Mantan Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo mengingatkan media mainstream untuk tidak mudah menjadikan konten di media sosial sebagai konten pemberitaan tanpa memahami kaidah jurnalistik.
"Banyak survei telah merilis medsos justru lebih digandrungi untuk mencari informasi daripada media mainstream," kata Yosep Adi Prasetyo melalui pernyataan tertulis kepada ANTARA di Jakarta, Kamis.
Di lain pihak, kata dia, media mainstream justru menjadikan konten medsos sebagai berita, padahal konten di medsos itu banyak dipenuhi berita bohong (hoaks), adu domba, dan politik identitas.
Menurut dia, kecenderungan itulah yang justru akan menyuburkan disinformasi dan mematikan literasi.
"Menurut saya itu kesalahan teman-teman dari wartawan media mainstream yang tidak memahami kaidah jurnalistik secara benar," kata pemerhati hukum dan penulis aktif itu.
Baca juga: Kominfo temukan 54 hoaks Corona
Yosep menyebutkan bahwa setiap tanggal 9 Februari diperingati sebagai Hari Pers Nasional (HPN) yang menjadi penanda pentingnya media dalam membangun jati diri dan mencerdaskan bangsa.
Ironisnya, kata pria kelahiran Malang, 20 Juni 1959 tersebut, pada era digital ini pers harus berperang melawan kemajuan teknologi informasi teknologi berupa medsos.
"Boleh saja konten medsos menjadi sumber informasi. Akan tetapi, tetap tugas jurnalistik itu adalah melakukan cek dan ricek, memeriksa fakta, kemudian setiap informasi itu harus diverifikasi, klarifikasi, dan dikonfrontasi kepada pihak-pihak terkait," kata Yosep.
Menurut Yosep, untuk menjadikan sebuah berita menjadi produk jurnalistik itu harus sesuai dengan kode etik jurnalistik, sedangkan di medsos siapa saja bisa menulis tanpa mengikuti kode etik jurnalistik.
Baca juga: PPIT Wuhan: jangan percaya hoaks terkait kondisi WNI di Wuhan
"Media mainstream tidak bisa begitu saja menggunakan konten dari medsos, misalnya dari Facebook untuk jadi berita. Karena kalau ada pihak yang berkeberatan, itu bisa dilaporkan ke polisi," katanya menegaskan.
Polisi, kata Yosep, akan berkoordinasi dengan Dewan Pers. Kalau kemudian Dewan Pers mengatakan bahwa itu bukan produk jurnalistik, bisa terkena UU ITE atau UU pidana yang lain.
Dalam UU Pers menyebutkan bahwa produk jurnalistik adalah produk berita yang dihasilkan oleh sebuah badan hukum yang dilakukan oleh wartawan.
"Sayangnya, para pejabat kita banyak yang tidak paham mengenai ini sehingga mereka sering kali menggunakan medsos untuk menerima informasi dari orang-orang yang tidak jelas dan tidak berbadan hukum sehingga munculah yang namanya hoaks,” ucap Yosep.
Selain itu, Yosep juga mengungkapkan bahwa di medsos semua orang bisa menulis yang kemudian bisa di-forward ke mana-mana hingga kemudian viral.
Ia mencontohkan pemberitaan tentang virus Corona (Koronavirus). Sejauh ini media-media mainstream yang berbadan hukum tetap melakukan klarifikasi dari sumber-sumber resmi, seperti Kementerian Kesehatan dan Kementerian Luar Negeri.
"Akan tetapi, kalau di medsos tidak. Celakanya malah yang di medsos yang cepat viral,” kata mantan Wakil Ketua dan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) itu.
Jika ada media daring yang banyak mengutip sumber dari media sosial, menurut dia, tinggal dicek saja media online-nya berbadan hukum atau tidak di websitenya di Dewan Pers karena Dewan Pers pasti akan melakukan uji kompetensi, kemudian melakukan verifikasi perusahaan-perusahaan pers.
"Tinggal sekarang bagaimana kita melakukan media literasi kepada masyarakat, khususnya tentang literasi digital agar masyarakat bisa mencari sumber informasi rujukan yang benar," katanya menjelaskan.
Oleh sebab itu, Yosep berharap pemerintah bersama Dewan Pers harus bersinergi untuk membangun wawasan tentang media literasi, sementara masyarakat juga harus berperan aktif melaporkan informasi-informasi yang tidak benar.
“Jadi, aparat kepolisian bekerja sama dengan Kemkominfo melakukan proses tindakan hukum dan pemblokiran akun, lalu kementerian terkait, seperti Kemendikbud dan yang lain juga bisa ikut berperan untuk membantu sosialisasi kepada murid dan masyarakat, termasuk juga BNPT untuk mencegah penyebaran paham radikalisme dan terorisme," kata Yosep Adi Prasetyo.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020
"Banyak survei telah merilis medsos justru lebih digandrungi untuk mencari informasi daripada media mainstream," kata Yosep Adi Prasetyo melalui pernyataan tertulis kepada ANTARA di Jakarta, Kamis.
Di lain pihak, kata dia, media mainstream justru menjadikan konten medsos sebagai berita, padahal konten di medsos itu banyak dipenuhi berita bohong (hoaks), adu domba, dan politik identitas.
Menurut dia, kecenderungan itulah yang justru akan menyuburkan disinformasi dan mematikan literasi.
"Menurut saya itu kesalahan teman-teman dari wartawan media mainstream yang tidak memahami kaidah jurnalistik secara benar," kata pemerhati hukum dan penulis aktif itu.
Baca juga: Kominfo temukan 54 hoaks Corona
Yosep menyebutkan bahwa setiap tanggal 9 Februari diperingati sebagai Hari Pers Nasional (HPN) yang menjadi penanda pentingnya media dalam membangun jati diri dan mencerdaskan bangsa.
Ironisnya, kata pria kelahiran Malang, 20 Juni 1959 tersebut, pada era digital ini pers harus berperang melawan kemajuan teknologi informasi teknologi berupa medsos.
"Boleh saja konten medsos menjadi sumber informasi. Akan tetapi, tetap tugas jurnalistik itu adalah melakukan cek dan ricek, memeriksa fakta, kemudian setiap informasi itu harus diverifikasi, klarifikasi, dan dikonfrontasi kepada pihak-pihak terkait," kata Yosep.
Menurut Yosep, untuk menjadikan sebuah berita menjadi produk jurnalistik itu harus sesuai dengan kode etik jurnalistik, sedangkan di medsos siapa saja bisa menulis tanpa mengikuti kode etik jurnalistik.
Baca juga: PPIT Wuhan: jangan percaya hoaks terkait kondisi WNI di Wuhan
"Media mainstream tidak bisa begitu saja menggunakan konten dari medsos, misalnya dari Facebook untuk jadi berita. Karena kalau ada pihak yang berkeberatan, itu bisa dilaporkan ke polisi," katanya menegaskan.
Polisi, kata Yosep, akan berkoordinasi dengan Dewan Pers. Kalau kemudian Dewan Pers mengatakan bahwa itu bukan produk jurnalistik, bisa terkena UU ITE atau UU pidana yang lain.
Dalam UU Pers menyebutkan bahwa produk jurnalistik adalah produk berita yang dihasilkan oleh sebuah badan hukum yang dilakukan oleh wartawan.
"Sayangnya, para pejabat kita banyak yang tidak paham mengenai ini sehingga mereka sering kali menggunakan medsos untuk menerima informasi dari orang-orang yang tidak jelas dan tidak berbadan hukum sehingga munculah yang namanya hoaks,” ucap Yosep.
Selain itu, Yosep juga mengungkapkan bahwa di medsos semua orang bisa menulis yang kemudian bisa di-forward ke mana-mana hingga kemudian viral.
Ia mencontohkan pemberitaan tentang virus Corona (Koronavirus). Sejauh ini media-media mainstream yang berbadan hukum tetap melakukan klarifikasi dari sumber-sumber resmi, seperti Kementerian Kesehatan dan Kementerian Luar Negeri.
"Akan tetapi, kalau di medsos tidak. Celakanya malah yang di medsos yang cepat viral,” kata mantan Wakil Ketua dan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) itu.
Jika ada media daring yang banyak mengutip sumber dari media sosial, menurut dia, tinggal dicek saja media online-nya berbadan hukum atau tidak di websitenya di Dewan Pers karena Dewan Pers pasti akan melakukan uji kompetensi, kemudian melakukan verifikasi perusahaan-perusahaan pers.
"Tinggal sekarang bagaimana kita melakukan media literasi kepada masyarakat, khususnya tentang literasi digital agar masyarakat bisa mencari sumber informasi rujukan yang benar," katanya menjelaskan.
Oleh sebab itu, Yosep berharap pemerintah bersama Dewan Pers harus bersinergi untuk membangun wawasan tentang media literasi, sementara masyarakat juga harus berperan aktif melaporkan informasi-informasi yang tidak benar.
“Jadi, aparat kepolisian bekerja sama dengan Kemkominfo melakukan proses tindakan hukum dan pemblokiran akun, lalu kementerian terkait, seperti Kemendikbud dan yang lain juga bisa ikut berperan untuk membantu sosialisasi kepada murid dan masyarakat, termasuk juga BNPT untuk mencegah penyebaran paham radikalisme dan terorisme," kata Yosep Adi Prasetyo.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020