Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit Dan Kelamin Indonesia (Perdoski) menilai perempuan harus berani menolak ajakan seks oral bila nanti RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual disahkan menjadi Undang-undang.
“Itu berbahaya karena menjadi pintu masuknya virus dan bakteri. Itu yang harus kita informasikan kepada masyarakat kalau jalur itu bukan jalur yang aman,” ucap Ketua Kelompok Studi Infeksi Menular Seksual Perdoski, Hanny Nilasari, di Jakarta, Senin.
Menurut Hanny, biota yang berkembang di mulut lewat seks oral berbeda dengan biota yang berkembang di organ genital perempuan. Tentunya bila terjadi infeksi, mulut adalah jalur yang paling cepat menularkan virus dan bakteri ke tubuh.
Oleh karena itu, tindakan memaksa pasangan melakukan seks oral adalah suatu tindakan yang menyimpang yang perlu diatur lebih lanjut dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
“Memang itu (tindakan memaksa oral) bukan menjadi tindakan kejahatan secara harfiah ya, tetapi sebagai perempuan kalau kita tahu itu berisiko infeksi. Tentunya kita bisa menolak,” ujar Hanny.
Hanny mengatakan Data infeksi menular seksual (IMS) pada anak dengan kekerasan seksual meliputi keadaan patologis berat dan infeksi saluran reproduksi berat dan dapat menimbulkan komplikasi yang prevalensinya 1- 20 persen dari total kejadian kekerasan seksual.
“Untuk itu, ketika kesakitan meningkat, angka kematian karena infeksi meningkat, bukannya menjadi beban negara?” ujar Hanny.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Sri Astuti mengatakan pelaku kekerasan seksual harus mendapatkan pidana dan denda akibat tindak kejahatan yang dilakukannya.
Pidana dan denda itu berdasarkan kerugian dan penderitaan yang dialami korban kekerasan seksual.
“Terjadi kerugian ekonomi, maka pelaku harus memberikan kompensasi kepada korban sebesar Rp100 juta hingga Rp1 miliar. Sedangkan pidana bagi pelaku kejahatan seksual adalah 15 tahun penjara,” ujar Sri.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019