Oleh I Putu Puspa Artayasa

Gianyar (Antara Bali) - Penemuan kerajinan tradisional tenun dengan teknik "air brush" oleh pengrajin asal Desa Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, Bali, mampu menggeliatkan persaingan usaha di bidang perbatikan.

Memang batik sudah ada sejak era Kerajaan Majapahit berkuasa dan populer hingga akhir abad XVIII atau awal abad XIX. Batik yang dihasilkan semuanya jenis batik tulis sampai awal abad XX dan batik cap baru dikenal setelah Perang Dunia I atau sekitar tahun 1920-an. Motif dan corak batik pun makin bervariasi seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi.

Khusus untuk di Pulau Bali, batik mulai berkembang pada 1970. Di Pulau Dewata, perkembangan batik terus memengaruhi para pengrajin tenun tradisional untuk terus berkreasi.

Hingga 2009, penemuan spektakuler dilakukan oleh Ida Bagus Adnyana, salah seorang pengrajin tenun asal Desa/Kecamatan Blahbatuh, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar Bali.

Pria yang sejak tahun 1991 menekuni dunia tenun atau membuat pakaian dengan benang menyerupai batik itu menemukan tenun "air brush" yang diawali dari menggambar desain melalui teknik penyemprotan di atas kain tenun.

Ditinjau dari segi teknik pembuatan memang ada perbedaan, akan tetapi hasil akhirnya sulit dibedakan antara batik tulis dan batik "air brush".

"Dalam sehari kami bisa menghasilkan 15 meter kain tenun yang sudah didesain," katanya saat ditemui di tempat usahanya, Sabtu (1/10).

Perbedaan itu hanya terletak pada proses pembuatan. Kalau batik ala Jawa biasanya motif dibuat di atas kain, seperti batik tulis yang membutuhkan waktu antara dua hingga tiga bulan, maka batik cap proses pembuatannya cukup singkat, hanya dua sampai tiga hari. Ada juga batik lukis yang dibuat seperti orang melukis di atas kanvas dengan waktu yang relatif lama juga.

Sementara itu, batik dengan teknik "air bush" bagi Bagus Adnyana bukan pekerjaan yang susah. "Kalau membatik itu motif langsung dibuat di atas kain, kalau menenun itu menggunakan kain yang diwarnai kemudian dirajut sesuai dengan motif," kata pria yang bakal mendapatkan penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas penemuannya itu.

Hasilnya pun tidak jauh berbeda dengan motif batik. "Mungkin hanya perbedaan nama saja," katanya menambahkan.

Batik Celup
Pengrajin batik celup di Banjar Aktha, Ketewel, Sukawati, Kabupaten Gianyar, Choirul Sholeh, mengakui bahwa perkembangan batik saat ini sangat pesat sehingga corak dan motifnya tidak monoton.

Menurut pengrajin yang bernaung di bawah CV Sari Sedana itu, batik celup lebih banyak menggunakan bahan kimia. "Pewarnaannya pun dengan menggunakan teknik celup," katanya.

Batik celup karya pengrajin Banjar Aktha itu itu lebih banyak untuk memenuhi permintaan pasar di Amerika Serikat ketimbang untuk memenuhi pasar domestik.

Oleh sebab itu, pengrajin hanya melakukan produksi, sedangkan motifnya ditentukan berdasarkan permintaan pihak pemesa. Proses produksi terbagi dalam dua tahap, yakni tahap pastel dan tahap "stamp".

Tahap pertama pekerjaan lebih banyak pada proses pewarnaan, penguatan warna, pencucian, dan penjemuran. Sedangkan tahap kedua pemberian motif sesuai dengan permintaan pemesan yang dilanjutkan dengan proses pencucian cepat atau "bleacing fast". Setelah itu dilakukan dengan penguatan warna, pencucian, perebusan atau "steam washing wax", dan penjemuran.

Ratusan pengrajin di Banjar Aktha mampu menghasilkan batik 180 meter. "Kalau musik kemarau seperti sekarang produksinya bisa banyak," kata Choirul.  

Sukari, pembatik asal Pasuruan, Jawa Timur, yang juga bekerja di CV Sari Sedana mengaku batik celup yang dikerjakan di Banjar Aktha itu berbeda dengan batik-batik ala Jawa pada umumnya. "Sebelum merantau ke Bali 10 tahun yang lalu kami mencoba-coba desain," katanya.

Hasil coba-coba itu tak disangka-sangka mampu menarik minat wisatawan mancanegara yang berlibur di Bali. Untuk waktu yang akan datang, pihaknya akan menggabungkan motif batik ala Jawa dan motif ala Bali.*    

Pewarta:

Editor : Masuki


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011