Senator Gede Pasek Suardika mengajak masyarakat Bali untuk lebih sadar terkait tantangan lahan atau tanah-tanah di daerah itu yang memiliki nilai ekonomi tinggi telah mulai berdampak pada tergusurnya nilai-nilai spiritual pura.
"Tanah-tanah yang memiliki nilai ekonomi tinggi itu telah berdampak tergusurnya nilai spiritual yang ada di Bali, bahkan sampai ada kasus perebutan lahan tempat suci karena kepentingan ekonomi," kata Pasek Suardika saat menerima pengaduan sejumlah perwakilan warga dari Canggu, Kabupaten Badung, di Denpasar, Kamis.
Sejumlah warga itu menyampaikan pengaduan soal Pura Hyang Ibu Pasek Gaduh, di Banjar Babakan, Canggu, Kuta, Kabupaten Badung yang terancam tergusur dan para "pangempon" atau penanggung jawabnya terancam kehilangan hak waris atas tanah dan pura itu.
"Sameton (warga) Bali harus mulai sadar bahwa tantangan Bali tidak hanya sekadar pendatang. Kalau pendatang, hampir di semua negara atau daerah maju pasti ada, masalahnya sama. Namun, perebutan lahan, termasuk yang memiliki nilai spiritual karena kepentingan ekonomi harus mulai disadari," ujarnya.
Pasek mengingatkan jangan sampai masyarakat Bali karena sibuk dengan tradisi ritualnya, tetapi lupa untuk mengawal Parahyangan (tempat-tempat suci) yang ada.
"Ini sudah 'alarm' berbunyi, kalau tidak ada kesadaran dari warga Bali, maka Bali akan kehilangan ciri khasnya. Karena sejumlah pura dengan mudah digusur oleh kepentingan di luar kepentingan pura itu sendiri," katanya.
Menurut Pasek, kalau Pulau Bali sudah berubah, sudah kehilangan tempat-tempat sucinya, maka siapa yang mau datang lagi ke Bali. "Daerah kita terkenal seperti ini karena tidak ada duanya di dunia, paling berbeda. Di India pun tidak ada seperti ini. Orang India saja ke sini untuk melihat Bali," ujar mantan Ketua Komisi III DPR RI itu.
Selain karena nilai ekonomi lahan di Bali yang tinggi, ancaman terhadap pura, menurut dia, juga datang karena penyaluran bansos dari para wakil rakyat yang dimanfaatkan untuk merenovasi pura.
"Iya memang masih sama-sama pura, tetapi nilai historisnya hilang, ukiran yang dibuat pada abad-abad dan fase tertentu hilang karena diganti dengan gaya kekinian untuk sekadar menghabiskan APBD lewat bansos," ujarnya.
Terkait dengan pengaduan warga dari Canggu, Kuta tersebut, Pasek berharap ada solusi terbaik. "Jadi bagaimana pura yang ada tetap menjadi pura, pelaba pura tetap menjadi pelaba pura dengan cara-cara yang lebih baik," katanya.
Baca juga: Ribuan peserta terlibat festival "Pasraman Indonesia 2018"
Pasek sangat berharap agar lembaga peradilan untuk tahap selanjutnya dalam menangani kasus ini yang berurusan dengan tempat suci yang memiliki sensitivitas, tidak menyamakan dengan kasus seperti eksekusi ruko atau gedung lainnya.
"Kalau ngomong Parahyangan tentang tempat suci itu luas, tidak hanya pangempon (warga penanggung jawab) di sana yang memiliki. Tetapi bisa lintas Bali, karena ikatan darahnya ada di sana," ujarnya.
Pasek berharap kearifan lokal dapat dijadikan pijakan juga oleh lembaga peradilan, sambil mencari solusi yang terbaik dan warga memperjuangkan keadilan dengan cara-cara terhormat.
"Ini warga ingin mensertifikatkan pura dan pelaba pura tetapi dihambat karena perbedaan keyakinan. Ini kan sensitif, kalau tidak ditangani dengan baik, itu akan berbahaya sekali, apalagi prosesnya sudah cukup panjang," katanya yang juga pentolan DPP Partai Hanura itu.
Baca juga: "Suly Rejuvenation Festival" tingkatkan minat wisata spiritual
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019
"Tanah-tanah yang memiliki nilai ekonomi tinggi itu telah berdampak tergusurnya nilai spiritual yang ada di Bali, bahkan sampai ada kasus perebutan lahan tempat suci karena kepentingan ekonomi," kata Pasek Suardika saat menerima pengaduan sejumlah perwakilan warga dari Canggu, Kabupaten Badung, di Denpasar, Kamis.
Sejumlah warga itu menyampaikan pengaduan soal Pura Hyang Ibu Pasek Gaduh, di Banjar Babakan, Canggu, Kuta, Kabupaten Badung yang terancam tergusur dan para "pangempon" atau penanggung jawabnya terancam kehilangan hak waris atas tanah dan pura itu.
"Sameton (warga) Bali harus mulai sadar bahwa tantangan Bali tidak hanya sekadar pendatang. Kalau pendatang, hampir di semua negara atau daerah maju pasti ada, masalahnya sama. Namun, perebutan lahan, termasuk yang memiliki nilai spiritual karena kepentingan ekonomi harus mulai disadari," ujarnya.
Pasek mengingatkan jangan sampai masyarakat Bali karena sibuk dengan tradisi ritualnya, tetapi lupa untuk mengawal Parahyangan (tempat-tempat suci) yang ada.
"Ini sudah 'alarm' berbunyi, kalau tidak ada kesadaran dari warga Bali, maka Bali akan kehilangan ciri khasnya. Karena sejumlah pura dengan mudah digusur oleh kepentingan di luar kepentingan pura itu sendiri," katanya.
Menurut Pasek, kalau Pulau Bali sudah berubah, sudah kehilangan tempat-tempat sucinya, maka siapa yang mau datang lagi ke Bali. "Daerah kita terkenal seperti ini karena tidak ada duanya di dunia, paling berbeda. Di India pun tidak ada seperti ini. Orang India saja ke sini untuk melihat Bali," ujar mantan Ketua Komisi III DPR RI itu.
Selain karena nilai ekonomi lahan di Bali yang tinggi, ancaman terhadap pura, menurut dia, juga datang karena penyaluran bansos dari para wakil rakyat yang dimanfaatkan untuk merenovasi pura.
"Iya memang masih sama-sama pura, tetapi nilai historisnya hilang, ukiran yang dibuat pada abad-abad dan fase tertentu hilang karena diganti dengan gaya kekinian untuk sekadar menghabiskan APBD lewat bansos," ujarnya.
Terkait dengan pengaduan warga dari Canggu, Kuta tersebut, Pasek berharap ada solusi terbaik. "Jadi bagaimana pura yang ada tetap menjadi pura, pelaba pura tetap menjadi pelaba pura dengan cara-cara yang lebih baik," katanya.
Baca juga: Ribuan peserta terlibat festival "Pasraman Indonesia 2018"
Pasek sangat berharap agar lembaga peradilan untuk tahap selanjutnya dalam menangani kasus ini yang berurusan dengan tempat suci yang memiliki sensitivitas, tidak menyamakan dengan kasus seperti eksekusi ruko atau gedung lainnya.
"Kalau ngomong Parahyangan tentang tempat suci itu luas, tidak hanya pangempon (warga penanggung jawab) di sana yang memiliki. Tetapi bisa lintas Bali, karena ikatan darahnya ada di sana," ujarnya.
Pasek berharap kearifan lokal dapat dijadikan pijakan juga oleh lembaga peradilan, sambil mencari solusi yang terbaik dan warga memperjuangkan keadilan dengan cara-cara terhormat.
"Ini warga ingin mensertifikatkan pura dan pelaba pura tetapi dihambat karena perbedaan keyakinan. Ini kan sensitif, kalau tidak ditangani dengan baik, itu akan berbahaya sekali, apalagi prosesnya sudah cukup panjang," katanya yang juga pentolan DPP Partai Hanura itu.
Baca juga: "Suly Rejuvenation Festival" tingkatkan minat wisata spiritual
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019