Pengadilan Negeri Denpasar, Bali, mengadili pelaku dugaan pungutan liar terhadap 13 perusahaan water sport yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Wisata Bahari (Gahawisri), di Tanjung Benoa yang dilakukan terdakwa I Made Wijaya.
Dalam dakwaan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Paulus Agung Widaryanto di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, mengenakan asal berlapis, karena Made Wijaya diduga melakukan pungli terhadap 13 perusahaan diantaranya perusahaan Penangkaraan Penyu di Pulau Penyu dan PT Caputra Bumi Bahari (Quicsilver) di wilayah Desa Pekaraman Tanjung Benoa, Badung.
"Terdakwa melanggar Pasal 368, Pasal 374, Pasal 372 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP," ujar jaksa di hadapan Kerua Majelis Hakim Esthar Oktavi itu.
Jaksa menilai terdakwa telah melakukan, menyuruh, turut serta dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu yang seluruh atau sebagian adalah kepunyaan orang lain atau segaja membuat hutang maupun menghapus piutang.
Diuraikan, perbuatan itu dilakukan terdakwa secara bersama-sama dengan dr. I Made Sudianta alias dr. Beker, I Ketut Sunarka dan I Made Kartika (Dalam proses penyelidikan) sejak 20 Desember 2014 hingga 2 Agustus 2017.
Berawal saat terdakwa terpilih menjadi Bendesa Adat Tanjung Benoa. Kemudian membuat program yang sesuai misinya mengali potensi yang dimiliki Desa Pekraman Tanjung Benoa yang hasil untuk meningkat kesejahtraan warga.
Pada 20 Desember 2014, terdakwa membuat surat pemberitahuan yang pokoknya memberitahukan ke semua pengusaha wisata bahari di Tanjung Benoa agar mengenakan pungutan antraksi wisata bahari Rp10.000, per aktivitas yang hasil dibagi dua, Rp5.000 untuk Desa Adat dan sisanya untuk pengusaha wisata bahari.
Adapun pendapatan yang diproleh dari pungutan gali potensi sejak masa uji coba terhitung pada 20 Desember 2014 hingga 2 Agustus 2017 sebesar Rp5,6 miliar lebih ditambah pungutan pada Juli 2017 yang belum distor ke kas Desa sebesar Rp165 juta.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019
Dalam dakwaan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Paulus Agung Widaryanto di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, mengenakan asal berlapis, karena Made Wijaya diduga melakukan pungli terhadap 13 perusahaan diantaranya perusahaan Penangkaraan Penyu di Pulau Penyu dan PT Caputra Bumi Bahari (Quicsilver) di wilayah Desa Pekaraman Tanjung Benoa, Badung.
"Terdakwa melanggar Pasal 368, Pasal 374, Pasal 372 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP," ujar jaksa di hadapan Kerua Majelis Hakim Esthar Oktavi itu.
Jaksa menilai terdakwa telah melakukan, menyuruh, turut serta dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu yang seluruh atau sebagian adalah kepunyaan orang lain atau segaja membuat hutang maupun menghapus piutang.
Diuraikan, perbuatan itu dilakukan terdakwa secara bersama-sama dengan dr. I Made Sudianta alias dr. Beker, I Ketut Sunarka dan I Made Kartika (Dalam proses penyelidikan) sejak 20 Desember 2014 hingga 2 Agustus 2017.
Berawal saat terdakwa terpilih menjadi Bendesa Adat Tanjung Benoa. Kemudian membuat program yang sesuai misinya mengali potensi yang dimiliki Desa Pekraman Tanjung Benoa yang hasil untuk meningkat kesejahtraan warga.
Pada 20 Desember 2014, terdakwa membuat surat pemberitahuan yang pokoknya memberitahukan ke semua pengusaha wisata bahari di Tanjung Benoa agar mengenakan pungutan antraksi wisata bahari Rp10.000, per aktivitas yang hasil dibagi dua, Rp5.000 untuk Desa Adat dan sisanya untuk pengusaha wisata bahari.
Adapun pendapatan yang diproleh dari pungutan gali potensi sejak masa uji coba terhitung pada 20 Desember 2014 hingga 2 Agustus 2017 sebesar Rp5,6 miliar lebih ditambah pungutan pada Juli 2017 yang belum distor ke kas Desa sebesar Rp165 juta.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019