Oleh I Ketut Sutika

Denpasar (Antara Bali) - Hiasan penjor dipasang sepanjang jalan menuju kegiatan ritual berskala besar di Pura Sakenan, di wilayah Desa Adat Serangan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar yang puncaknya bertepatan dengan Hari Raya Kuningan, Sabtu (11/2).

Umat Hindu Dharma  merayakan hari Raya Kuningan, rangkaian hari raya Galungan yang bermakna memperingati kemenangan Dharma (kebaikan) melawaan Adharma (keburukan), sekaligus  memohon kemakmuran (amertha), mengasah kemampuan intelektual dan memperhalus budi pekerti.

Umat Hindu pada hari yang istimewa itu memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya sebagai  Sang Hyang Maha Dewa dan para leluhur agar dianugrahi kesentosaan, umur panjang (kedhirgayusan)  serta terpenuhinya kebutuhan lahir bhatin.

Upacara ritual di Pura Sakenan bertepatan dengan hari Raya Kuningan itu dilakukan berbagai persiapan melibatkan ratusan warga masyarakat dari empat desa pekraman (adat) berbaur dengan  umat yang datang dari berbagai tempat di Bali untuk melakukan berbagai persiapan, tutur tokoh Puri Kesiman, Anak Agung Kusuma Wardana yang mewarisi mengayom pura tersebut.

Persiapan dilakukan secara matang dengan harapan  kegiatan ritual  yang berlangsung selama tiga hari,  10-12 Febriari 2012, yakni sehari sebelum dan sedudah Kuningan itu dihadiri umat dari delapan kabupaten dan satu kota di Bali dapat terlaksana  dengan lancar.

Unik dan menarik, persiapan itu tidak hanya dilakukan umat Hindu dari desa adat bersangkutan, namun  juga melibatkan warga Kampung Bugis yang beragama Islam, bermukim di wilayah desa adat Serangan, sekitar tempat suci itu.

Desa Adat Serangan terdiri atas enam banjar dan satu kampung Bugis. Mereka menurut Kusuma Wardana, tokoh Puri Kesinam,  selama ini  hidup mesra dan harmonis, hidup berdampingan satu sama lainnya, tanpa pernah terjadi masalah.

Kerukunan hidup beragama berlangsung secara turun-temurun sejak orang Bugis, Sulawesi Selatan, datang dan bermukim di Kampung Bugis,  kelurahan Serangan, Kota Denpasar sekitar abad XVII.

"Mereka hidup rukun dan saling membantu satu sama lain, sehingga layak menjadi contoh bagi kerukunan antarumat beragama,'" tutur  Kusuma Wardana.

Ungkapan itu dilandasi atas kenyataan, peranserta kaum muslim dalam menyukseskan kegiatan-kegiatan yang bernuansa Hindu. Demikian pula jika umat Muslim dalam menyambut hari-hari besar keagamaan, umat Hindu tanpa pernah diminta akan membantu, apa yang bisa dilakukan dalam menyambut hari suci umat Islam.

Mohammad Sidik (38), seorang warga Kampung Bugis menuturkan, warga non Hindu semata-mata tidak hanya dilibatkan untuk persiapan, namun juga pada acara puncak pelaksanaan ritual.

Kegiatan ritual di Pura Sakenan yang didukung Pemerintah Kota Denpasar itu juga melibatkan non muslim. Mereka berbaur satu sama lain. Mengenakan pakaian adat Bali  ikut membantu kelancaran saat umat Hindu melaksanakan piodalan di Pura Sakenan yang akan berlangsung tiga hari, 10-12 Februari 2012.

"Saya sering kali ditunjuk sebagai anggota keamanan desa adat (pecalang), yakni menjaga pintu masuk pura. Saya diberi kewenangan untuk  menutup pintu sekaligus melarang umat masuk jika halaman pura sudah penuh, sehingga menunggu persembahyangan tahap berikutnya," tutur ayah dari dua putra-putri yang bekerja sebagai nelayan.

Warga Kampung Bugis di Wilayah Desa Adat Serangan mewarisi tradisi atau upacara 'Sinto" yang dilakukan setahun sekali yakni pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW itu, selama ini hidup rukun dengan tetangganya yang beragama Hindu.

Kerukunan antarumat beragama sangat kokoh, tidak pernah terjadi masalah yang menyangkut antaragama dan kondisi demikian itu sudah disadari dan semua pihak bertekad untuk memelihara dan lebih dimantapkan pada masa-masa mendatang.

Kerukunan antarumat beragama yang demikian itu tidak jauh berbeda dengan kerukunan antarumat secara umum di Pulau Dewata, tutur Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali Doktor I Gusti Ngurah Sudiana.

        
Membludak

Setiap piodalan di Pura Sakenan, salah satu pura "Sad Kayangan" di Bali umat Hindu selalu membludak menghadiri persembahyangan di Pura tersebut bertepatan dengan hari Raya Kuningan.

Mengenakan pakaian adat Bali, ribuan umat datang ke Pura Sakenan yang berlokasi di Kelurahan Serangan, Kota Denpasar. Tempat suci itu sebelumnya terpisah dengan daratan Pulau Bali, sehingga umat Hindu yang bersembahyang ke sana menggunakan jasa perahu motor atau jukung.

Namun sekarang lokasi tersebut menyatu dengan daratan Pulau Bali, berkat adanya pengerukan dan perluasan yang dilakukan oleh Bali Turtle Island  Development (BTID), sebuah perusahaan swasta nasional, dan kini daerah itu menjadi satu dengan daratan Bali.

Masyarakat kini dengan mudah bisa menjangkau lokasi itu dengan  kendaraan bermotor, mereka hanya membayar ongkos parkir yang dipungut oleh desa adat setempat.

Tidak tertutup kemungkinan wisatawan mancanegara yang umumnya mengenakan pakaian adat Bali maupun kain ikut berbaur dengan umat Hindu untuk menyaksikan jalannya upacara keagamaan yang berlangsung setiap 210 hari sekali.

Pura Sakenan tempat suci umat Hindu yang berlokasi tidak jauh dari jalan jalur Sanur-Nusa Dua itu memiliki keunikan dan keistimewaan.

Pura "Sad Kayangan" itu memiliki  "Persada" yang tidak ada pada pura lainnya di Bali. "Persada" merupakan bangunan yang bertingkat-tingkat seperti limas.

Menurut sejarah pura Sakenan dibangun oleh Asthapaka, seorang pendeta Budha. Hal itu dilakukan karena sang pendeta kagum akan keindahan laut berpadu dengan keindahan daratan.

Sang pendeta merasa bahwa di tempat itu ada suatu kekuatan suci, sangat baik untuk memuja Tuhan demi keselamatan dan kesejahteraan umat manusia.(IGT)

Pewarta:

Editor : Masuki


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012