Semarang (Antara Bali) - Ekonom Universitas Diponegoro Semarang Nugroho SBM menilai, menaikkan harga bahan bakar minyak pada tahun ini lebih realistis dibandingkan dengan menerapkan kebijakan pembatasan BBM yang lebih rumit.

Selain rumit kebijakan pembatasan BBM juga memiliki risiko tinggi untuk diselewengkan, kata Nugroho di Semarang, Senin, menanggapi kebijakan pembatasan BBM.

"Betapa sulitnya mengawasi distribusi BBM bersubsidi bila pada barang sama ada disparitas harga yang begitu lebar. Kondisi ini akan mendorong sejumlah orang untuk mencari keuntungan dengan cara ilegal," katanya.

Bila harga premium bersubsidi dipertahankan Rp4.500/liter untuk sepeda motor dan angkutan umum, sementara mobil pribadi dikenai harga premium tanpa subsidi maka selisih harga ini akan jadi peluang besar bagi para spekulan yang ingin mengeruk keuntungan secara ilegal.

Spekulan akan memborong premium dengan harga Rp4.500 di SPBU kemudian menjual eceran, misalnya, dengan harga Rp6.000/liter kepada pemilik mobil pelat hitam.

Pemilik mobil tentu memilih beli BBM di pinggiran jalan dengan harga Rp6.000/liter ketimbang mengisi BBM di SPBU yang harganya lebih mahal.

Menurut dosen Fakultas Ekonomi Undip itu, kenaikan harga BBM jenis premium Rp6.000/liter di tingkat konsumen masih bisa diterima, sebab harga BBM bersubsidi sebesar ini sudah bertahan bertahun-tahun.(T007)

Pewarta:

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012