Terdakwa Uning Suwandari selaku Executive Director PT Royal Bali Leisure di Bali, dituntut hukuman sepuluh bulan penjara dengan masa percobaan selama 1,5 tahun oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang di PN Denpasar, Selasa.
JPU Ni Luh Oka Ariani menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana penggelapan jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 374 KUHP.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama sepuluh bulan. Dengan hukuman masa percobaan selama satu tahun dan enam bulan," baca Jaksa Oka dihadapan Majelis Hakim pimpinan Dewa Budi Wadsara itu.
Wanita asal Solo Jawa Tengah ini sesuai dengam jabatannya diberikan gaji sebesar Rp90 juta, namun ia masih sempatnya menilep uang perusahaan dalam hal pengurusan ijin sebesar Rp70 juta.
Dalam dakwaan sebelumnya disebutkan terdakwa yang tinggal di Jalan Dano Tamblingan VI, Lingkungan Taman Griya Jimbaran, Kuta Selatan, ini diamankan petugas atas laporan penggelapan uang sebesar Rp70 juta pada Oktober 2016, lalu.
Pada awal Oktober 2006 terdakwa diangkat resmi sebagai Executive Director PT. Royal Bali Leisure, bertempat di Jalan Pratama 68 A, Kelurahan Benoa Kabupaten Badung. Di perusahaan ini terdakwa di gaji Rp90 juta.
Selanjutnya pada awal bulan Oktober 2016 terdakwa mendapat mandat mengurus masalah perijinan Ijin Gangguan atau HO ke Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Badung.
Tugas tersebut langsung diperintahkan oleh saksi, Alan Charles Thomas selaku Presiden Direktur PT Royal Bali Leisure. Untuk mengurus ijin gangguan.
Selanjutnya terdakwa mengajukan permohonan daftar ulang ijin gangguan ke dinas yang dituju. Setelah melalui proses, akhirnya pada 24 Oktober Surat Izin Gangguan dikeluarkan atau diterbitkan oleh Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Badung dan dikenakan biaya retrebusi sebagaimana tertera dalam lampiran surat tersebut sebesar Rp5 juta.
Namun keserakahan terdakwa yang belum merasa puas dengan gaji Rp90 juta justru memasukkan laporan biaya pengeluaran pengurusan izin tersebut ke perusahaan sebesar Rp75 juta.
Saat audit keuangan dari pihak Acconting perusahaan, ditemukan adanya selisih pengeluaran uang perusahaan. Dimana tertulis dalam retrebusi biaya pengurusan ijin gangguan (HO) sebesar Rp5 juta sedangkan uang yang dikeluarkan sebesar Rp75 juta. Saat dipertanyakan, terdakwa tidak dapat mempertanggung jawabkan uang sisa lagi Rp70 juta.
Atas permasalahan ini terdakwa dilaporakan ke polisi. Hanya saja kasus ini terkesan berlarut larut, bahkan baru memasuki sidang perdana di Pengadilan Negeri Denpasar pada 28 November 2018 dan baru saja memasuki agenda tuntutan oleh Jaksa dari Kejari Denpasar. Padahal jika kasusnya dilihat dari lokasi kejadian seharusnya menjadi wewenang pihak Kejari Badung.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019
JPU Ni Luh Oka Ariani menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana penggelapan jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 374 KUHP.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama sepuluh bulan. Dengan hukuman masa percobaan selama satu tahun dan enam bulan," baca Jaksa Oka dihadapan Majelis Hakim pimpinan Dewa Budi Wadsara itu.
Wanita asal Solo Jawa Tengah ini sesuai dengam jabatannya diberikan gaji sebesar Rp90 juta, namun ia masih sempatnya menilep uang perusahaan dalam hal pengurusan ijin sebesar Rp70 juta.
Dalam dakwaan sebelumnya disebutkan terdakwa yang tinggal di Jalan Dano Tamblingan VI, Lingkungan Taman Griya Jimbaran, Kuta Selatan, ini diamankan petugas atas laporan penggelapan uang sebesar Rp70 juta pada Oktober 2016, lalu.
Pada awal Oktober 2006 terdakwa diangkat resmi sebagai Executive Director PT. Royal Bali Leisure, bertempat di Jalan Pratama 68 A, Kelurahan Benoa Kabupaten Badung. Di perusahaan ini terdakwa di gaji Rp90 juta.
Selanjutnya pada awal bulan Oktober 2016 terdakwa mendapat mandat mengurus masalah perijinan Ijin Gangguan atau HO ke Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Badung.
Tugas tersebut langsung diperintahkan oleh saksi, Alan Charles Thomas selaku Presiden Direktur PT Royal Bali Leisure. Untuk mengurus ijin gangguan.
Selanjutnya terdakwa mengajukan permohonan daftar ulang ijin gangguan ke dinas yang dituju. Setelah melalui proses, akhirnya pada 24 Oktober Surat Izin Gangguan dikeluarkan atau diterbitkan oleh Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Badung dan dikenakan biaya retrebusi sebagaimana tertera dalam lampiran surat tersebut sebesar Rp5 juta.
Namun keserakahan terdakwa yang belum merasa puas dengan gaji Rp90 juta justru memasukkan laporan biaya pengeluaran pengurusan izin tersebut ke perusahaan sebesar Rp75 juta.
Saat audit keuangan dari pihak Acconting perusahaan, ditemukan adanya selisih pengeluaran uang perusahaan. Dimana tertulis dalam retrebusi biaya pengurusan ijin gangguan (HO) sebesar Rp5 juta sedangkan uang yang dikeluarkan sebesar Rp75 juta. Saat dipertanyakan, terdakwa tidak dapat mempertanggung jawabkan uang sisa lagi Rp70 juta.
Atas permasalahan ini terdakwa dilaporakan ke polisi. Hanya saja kasus ini terkesan berlarut larut, bahkan baru memasuki sidang perdana di Pengadilan Negeri Denpasar pada 28 November 2018 dan baru saja memasuki agenda tuntutan oleh Jaksa dari Kejari Denpasar. Padahal jika kasusnya dilihat dari lokasi kejadian seharusnya menjadi wewenang pihak Kejari Badung.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019