka sudah mulai panggil karyawan lagi," kata dia.
Nasib yang sama juga dialami oleh Juliana, pekerja sebuah pabrik tekstil di Tangerang, Banten yang kemudian kehilangan tempat tinggal karena tidak lagi memiliki penghasilan setelah perusahaanya mengurangi operasional.
Namun, berbeda dengan Silvia yang dirumahkan tapi masih berhubungan dengan pihak kantornya, Juliana masih ragu apakah dia akan dipanggil kembali oleh perusahaan setelah pandemi usai.
"Katanya sih off sementara lalu dipanggil lagi, tapi sampai sekarang tidak ada panggilan. Seragam, kartu ID diambil kembali, terus disuruh kumpulkan surat resign," kata Juliana, yang tinggal satu asrama di balai itu bersama Silvia.
Setelah tidak lagi bekerja di pabrik tekstil itu, dia berusaha mencari pekerjaan lain untuk membayar kontrakan. Gagal mendapatkan pekerjaan baru, pemilik kontrakan juga memintanya untuk tidak lagi memperpanjang sewa dengan alasan akan melakukan renovasi.
Tidak lagi memiliki uang karena ketiadaan pesangon, bahkan tidak mendapatkan tunjangan hari raya (THR), perantau dari Sumatera Selatan itu kemudian mencari bantuan ke Dinas Sosial Tangerang yang merujuk dia ke BRS Mulya Jaya.
Di sana dia bertemu dengan Silvia dan teman-teman lain yang bernasib serupa dan memutuskan untuk berjuang bersama setelah pemerintah mengizinkan semua usaha dapat berkegiatan seperti biasa.
"Kita harapannya terutama setelah dapat ilmu dari sini yang bermanfaat, kalau memang seperti yang dibilang ibu-ibu dan bapak-bapak di sini yang akan tetap merangkul setelah keluar dari sini, kami mau usaha bareng. Tapi tetap sambil mencari pekerjaan formal tentunya," kata Silvia, yang direspons dengan anggukan setuju dari Juliana.
BRS Mulya Jaya sudah menampung 121 orang setelah pemerintah menjadikannya tempat penampungan sementara bagi pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial (PPKS) terdampak COVID-19 sejak 30 April 2020.
Dari jumlah tersebut, 65 orang sudah dipulangkan setelah dikonfirmasi memiliki tempat tinggal dan keluarga untuk pulang dan 5 orang dirujuk ke balai Kemensos yang lain menjadikan tersisa 51 orang yang berada di sana.
Dari 51 orang itu, 10 adalah pekerja formal yang dirumahkan atau terkena PHK, 30 orang adalah pekerja informal yang kehilangan penghasilan tetap dan 11 orang telantar dan kehilangan penghasilan.
Tempat itu juga menjadi penampungan sementara bagi 108 pekerja migran Indonesia (PMI) yang dideportasi dari Malaysia pada awal April. Mereka sudah dipulangkan ke daerah masing-masing pada 17 April lalu.
Kepala BRS Mulya Jaya, Juena Sitepu, mengatakan balai itu menjalani protokol kesehatan yang ketat selama menjadi penampungan sementara dengan melakukan rapid test berkala dan membagikan masker untuk para penghuninya.
Menurut dia, para PPKS itu dapat tinggal di balai maksimal tiga bulan sebelum kembali ke keluarga. Selama di balai, kebutuhan dasar mereka akan terjamin juga akan menjalani kegiatan untuk menguatkan mental spiritual, pelatihan keterampilan dan mendapat dukungan psikososial.
Nasib PMI
COVID-19 tidak hanya mempengaruhi pekerja di Tanah Air, nasib serupa juga dialami oleh PMI atau yang dikenal juga sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI) yang mencari penghidupan di luar negeri.
Banyak dari negara-negara yang menjadi tujuan penempatan TKI mengetatkan peraturan imigrasi mereka dan mendeportasi ribuan pekerja Indonesia yang kebanyakan berstatus sebagai undocumented atau pekerja ilegal.
Mirna adalah salah satu dari ribuan TKI yang sudah dideportasi dari Malaysia. Dia dan suaminya, yang juga menjadi TKI di Negeri Jiran, bersama kedua anak mereka ditangkap oleh polisi di pelabuhan saat ingin kembali ke Tanah Air.
Setelah kehilangan pekerjaan di Kuala Lumpur akibat pemberlakuan karantina wilayah di Malaysia dan melihat kenyataan paspornya sudah tidak berlaku lagi, Mirna membayar agen sekitar Rp12 juta untuk memulangkan mereka.
Malangnya, agen tersebut kabur bersama uangnya dan malah polisi Malaysia yang datang menjemput untuk menginapkan mereka di hotel prodeo. Perempuan asal Nusa Tenggara Timur (NTT) itu harus mendekam di penjara selama sepekan sebelum dideportasi bersama kedua anaknya yang masih balita pada awal April.
Suaminya masih harus mendekam di penjara Malaysia sambil menunggu proses deportasi. Mirna sendiri sudah berada di Rumah Perlindungan Traumatic Center (RPTC) Bambu Apus Kemensos selama satu bulan lebih.
"Masih belum bisa pulang, kapal ke NTT baru ada 26 Juni," kata Marni dengan logat melayu kental setelah delapan tahun tinggal di Malaysia.
Melihat kenyataan tersebut, Marni hanya bisa menerima nasib tinggal di RPTC Bambu Apus bersama kedua anaknya, dengan yang tertua memiliki panggilan akrab Jokowi Kecil.
Marni mengaku menyesal, marah dan kecewa dengan nasibnya saat ini, mengingat pekerjaannya di Malaysia menjadi tumpuan anggota keluarganya.
Setelah pandemi usai dia bertekad untuk kembali menjadi TKI lewat jalur legal meski tidak bisa kembali ke Malaysia. Alasannya karena pendapatan yang dia terima selama bekerja sebagai petugas cleaning service di sebuah agen di Malaysia lebih besar dibandingkan ketika mencari uang di Indonesia.
Rencananya, dia akan menitipkan kedua anaknya kepada orang tuanya yang berada di NTT ketika bekerja kembali ke luar negeri. Suaminya sendiri berniat tidak akan kembali bekerja sebagai TKI, tapi menjadi nelayan.
"Kalau saya kan masih muda, cari uang saja dulu dan di luar negeri lebih besar daripada di sini. Biar suami dan orang tua yang jaga anak sementara saya bekerja," kata perempuan berusia 24 tahun itu.
Berbeda dengan Marni, TKI lain bernama Purnama yang juga berada di RPCT Bambu Apus tidak ingin kembali bekerja di negara orang setelah dideportasi dari Malaysia.
Dia ingin membantu orang tuanya yang bekerja sebagai peternak di NTT karena kondisi kakinya yang sudah tidak seperti dulu setelah menjadi korban tabrak lari di Johor, Malaysia.
Purnama sudah 12 tahun bekerja sebagai operator mesin pengangkut barang di sebuah perusahaan di Johor, Malaysia. Awalnya dia bekerja sebagai buruh di Batam sebelum tergiur dengan ajakan teman mendapatkan upah yang lebih besar di Malaysia.
Sama seperti Marni, dia sudah berencana akan kembali ke Tanah Air tapi agen yang membantu penempatannya di Negeri Jiran kabur bersama paspornya. Purnama hanya bisa pasrah duduk di asrama karena tidak bisa lari saat polisi Malaysia datang.
"Pulang nanti saya akan bantu orang tua. Memang di sana (gajinya) lebih besar, tapi mau gimana lagi," kata dia.
RPTC Bambu Apus adalah tempat singgah sementara bagi mereka yang menjadi korban perdagangan orang dan tindak kekerasan. Panti itu juga menjadi tempat penempatan sementara bagi TKI ilegal yang dideportasi sebelum dipulangkan ke daerah asal.
Saat ini, RPCT Bambu Apus menampung 24 orang dengan rincian 10 orang TKI ilegal yang dideportasi, termasuk Mirna dan Purnama, juga 14 anak buah kapal (ABK) Long Xing 629 berbendera China yang diduga mengalami tindak kekerasan. Kepolisian Indonesia tengah mengusut kasus mereka dalam dugaan pidana perdagangan orang.
Tempat itu sendiri merupakan rumah aman yang berfokus pada rehabilitasi para penghuninya, terutama pagi pekerja yang mengalami kekerasan atau pihak lain yang mengalami hal serupa, kata Kepala Sub Direktorat Korban Perdagangan Orang Kemensos Dian Bulan Sari.
"Di sini lebih kepada rumah aman dengan kegiatan bersifat rehabilitasi sosial seperti terapi kehidupan dimana mereka diberi keterampilan bercocok tanam dengan harapan bisa menjadi bekal mereka setelah kembali ke kampung halaman," kata Dian.
Permasalahan pekerja
Baik BRS Mulya Jaya dan RPTC Bambu Apus adalah bukti kehadiran negara untuk para pekerja yang terdampak COVID-19, baik yang berada di dalam negeri maupun juga PMI yang dipulangkan dari negara penempatan.
Hal itu penting mengingat menurut perkiraan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sekitar 3,7 juta orang dirumahkan atau terkena PHK, lebih besar dari 1,7 juta yang dicatat Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).
Permasalahan PMI atau TKI juga perhatian pemerintah Indonesia dengan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) memperkirakan 34.300 PMI dari berbagai negara penempatan akan kembali ke Tanah Air dalam periode Mei-Juni 2020.
Sektor ketenagakerjaan mengalami pukulan akibat pandemi COVID-19 dan pemerintah sudah melakukan berbagai langkah untuk mengatasinya.
Mulai dari memberikan bantuan sosial baik berupa sembako atau bantuan langsung tunai kepada para pekerja dan buruh yang ekonominya jatuh akibat kehilangan penghasilan sampai meluncurkan Kartu Prakerja dengan insentif untuk membantu mereka.
Semua itu dilakukan agar mereka bisa bertahan dan dapat kembali mandiri setelah pandemi usai atau ketika pemerintah menyatakan aktivitas ekonomi dapat kembali berjalan seperti biasa.
Dapat kembali bekerja merupakan hal yang penting bagai para pekerja terdampak COVID-19, penting bagi Silvia, Juliana, Marni dan Purnama.
"Saya ingin bekerja, ingin usaha lagi, mau berdiri lagi di atas kaki sendiri," kata Silvia.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020
Tapi itulah kenyataan yang terjadi, ketika Hari Kemenangan datang pada pekan ini, dia harus merayakannya jauh dari keluarga di Jawa Barat dan teman-teman yang biasa menemaninya selama belasan tahun bekerja di Jakarta.
Silvia adalah satu dari puluhan pekerja yang kini tinggal di balai sosial yang dialihfungsikan menjadi tempat penampungan sementara bagi orang-orang yang kehilangan tempat tinggal sebagai dampak dari pandemi COVID-19 yang terjadi di Indonesia.
Beberapa waktu sebelum kasus pertama COVID-19 ditemukan di Tanah Air pada awal Maret, ibu satu anak itu adalah satu dari jutaan pekerja yang mencari penghidupan di ibu kota. Selain bekerja sebagai pegawai di sebuah kantor di kawasan Jakarta Pusat, dia juga membuka usaha kecil bersama teman-temannya membuat bantalan infus.
Untuk memutus rantai infeksi penyakit itu, pemerintah memutuskan untuk membatasi kegiatan sosial dan ekonomi dengan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di DKI Jakarta mulai diterapkan pada 10 April 2020.
Baca juga: Wakil Bupati Badung ajak masyarakat terapkan pola hidup bersih
Dampaknya signifikan, banyak perusahaan harus mengurangi aktivitas bisnis mereka bahkan ada yang harus meniadakan kegiatan usaha. Hal itu langsung menimbulkan efek kepada pekerja, ada yang harus dirumahkan atau bahkan menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK).
Silvia adalah salah satu pekerja yang dirumahkan. Tidak hanya itu, usaha kecil yang dia rintis bersama temannya pun harus dihentikan karena kekurangan modal.
Tanpa penghasilan, dia tidak mampu membayar sewa kos dan menjadi tuna wisma. Silvia bertekad untuk bertahan di Jakarta, karena tidak bisa pulang ke kampung halaman di Jawa Barat akibat larangan mudik dan ketakutan akan menyebarkan virus tersebut.
"Saya sudah bertahan di Jakarta dari 1999, kenapa saya mesti pulang dengan cara seperti ini," kata dia.
Di saat seperti itu beberapa orang kenalannya mengusulkan agar Silvia mencari bantuan ke Dinas Sosial DKI Jakarta yang kemudian merujuknya ke BRS Mulya Jaya di Jakarta Timur.
Baca juga: WHO janjikan tinjauan terhadap penanganan virus COVID-19
Sudah dua pekan dia berada di Balai Kemensos yang bertugas melakukan rehabilitasi untuk wanita tuna wisma tersebut. Dia mengaku diperlakukan baik oleh para petugas yang ada di sana, bahkan mendapatkan pelatihan untuk membantunya berdiri kembali pascapandemi.
Menurut dia, jika berhasil menyelesaikan pelatihan di balai tersebut, Silvia dijanjikan akan diberi bantuan untuk memajukan usahanya yang sempat terhenti karena COVID-19.
Tidak hanya itu, Silvia optimistis akan bisa kembali bekerja di kantor lamanya setelah mendapatkan informasi dari grup kantor.
"Katanya nanti setelah PSBB selesai, akhir Mei kali ya. Saya dapat informasi itu dari grup kantor, mereka sudah mulai panggil karyawan lagi," kata dia.
Nasib yang sama juga dialami oleh Juliana, pekerja sebuah pabrik tekstil di Tangerang, Banten yang kemudian kehilangan tempat tinggal karena tidak lagi memiliki penghasilan setelah perusahaanya mengurangi operasional.
Namun, berbeda dengan Silvia yang dirumahkan tapi masih berhubungan dengan pihak kantornya, Juliana masih ragu apakah dia akan dipanggil kembali oleh perusahaan setelah pandemi usai.
"Katanya sih off sementara lalu dipanggil lagi, tapi sampai sekarang tidak ada panggilan. Seragam, kartu ID diambil kembali, terus disuruh kumpulkan surat resign," kata Juliana, yang tinggal satu asrama di balai itu bersama Silvia.
Setelah tidak lagi bekerja di pabrik tekstil itu, dia berusaha mencari pekerjaan lain untuk membayar kontrakan. Gagal mendapatkan pekerjaan baru, pemilik kontrakan juga memintanya untuk tidak lagi memperpanjang sewa dengan alasan akan melakukan renovasi.
Tidak lagi memiliki uang karena ketiadaan pesangon, bahkan tidak mendapatkan tunjangan hari raya (THR), perantau dari Sumatera Selatan itu kemudian mencari bantuan ke Dinas Sosial Tangerang yang merujuk dia ke BRS Mulya Jaya.
Di sana dia bertemu dengan Silvia dan teman-teman lain yang bernasib serupa dan memutuskan untuk berjuang bersama setelah pemerintah mengizinkan semua usaha dapat berkegiatan seperti biasa.
"Kita harapannya terutama setelah dapat ilmu dari sini yang bermanfaat, kalau memang seperti yang dibilang ibu-ibu dan bapak-bapak di sini yang akan tetap merangkul setelah keluar dari sini, kami mau usaha bareng. Tapi tetap sambil mencari pekerjaan formal tentunya," kata Silvia, yang direspons dengan anggukan setuju dari Juliana.
BRS Mulya Jaya sudah menampung 121 orang setelah pemerintah menjadikannya tempat penampungan sementara bagi pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial (PPKS) terdampak COVID-19 sejak 30 April 2020.
Dari jumlah tersebut, 65 orang sudah dipulangkan setelah dikonfirmasi memiliki tempat tinggal dan keluarga untuk pulang dan 5 orang dirujuk ke balai Kemensos yang lain menjadikan tersisa 51 orang yang berada di sana.
Dari 51 orang itu, 10 adalah pekerja formal yang dirumahkan atau terkena PHK, 30 orang adalah pekerja informal yang kehilangan penghasilan tetap dan 11 orang telantar dan kehilangan penghasilan.
Tempat itu juga menjadi penampungan sementara bagi 108 pekerja migran Indonesia (PMI) yang dideportasi dari Malaysia pada awal April. Mereka sudah dipulangkan ke daerah masing-masing pada 17 April lalu.
Kepala BRS Mulya Jaya, Juena Sitepu, mengatakan balai itu menjalani protokol kesehatan yang ketat selama menjadi penampungan sementara dengan melakukan rapid test berkala dan membagikan masker untuk para penghuninya.
Menurut dia, para PPKS itu dapat tinggal di balai maksimal tiga bulan sebelum kembali ke keluarga. Selama di balai, kebutuhan dasar mereka akan terjamin juga akan menjalani kegiatan untuk menguatkan mental spiritual, pelatihan keterampilan dan mendapat dukungan psikososial.
Nasib PMI
COVID-19 tidak hanya mempengaruhi pekerja di Tanah Air, nasib serupa juga dialami oleh PMI atau yang dikenal juga sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI) yang mencari penghidupan di luar negeri.
Banyak dari negara-negara yang menjadi tujuan penempatan TKI mengetatkan peraturan imigrasi mereka dan mendeportasi ribuan pekerja Indonesia yang kebanyakan berstatus sebagai undocumented atau pekerja ilegal.
Mirna adalah salah satu dari ribuan TKI yang sudah dideportasi dari Malaysia. Dia dan suaminya, yang juga menjadi TKI di Negeri Jiran, bersama kedua anak mereka ditangkap oleh polisi di pelabuhan saat ingin kembali ke Tanah Air.
Setelah kehilangan pekerjaan di Kuala Lumpur akibat pemberlakuan karantina wilayah di Malaysia dan melihat kenyataan paspornya sudah tidak berlaku lagi, Mirna membayar agen sekitar Rp12 juta untuk memulangkan mereka.
Malangnya, agen tersebut kabur bersama uangnya dan malah polisi Malaysia yang datang menjemput untuk menginapkan mereka di hotel prodeo. Perempuan asal Nusa Tenggara Timur (NTT) itu harus mendekam di penjara selama sepekan sebelum dideportasi bersama kedua anaknya yang masih balita pada awal April.
Suaminya masih harus mendekam di penjara Malaysia sambil menunggu proses deportasi. Mirna sendiri sudah berada di Rumah Perlindungan Traumatic Center (RPTC) Bambu Apus Kemensos selama satu bulan lebih.
"Masih belum bisa pulang, kapal ke NTT baru ada 26 Juni," kata Marni dengan logat melayu kental setelah delapan tahun tinggal di Malaysia.
Melihat kenyataan tersebut, Marni hanya bisa menerima nasib tinggal di RPTC Bambu Apus bersama kedua anaknya, dengan yang tertua memiliki panggilan akrab Jokowi Kecil.
Marni mengaku menyesal, marah dan kecewa dengan nasibnya saat ini, mengingat pekerjaannya di Malaysia menjadi tumpuan anggota keluarganya.
Setelah pandemi usai dia bertekad untuk kembali menjadi TKI lewat jalur legal meski tidak bisa kembali ke Malaysia. Alasannya karena pendapatan yang dia terima selama bekerja sebagai petugas cleaning service di sebuah agen di Malaysia lebih besar dibandingkan ketika mencari uang di Indonesia.
Rencananya, dia akan menitipkan kedua anaknya kepada orang tuanya yang berada di NTT ketika bekerja kembali ke luar negeri. Suaminya sendiri berniat tidak akan kembali bekerja sebagai TKI, tapi menjadi nelayan.
"Kalau saya kan masih muda, cari uang saja dulu dan di luar negeri lebih besar daripada di sini. Biar suami dan orang tua yang jaga anak sementara saya bekerja," kata perempuan berusia 24 tahun itu.
Berbeda dengan Marni, TKI lain bernama Purnama yang juga berada di RPCT Bambu Apus tidak ingin kembali bekerja di negara orang setelah dideportasi dari Malaysia.
Dia ingin membantu orang tuanya yang bekerja sebagai peternak di NTT karena kondisi kakinya yang sudah tidak seperti dulu setelah menjadi korban tabrak lari di Johor, Malaysia.
Purnama sudah 12 tahun bekerja sebagai operator mesin pengangkut barang di sebuah perusahaan di Johor, Malaysia. Awalnya dia bekerja sebagai buruh di Batam sebelum tergiur dengan ajakan teman mendapatkan upah yang lebih besar di Malaysia.
Sama seperti Marni, dia sudah berencana akan kembali ke Tanah Air tapi agen yang membantu penempatannya di Negeri Jiran kabur bersama paspornya. Purnama hanya bisa pasrah duduk di asrama karena tidak bisa lari saat polisi Malaysia datang.
"Pulang nanti saya akan bantu orang tua. Memang di sana (gajinya) lebih besar, tapi mau gimana lagi," kata dia.
RPTC Bambu Apus adalah tempat singgah sementara bagi mereka yang menjadi korban perdagangan orang dan tindak kekerasan. Panti itu juga menjadi tempat penempatan sementara bagi TKI ilegal yang dideportasi sebelum dipulangkan ke daerah asal.
Saat ini, RPCT Bambu Apus menampung 24 orang dengan rincian 10 orang TKI ilegal yang dideportasi, termasuk Mirna dan Purnama, juga 14 anak buah kapal (ABK) Long Xing 629 berbendera China yang diduga mengalami tindak kekerasan. Kepolisian Indonesia tengah mengusut kasus mereka dalam dugaan pidana perdagangan orang.
Tempat itu sendiri merupakan rumah aman yang berfokus pada rehabilitasi para penghuninya, terutama pagi pekerja yang mengalami kekerasan atau pihak lain yang mengalami hal serupa, kata Kepala Sub Direktorat Korban Perdagangan Orang Kemensos Dian Bulan Sari.
"Di sini lebih kepada rumah aman dengan kegiatan bersifat rehabilitasi sosial seperti terapi kehidupan dimana mereka diberi keterampilan bercocok tanam dengan harapan bisa menjadi bekal mereka setelah kembali ke kampung halaman," kata Dian.
Permasalahan pekerja
Baik BRS Mulya Jaya dan RPTC Bambu Apus adalah bukti kehadiran negara untuk para pekerja yang terdampak COVID-19, baik yang berada di dalam negeri maupun juga PMI yang dipulangkan dari negara penempatan.
Hal itu penting mengingat menurut perkiraan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sekitar 3,7 juta orang dirumahkan atau terkena PHK, lebih besar dari 1,7 juta yang dicatat Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).
Permasalahan PMI atau TKI juga perhatian pemerintah Indonesia dengan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) memperkirakan 34.300 PMI dari berbagai negara penempatan akan kembali ke Tanah Air dalam periode Mei-Juni 2020.
Sektor ketenagakerjaan mengalami pukulan akibat pandemi COVID-19 dan pemerintah sudah melakukan berbagai langkah untuk mengatasinya.
Mulai dari memberikan bantuan sosial baik berupa sembako atau bantuan langsung tunai kepada para pekerja dan buruh yang ekonominya jatuh akibat kehilangan penghasilan sampai meluncurkan Kartu Prakerja dengan insentif untuk membantu mereka.
Semua itu dilakukan agar mereka bisa bertahan dan dapat kembali mandiri setelah pandemi usai atau ketika pemerintah menyatakan aktivitas ekonomi dapat kembali berjalan seperti biasa.
Dapat kembali bekerja merupakan hal yang penting bagai para pekerja terdampak COVID-19, penting bagi Silvia, Juliana, Marni dan Purnama.
"Saya ingin bekerja, ingin usaha lagi, mau berdiri lagi di atas kaki sendiri," kata Silvia.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020