Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) menyatakan 2.183 unit kapal perikanan berukuran di atas 30 GT belum melakukan perpanjangan izin penangkapan ikan dan/atau pengangkutan ikan hingga 22 Juli 2019.
Dari jumlah tersebut, 410 unit kapal telah berakhir izinnya 1-6 bulan; 496 unit kapal masa berlakunya berakhir 6-12 bulan; 383 kapal izin berakhir 1-2 tahun; dan 894 unit kapal izinnya telah kedaluwarsa lebih dari 2 tahun.
"Saat ini dari 7.987 kapal, ternyata ada 2.183 kapal yang tidak atau belum memperpanjang izinnya," kata Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Zulficar Mochtar di Jakarta, Rabu.
Zulficar menuturkan pemilik kapal yang belum memperpanjang izin, mereka wajib melaporkan posisi kapal dan statusnya. Sementara bagi pemilik kapal yang izinnya telah kedaluwarsa kurang dari dua tahun diharapkan segera melakukan proses perizinan.
Sementara kapal yang izinnya telah kedaluwarsa lebih dari dua tahun akan mendapatkan pengurangan alokasi izin hingga pencabutan surat izin usaha perikanan (SIUP).
"Bagi kapal yang belum diperpanjang izinnya atau 'expired' selama lebih dari dua tahun akan dilakukan pengurangan alokasi izin hingga pencabutan SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan)," ujarnya.
Hal itu dilakukan sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30 Tahun 2012 dan perubahannya tentang Usaha Perikanan Tangkap di WPPNRI dan/atau Laut Lepas jo. Peraturan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Nomor 24/PER-DJPT/2017 tentang Mekanisme dan Prosedur Penerapan Sanksi Administrasi Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan/atau Laut Lepas.
Zulficar menambahkan, pihaknya menduga kapal-kapal yang belum memperpanjang izin tersebut masih tetap melaut. Padahal, melaut tanpa izin menimbulkan potensi kerugian negara termasuk IUU (Illegal, Unreported, Unregulated) Fishing, hasil tangkapan tidak terlapor, hingga kehilangan potensi penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
"Bayangkan jika 2.183 unit kapal perikanan yang izinnya sudah 'expired' itu melaut, maka akan berpotensi menimbulkan kerugian negara sebesar 156.050 GT atau setara dengan Rp137,846 miliar. Ini merupakan angka yang besar," katanya.
Modus kebocoran pendapatan negara dalam sektor perikanan selain IUU Fishing, itu antara lain dengan adanya 10.000 markdown kapal perikanan yang dampaknya kapal perikanan mendapatkan kemudahan BBM bersubsidi hingga penyelewengan jumlah pajak.
"Kemudian data hasil tangkapan ikan yang bias dan mengancam tata kelola perikanan," imbuhnya.
Lebih lanjut, Zulficar menuturkan pelaku usaha tidak perlu menunggu izin habis baru melakukan permohonan perpanjangan. Pasalnya, pengajuan permohonan perpanjangan izin bisa dilakukan tiga bulan sebelum surat izin penangkapan ikan atau surat izin kapal pengangkut ikan (SIPI/SIKPI) berakhir tanpa perlu melakukan cek fisik.
"Kalau terlambat perpanjang izin, maka harus melakukan cek fisik lagi, padahal perpanjangan izin bisa dilakukan tiga bulan sebelumnya dan tidak perlu cek fisik. Ini konsekuensi yang dihadapi," katanya.
Saat ini jumlah izin kapal yang sudah diterbitkan sebanyak 5.130 dokumen (SIPI/SIKPI), sementara dalam proses pencetakan blangko sebanyak 45 dokumen, dan dalam proses pelunasan PHP sebanyak 70 dokumen, perbaikan laporan kegiatan usaha/laporan kegiatan penangkapan ikan (LKU/LKP) sebanyak 15 dokumen, serta dalam proses pendok dan verifkasi sebanyak 124 dokumen.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019