Ulama muda Nahdlatul Ulama asal Situbondo, Jawa Timur, KHR Ahmad Azaim Ibrahimy, mengingatkan hakikat sila pertama dari Pancasila bagi yang mengusulkan wacana mengenai Negara Kesatuan Repuklik Indonesia (NKRI) syariah, karena sila pertama Pancasila yang menjiwai kehidupan berbangsa dan bernegara itu sudah termasuk dalam NKRI syariah.
"Kalau gaung itu muncul dari kelompok lama dengan pola pikir radikalismenya saya pikir itu adalah sesuatu yang bisa ditebak ke arah mana. Tetapi kalau kemudian yang dimaksud NKRI bersyariah adalah bisa bersinergi dengan ajaran agama, itu yang diperjuangkan ulama kita sejak dulu," katanya kepada Antara ketika ditemui pada pengajian rutin bulanan di Kantor Ikatan Santri Alumni Salafiyah Syafiiyah (IKSASS) Bondowoso, Jawa Timur, Rabu (14/8) malam.
Sebelumnya, Ijtima Ulama IV yang diselenggarakan di Bogor, Jawa Barat, Senin (5/8) mengeluarkan sejumlah butir kesepakatan atau keputusan, salah satunya keinginan mewujudkan NKRI yang syariah dengan prinsip ayat suci di atas ayat konstitusi.
Kiai Azaim menjelaskan bahwa yang dimaksud bersinergi dengan ajaran agama itu adalah bagaimana sila pertama dari Pancasila bisa menjiwai setiap sila atau sila-sila lainnya. Hal itu juga bisa dimaknai senafas dengan Firman Allah "Qulhuwallahu ahad" yang artinya, "Katakan bahwa Tuhan itu satu".
"Itu di Tahun 1980-an dunia pesantren sudah bisa menerima Pancasila sebagai falsafah negara. Tinggal berjuang bagaimana memaknainya dalam aplikasi atau praktik dalam bentuk kesejahteraan serta keadilan sosial, hukum dan lainnya," kata ulama kharismatik yang juga cucu Pahlawan Nasional KHR As'ad Syamsul Arifin ini.
Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Kabupaten Situbondo, itu kemudian mengingatkan semua umat untuk tidak terjebak dengan istilah yang hanya formalitas.
"Kalau ternyata dalam tataran praktik sudah dijalankan, sama itu, apapun namanya. Ketika misalnya, miras (minuman keras) diperdakan, saya yakin semua agama sepakat untuk menolak miras. Bahkan di Papua ada desa yang antimiras. Siapapun yang melakukan keonaran karena miras akan dikeluarkan dari desa tersebut," katanya.
Baca juga: Milenial dalam "jebakan" Khilafah-Syariah
Demikian juga dengan peraturan daerah lainnya terkait dengan hal-hal yang dapat merusak norma dan ketentraman di masyarakat, seperti protitusi atau perjudian yang diyakninya semua agama di Indonesia akan melarang hal tersebut.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019
"Kalau gaung itu muncul dari kelompok lama dengan pola pikir radikalismenya saya pikir itu adalah sesuatu yang bisa ditebak ke arah mana. Tetapi kalau kemudian yang dimaksud NKRI bersyariah adalah bisa bersinergi dengan ajaran agama, itu yang diperjuangkan ulama kita sejak dulu," katanya kepada Antara ketika ditemui pada pengajian rutin bulanan di Kantor Ikatan Santri Alumni Salafiyah Syafiiyah (IKSASS) Bondowoso, Jawa Timur, Rabu (14/8) malam.
Sebelumnya, Ijtima Ulama IV yang diselenggarakan di Bogor, Jawa Barat, Senin (5/8) mengeluarkan sejumlah butir kesepakatan atau keputusan, salah satunya keinginan mewujudkan NKRI yang syariah dengan prinsip ayat suci di atas ayat konstitusi.
Kiai Azaim menjelaskan bahwa yang dimaksud bersinergi dengan ajaran agama itu adalah bagaimana sila pertama dari Pancasila bisa menjiwai setiap sila atau sila-sila lainnya. Hal itu juga bisa dimaknai senafas dengan Firman Allah "Qulhuwallahu ahad" yang artinya, "Katakan bahwa Tuhan itu satu".
"Itu di Tahun 1980-an dunia pesantren sudah bisa menerima Pancasila sebagai falsafah negara. Tinggal berjuang bagaimana memaknainya dalam aplikasi atau praktik dalam bentuk kesejahteraan serta keadilan sosial, hukum dan lainnya," kata ulama kharismatik yang juga cucu Pahlawan Nasional KHR As'ad Syamsul Arifin ini.
Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Kabupaten Situbondo, itu kemudian mengingatkan semua umat untuk tidak terjebak dengan istilah yang hanya formalitas.
"Kalau ternyata dalam tataran praktik sudah dijalankan, sama itu, apapun namanya. Ketika misalnya, miras (minuman keras) diperdakan, saya yakin semua agama sepakat untuk menolak miras. Bahkan di Papua ada desa yang antimiras. Siapapun yang melakukan keonaran karena miras akan dikeluarkan dari desa tersebut," katanya.
Baca juga: Milenial dalam "jebakan" Khilafah-Syariah
Demikian juga dengan peraturan daerah lainnya terkait dengan hal-hal yang dapat merusak norma dan ketentraman di masyarakat, seperti protitusi atau perjudian yang diyakninya semua agama di Indonesia akan melarang hal tersebut.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019