Generasi muda harus aktif dalam demokrasi era baru yang menggunakan teknologi digital serta tidak lupa untuk menuangkan pendapat secara langsung dalam demokrasi konvensional, kata Wakil Menteri Luar Negeri RI Mahendra Siregar.
Dalam diskusi santai dengan 113 delegasi anak muda berbagai negara untuk Forum Demokrasi Bali (Bali Democracy Forum/BDF) ke-12 di Bali, Rabu malam, Mahendra mendorong anak muda yang giat di media sosial untuk menyalurkan hak pilih di kotak suara.
"Sebagian anak muda berpikir ketika sudah sangat aktif di dunia digital, mereka bisa mengabaikan pentingnya mengomunikasikan dan mewujudkan hak demokrasi mereka secara konvensional," ujar Mahendra.
Dia mengambil contoh dalam pelaksanaan referendum Brexit di Inggris, di mana anak muda yang memberikan hak suara hanya sekitar 33-34 persen saja, sementara kecenderungan mereka membicarakan isu tersebut di dunia maya cukup tinggi.
"Mereka semacam kehilangan momen untuk ambil bagian dalam proses pengambilan keputusan yang barangkali sangat penting itu," kata Mahendra menambahkan.
Baca juga: Bali terima penghargaan indeks demokrasi tertinggi kedua di Indonesia
Secara umum mengenai pelaksanaan demokrasi digital, menurut Mahendra, terdapat beberapa pandangan berbeda dari anak muda. "Ada yang melihat itu sebagai suatu kesempatan yang makin besar untuk bisa berpartisipasi dalam demokrasi, sebaliknya ada juga yang melihat itu dengan pandangan yang lebih khawatir karena penyalahgunaan platform digital tersebut," kata dia.
Hyacynthia Kesuma, delegasi asal Indonesia, termasuk anak muda dalam kategori kedua. Ia mengaitkan demokrasi digital di Indonesia dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
"Anak muda diminta untuk speak out di media sosial, tetapi ada banyak regulasi yang membuat kami bisa dengan mudah dituntut kalau bicara sesuatu yang tidak sesuai. Jadi, yang disebut free public speaking nyatanya tidak terlalu bebas untuk kami," ujar Hyacynthia.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019
Dalam diskusi santai dengan 113 delegasi anak muda berbagai negara untuk Forum Demokrasi Bali (Bali Democracy Forum/BDF) ke-12 di Bali, Rabu malam, Mahendra mendorong anak muda yang giat di media sosial untuk menyalurkan hak pilih di kotak suara.
"Sebagian anak muda berpikir ketika sudah sangat aktif di dunia digital, mereka bisa mengabaikan pentingnya mengomunikasikan dan mewujudkan hak demokrasi mereka secara konvensional," ujar Mahendra.
Dia mengambil contoh dalam pelaksanaan referendum Brexit di Inggris, di mana anak muda yang memberikan hak suara hanya sekitar 33-34 persen saja, sementara kecenderungan mereka membicarakan isu tersebut di dunia maya cukup tinggi.
"Mereka semacam kehilangan momen untuk ambil bagian dalam proses pengambilan keputusan yang barangkali sangat penting itu," kata Mahendra menambahkan.
Baca juga: Bali terima penghargaan indeks demokrasi tertinggi kedua di Indonesia
Secara umum mengenai pelaksanaan demokrasi digital, menurut Mahendra, terdapat beberapa pandangan berbeda dari anak muda. "Ada yang melihat itu sebagai suatu kesempatan yang makin besar untuk bisa berpartisipasi dalam demokrasi, sebaliknya ada juga yang melihat itu dengan pandangan yang lebih khawatir karena penyalahgunaan platform digital tersebut," kata dia.
Hyacynthia Kesuma, delegasi asal Indonesia, termasuk anak muda dalam kategori kedua. Ia mengaitkan demokrasi digital di Indonesia dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
"Anak muda diminta untuk speak out di media sosial, tetapi ada banyak regulasi yang membuat kami bisa dengan mudah dituntut kalau bicara sesuatu yang tidak sesuai. Jadi, yang disebut free public speaking nyatanya tidak terlalu bebas untuk kami," ujar Hyacynthia.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019