Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali I Putu Astawa menegaskan sejauh ini kunjungan wisatawan mancanegara ke Pulau Dewata, selain yang dari China, masih dalam keadaan normal dan tidak terjadi penurunan.
"Kalau wisatawan yang lain (di luar China-red), saya perhatikan di sini masih berjalan seperti biasa," kata Astawa, di Denpasar, Sabtu.
Untuk hotel-hotel di kawasan Sanur, Kota Denpasar, misalnya tingkat okupansinya masih rata-rata di atas 70 persen dan itu kondisi normal terjadi dalam bulan Februari yang termasuk dalam "low season". Bahkan ada sejumlah hotel di Sanur yang okupansinya mencapai 95 persen.
Baca juga: Menkes: Pemerintah akan bantu kepentingan WNI di Wuhan
Oleh karena itu, ujar Astawa, isu yang menyebutkan Bali ibarat "Kota Hantu" karena kehilangan kunjungan wisatawan China, sama sekali tidak benar.
Menurut mantan Kepala Bappeda Provinsi Bali itu, jika wabah virus corona (Covid-19) yang melanda China berkepanjangan, dalam satu tahun itu Bali berpotensi kehilangan wisman hingga 18 persen lebih, jika berkaca dari kunjungan wisman ke Bali pada 2019.
Berdasarkan data kunjungan wisman ke Bali sepanjang 2019 dengan jumlah total 6.275.210 jiwa, wisatawan China berada pada posisi kedua tingkat kunjungan tertinggi ke Pulau Dewata yakni mencapai 1.186.057 jiwa (18,90 persen).
"Sehingga dalam satu tahun kita berpotensi kehilangan 18 persen dari total kunjungan wisatawan mancanegara," ujar Astawa.
Meskipun demikian, lanjut dia, masih ada wisatawan dari Negeri Tirai Bambu itu yang memperpanjang masa tinggalnya. Sesuai data Imigrasi, ada sekitar 1.200-an wisatawan China yang kini masih berada di Bali. Dengan penambahan lama tinggal itu diharapkan dapat mengurangi potensi kehilangan kunjungan wisman dari China yang 18 persen.
Astawa menambahkan, dengan penurunan kunjungan wisatawan China ke Pulau Dewata dalam waktu hampir sebulan, Bali telah kehilangan pendapatan dari pariwisata kisaran Rp10 miliar.
Berdasarkan data, ada sekitar 20.000-an wisatawan China yang membatalkan kunjungannya ke Pulau Dewata. Sedangkan rata-rata pengeluaran atau "spending money" per 5 hari sekitar 300-500 dolar AS (antara Rp5-7 juta). "Anggaplah Rp5 juta kali 20 ribu, jadi 1 bulan ini kehilangan sekitar Rp10 miliar untuk wisatawan China," katanya.
Ketua Bali Hotel Association (BHA) I Made Ricky Darmika Putra berharap pangsa pasar lain seperti wisatawan Australia, Eropa, Jepang dan Korea tetap datang ke Bali dan bahkan bertambah. "Kita tentu tidak bisa bersedih berlama-lama, kita harus meningkatkan pasar wisman yang hilang," ujarnya
Selain itu, pihaknya berharap ada perubahan destinasi kunjungan wisman yang tadinya ingin ke China menjadi ke Bali ataupun provinsi lainnya di Indonesia.
Namun, Ricky tidak memungkiri, tentu hal tersebut bukan perkara mudah karena memerlukan terobosan diantaranya untuk menambah penerbangan terutama dari Amerika Serikat, Timur Tengah, dan juga dari Eropa untuk mengurangi potensi kehilangan kunjungan wisatawan China.
Dia menambahkan, kawasan wisata Kuta, Seminyak dan Nusa Dua, Kabupaten Badung yang paling terdampak akibat penurunan kunjungan wisatawan China ke Bali. "Kalau di Seminyak, okupansi hotel sampai hanya 35 persen. Sedangkan di Sanur, 'impact-nya kisaran 6-7 persen," katanya yang juga General Manager Santrian Group Corporate itu.
Salah satu wisatawan asal Belanda, Rob Horbach, mengaku merasa nyaman berada di Bali. Kalau datang ke Pulau Dewata, ia memilih tinggal di Puri Santrian, Sanur. Terkait virus corona (Covid-19), ia pun tidak merasa khawatir.
"Virus itu kan berada Wuhan, China. Lagi pula tidak ada larangan dari Pemerintah Indonesia ataupun dari pemerintah kami berwisata ke Indonesia dan Bali khususnya," ujarnya.
Apalagi, terkait dengan virus Covid-19 ini di Indonesia nihil. "Saya rasa tidak ada corona. Di Belanda sendiri tidak ada kasus ini. Pemerintah kami di Belanda sendiri sudah ada penutupan penerbangan dari dan ke China. Jadi, orang tidak akan pergi ke China jika kasus ini masih ada," kata Horbach.
Johannes Tuyt wisatawan asal Belanda lainnya pun merasa nyaman berada di Bali . Ia bersama keluarganya memang selalu memilih Bali sebagai tempat bersiwsata. Ia sudah beberapa kali datang ke Bali sejak 25 tahun lalu.
Ia merasa sangat senang dengan keramahan masyarakat Bali. Begitu bertemu, ia merasa bersama orang yang sudah berteman lama, sehingga membawa perasaan, seperti berada di rumah sendiri.
"Di rumah kami hanya ada cuaca dingin serta hujan. Di sini cuacanya sangat bagus dan orang-orang ramah yang sangat baik. Negaranya bagus dan cuaca yang hangat," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020
"Kalau wisatawan yang lain (di luar China-red), saya perhatikan di sini masih berjalan seperti biasa," kata Astawa, di Denpasar, Sabtu.
Untuk hotel-hotel di kawasan Sanur, Kota Denpasar, misalnya tingkat okupansinya masih rata-rata di atas 70 persen dan itu kondisi normal terjadi dalam bulan Februari yang termasuk dalam "low season". Bahkan ada sejumlah hotel di Sanur yang okupansinya mencapai 95 persen.
Baca juga: Menkes: Pemerintah akan bantu kepentingan WNI di Wuhan
Oleh karena itu, ujar Astawa, isu yang menyebutkan Bali ibarat "Kota Hantu" karena kehilangan kunjungan wisatawan China, sama sekali tidak benar.
Menurut mantan Kepala Bappeda Provinsi Bali itu, jika wabah virus corona (Covid-19) yang melanda China berkepanjangan, dalam satu tahun itu Bali berpotensi kehilangan wisman hingga 18 persen lebih, jika berkaca dari kunjungan wisman ke Bali pada 2019.
Berdasarkan data kunjungan wisman ke Bali sepanjang 2019 dengan jumlah total 6.275.210 jiwa, wisatawan China berada pada posisi kedua tingkat kunjungan tertinggi ke Pulau Dewata yakni mencapai 1.186.057 jiwa (18,90 persen).
"Sehingga dalam satu tahun kita berpotensi kehilangan 18 persen dari total kunjungan wisatawan mancanegara," ujar Astawa.
Meskipun demikian, lanjut dia, masih ada wisatawan dari Negeri Tirai Bambu itu yang memperpanjang masa tinggalnya. Sesuai data Imigrasi, ada sekitar 1.200-an wisatawan China yang kini masih berada di Bali. Dengan penambahan lama tinggal itu diharapkan dapat mengurangi potensi kehilangan kunjungan wisman dari China yang 18 persen.
Astawa menambahkan, dengan penurunan kunjungan wisatawan China ke Pulau Dewata dalam waktu hampir sebulan, Bali telah kehilangan pendapatan dari pariwisata kisaran Rp10 miliar.
Berdasarkan data, ada sekitar 20.000-an wisatawan China yang membatalkan kunjungannya ke Pulau Dewata. Sedangkan rata-rata pengeluaran atau "spending money" per 5 hari sekitar 300-500 dolar AS (antara Rp5-7 juta). "Anggaplah Rp5 juta kali 20 ribu, jadi 1 bulan ini kehilangan sekitar Rp10 miliar untuk wisatawan China," katanya.
Ketua Bali Hotel Association (BHA) I Made Ricky Darmika Putra berharap pangsa pasar lain seperti wisatawan Australia, Eropa, Jepang dan Korea tetap datang ke Bali dan bahkan bertambah. "Kita tentu tidak bisa bersedih berlama-lama, kita harus meningkatkan pasar wisman yang hilang," ujarnya
Selain itu, pihaknya berharap ada perubahan destinasi kunjungan wisman yang tadinya ingin ke China menjadi ke Bali ataupun provinsi lainnya di Indonesia.
Namun, Ricky tidak memungkiri, tentu hal tersebut bukan perkara mudah karena memerlukan terobosan diantaranya untuk menambah penerbangan terutama dari Amerika Serikat, Timur Tengah, dan juga dari Eropa untuk mengurangi potensi kehilangan kunjungan wisatawan China.
Dia menambahkan, kawasan wisata Kuta, Seminyak dan Nusa Dua, Kabupaten Badung yang paling terdampak akibat penurunan kunjungan wisatawan China ke Bali. "Kalau di Seminyak, okupansi hotel sampai hanya 35 persen. Sedangkan di Sanur, 'impact-nya kisaran 6-7 persen," katanya yang juga General Manager Santrian Group Corporate itu.
Salah satu wisatawan asal Belanda, Rob Horbach, mengaku merasa nyaman berada di Bali. Kalau datang ke Pulau Dewata, ia memilih tinggal di Puri Santrian, Sanur. Terkait virus corona (Covid-19), ia pun tidak merasa khawatir.
"Virus itu kan berada Wuhan, China. Lagi pula tidak ada larangan dari Pemerintah Indonesia ataupun dari pemerintah kami berwisata ke Indonesia dan Bali khususnya," ujarnya.
Apalagi, terkait dengan virus Covid-19 ini di Indonesia nihil. "Saya rasa tidak ada corona. Di Belanda sendiri tidak ada kasus ini. Pemerintah kami di Belanda sendiri sudah ada penutupan penerbangan dari dan ke China. Jadi, orang tidak akan pergi ke China jika kasus ini masih ada," kata Horbach.
Johannes Tuyt wisatawan asal Belanda lainnya pun merasa nyaman berada di Bali . Ia bersama keluarganya memang selalu memilih Bali sebagai tempat bersiwsata. Ia sudah beberapa kali datang ke Bali sejak 25 tahun lalu.
Ia merasa sangat senang dengan keramahan masyarakat Bali. Begitu bertemu, ia merasa bersama orang yang sudah berteman lama, sehingga membawa perasaan, seperti berada di rumah sendiri.
"Di rumah kami hanya ada cuaca dingin serta hujan. Di sini cuacanya sangat bagus dan orang-orang ramah yang sangat baik. Negaranya bagus dan cuaca yang hangat," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020