Jakarta (Antara Bali) - Ahli penyakit syaraf yang juga dosen pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara (Untar) dr Andreas Harry, SpS (K) mengemukakan bahwa kaum perempuan lebih besar potensinya terkena migrain.

"Berdasarkan riset di Amerika Serikat, satu di antara empat ibu rumah tangga pernah mengalami migrain," katanya pada seminar bertema "Sakit Kepala, Migrain dan Vertigo" di Jakarta, Minggu.

Dalam seminar yang diselenggarakan Perhimpunan Pemerhati Lanjut Usia (PPL) "Bunda Teresa" bekerja sama dengan Laboratorium Prodia dan Klinik Prevento Andreaaux itu, ia mengatakan bahwa kondisi semacam itu, yakni perempuan lebih besar terkena migrain, juga terjadi di banyak negara, tidak terkecuali Indonesia, sehingga mesti diwaspadai.

Menurut dia, penelitian di AS juga menyebutkan bahwa sebanyak 28 juta penderita migrain pada usia 12 tahun ke atas, jumlah perempuan yang terserang sebanyak 21 juta orang.

"Sedangkan untuk laki-laki, jumlahnya sebanyak tujuh juta orang," katanya seraya menambahkan bahwa kasus migrain di Indonesia, sejauh ini dirinya belum mendapatkan data pastinya.

Ia menambahkan bahwa prevalensi migrain, pada perempuan sebanyak 18 persen, laki-laki enam persen dan untuk kelompok anak-anak mencapai empat persen.

Meski demikian, kata dia, dengan rujukan penelitian di AS yang menghasilkan temuan bahwa satu di antara empat ibu rumah tangga pernah mengalami migrain, kondisi yang sama bisa diprediksi di Indonesia.

Dikemukakannya bahwa gejala klinis yang khas pada migrain, sekurangnya ada tiga, yakni pertama, sakit kepala dan gejala neurologik, ditandai dengan distribusi satu sisi kepala atau kedua sisi, dan umumnya aura visual.

Kedua, gangguan pencernaan, yang umumnya ditandai mual dan muntah, serta diare. "Sedangkan ketiga, gejala otonom, yang ditandai keringat dan debar-debar," kata Andreas Harry, ahli saraf lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, yang pernah mengenyam pendidikan neurofisiologi di AS dan Jepang itu.

Mengenai ciri-ciri sakit kepala migrain, serangan terjadi pada 4 hingga 27 jam, baik diobati ataupun tidak.

Karakternya, separuh kepala (berganti/menetap), namun dalam perkembangannya kini terjadi pada dua sisi, nyeri berdenyut, intensitas nyeri sedang/berat, terganggu aktivitas sehati-hari, dipacu aktivitas fisik.

Selanjutnya, disertai mual dan muntah, photophobia (takut dan sensitif cahaya), phonophobia (takut dan sensitif suara), dan aura lebih kurang maksimal visual dan berlangsung gradual 4-60 menit.

Ia menjelaskan, serangan migrain terjadi pada empat fase, yakni pertama fase prodomal (peringatan), di mana terjadi sebelum sakit kepala muncul (gradual enam jam atau beberapa hari sebelumnya), terjadi pada 60 penderita migrain, gejalanya cemas-marah, depresi-gelisah, penglihatan kabur, mules-diare, keringan dingin.

Kedua, aura, ditandai dengan gejalanya kompleks, umumnya berasal dari lobus oksipital (90 persen gejala visual), terjadi sebelum sakit kepala, berlangsung 20-30 menit, namun terkadang bisa lebih 60 menit, dan bila berlangsung lebih dari sepekan terjadi "migrainus infarction" yang mengharuskan dilakukan CT Scan/MRI.

Ketiga, fase sakit kepala, ditandai sifatnya berdenyut-tertusuk, separuh kepala (60 persen dan berpindah-pindah (80 persen), kedua sisi kepala (40 persen), dipacu aktivitas fisik rutin, diawali kepala terasa tertekan.

Keempat, fase postdromal, yakni ditandai gangguan konsentrasi, lelah, sebagian terasa "fresh"/euforia, gatal-gatal dan nafsu meningkat.

Dikemukakannya, pemicu migran di antaranya terlalu kenyang/lapar, konsumsi zat penambah rasa, alkohol, makanan tertentu (coklat, keju, anggur), perubahan hormon (menstruasi), faktor lingkungan (perubahan cuaca), olahraga dan aktivitas seksual, trauma kepala, stress-cemas dan terlalu lama tidur atau kurang tidur.

Sedangkan prinsip penanganan migrain, kata dia, dilakukan diagnosa yang akurat, menyingkirkan penyebab lain nyeri kepala, permintaan pemeriksaan tambahan yang tepat, dan dokter menjelaskan dampak nyeri kepala.

Andreas Harry juga menyarankan untuk tindakan preventif, sebaiknya kembali kepada hal dasar dalam kesehatan, yakni "empat sehat lima sempurna", serta mesti disempatkan melakukan kegiatan olahraga, yang menurut standar WHO adalah 30 menit setiap hari.

"Olahraga itu bisa di mana saja, di tempat kerja pun kalau alasannya tidak sempat, juga bisa dilakukan, baik berkeringat maupun tidak, seperti menggerak-gerakkan tangan maupun kaki," kata dosen luar biasa Fakultas Kedokteran Universitas Hassanudin (Unhas) Makassar pada 1996-2001 itu. (*)

Pewarta:

Editor : Masuki


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011