Asosiasi Vaporizer Bali (AVB) mengingatkan agar wilayah Bali perlu melihat kejadian di Thailand sebagai referensi terkait penggunaan produk tembakau alternatif.

Ketua Asosiasi Vaporizer Bali, Gede Maha di Denpasar, Rabu, menjelaskan ditangkapnya wisatawan tersebut menjadi preseden buruk bagi sektor pariwisata di Asia. Wisatawan tentu akan berpikir ulang jika berniat berlibur ke negara yang melarang rokok elektrik. Apalagi wilayah Bali merupakan kawasan strategis pariwisata dimana banyak wisatawan mancanegara yang berkunjung di wilayah ini.

"Kalau di Thailand itu aturan soal tembakau alternatif cukup ketat, seperti di Singapura, karena di Thailand itu tidak ada tax (pajak) untuk produk tembakau alternatif," katanya.

Saat ini, pengguna vape di Bali kebanyakan merupakan wisatawan mancanegara. Oleh karena itu, jika Indonesia juga menerapkan larangan penggunaan rokok elektrik, maka kunjungan wisatawan asing di Bali bisa berkurang secara signifikan.

Namun, menurut Gede Maha, untungnya keberadaan produk tembakau alternatif di Indonesia sudah diakui oleh negara sebagai barang yang dikenakan cukai. Produk tembakau alternatif, seperti rokok elektrik juga dipastikan hanya boleh digunakan bagi yang sudah berusia di atas 18 tahun.

Adanya aturan cukai bagi rokok elektrik juga terbukti memberikan pemasukan yang lebih baik bagi negara. Sejak November 2018 hingga akhir Januari 2019, cukai yang disumbangkan kepada negara oleh kategori Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) sudah mencapai sekitar Rp200 miliar.

"Kalau di Indonesia, tembakau alternatif seperti vape itu diatur oleh Menteri Keuangan. Pemerintah menerapkan cukai 57 persen," ujarnya.

Laporan Status Global Pengurangan Bahaya Tembakau 2018 mencatat sebanyak 62 negara telah menerapkan peraturan bagi produk tembakau alternatif. Beberapa negara maju tersebut diantaranya Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Kanada, Korea Selatan, dan lain-lain.


 

Pewarta: I Komang Suparta

Editor : Adi Lazuardi


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019