Denpasar, (Antaranews Bali) - Terdakwa I Ketut Suryana yang terbukti melakukan korupsi Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPTHB) dan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan (PBB-P2) di Kabupaten Tabanan, divonis hukuman 20 bulan penjara dalam sidang di Pengadilan Tipikor Denpasar, Rabu.

Ketua Majelis Hakim Ni Made Sukereni juga menghukum terdakwa dengan pidana denda sebesar Rp 100 juta. Dengan ketentuan, bila denda tersebut tidak dibayarkan maka diganti dengan kurungan selama enam bulan.

"Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan melakukan upaya menguntungkan diri sendiri dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan," kata hakim.

Hakim menyatakan sebagaimaan dalam dakwaan subsider jaksa, terdakwa terbukti melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Vonis hakim terhadap terdakwa yang merupakan mantan staf UPT PBB Kecamatan Selamadeg Timur (Seltim)-Kerambitan, lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Tabanan itu yang menuntut hukuman selama dua tahun penjara dalam sidang sebelumnya.

Namun, hakim sependapat dengan denda dan subsider yang dijatuhkan jaksa dalam sidang itu yakni menghukum terdakwa dengan pidana denda sebesar Rp 100 juta. Dengan ketentuan, bila denda tersebut tidak dibayarkan maka diganti dengan kurungan selama enam bulan.

Mendengar vonis majelis hakim itu, terdakawa yang didampingi penasehat hukumnya I Made Arta Yasa dan kawan-kawan menyatakan menerima putusan hakim, namun jaksa menyatakan pikir-pikir atas putusan hakim.

Perbuatan terdakwa hingga duduk di kursi pesakitan itu, karena diduga tidak menyetorkan PBB dan BPHTB ke kas daerah milik korban Desak Putu Eka Sutrisnawathy.

Perkara ini berawal dari permintaan tolong saksi kepada terdakwa pada September 2017. Saksi saat itu rencananya akan membeli tanah yang dijual I Gede Tiasa/I Wayan Suweca.

Singkat cerita, terdakwa memberikan pertimbangan teknis kepada saksi. Selanjutnya pada 6 September 2017, terdakwa datang ke Kantor Badan Keuangan Daerah Tabanan untuk meminta lembar informasi data pembayaran PBB atas nama I Gede Tiasa/I Wayan Suweca. Serta melakukan beberapa proses lainnya sembari mengucurkan dana yang diperlukan. Total dana yang sudah dikeluarkan Rp232,2 juta.

Dari total dana Rp232,2 juta itu, terdakwa gunakan untuk melakukan pengurusan proses pembayaran pajak PBB, PPH, dan BPHTB atas nama pemohon (saksi). Sampai akhirnya PBB dan BPHTB tidak terdakwa setorkan dan digunakan untuk kepentingan pribadinya.

Perbuatan terdakwa itu terungkap saat proses penerbitan akta jual beli dengan Nomornya 434/2017 yang semula diurus di notaris. Saat akta jual beli itu didaftarkan notaris ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Tabanan untuk proses peralihan hak.

Namun, dalam prosesnya, BPN justru menolak proses pendaftaran tersebut dengan alasan kelengkapannya tidak memenuhi syarat. Sejak saat itulah, perbuatan terdakwa terbongkar. Saat itulah perbuatan terdakwa diketahui telah memalsukan bukti setor pajak dan belum ada penyetoran ke kas negara atau daerah.

Dalam surat dakwaaan juga disebutkan, perbuatan terdakwa mengakibatkan kerugian negara atau daerah, dalam hal ini Pemkab Tabanan, sebesar Rp134 juta, dengan rincian, pajak BPHTB yang tidak disetorkan sebebesar Rp110 juta dan PBB-P2 yang tidak disetorkan sebesar Rp29,4 juta.

Pewarta: I Made Surya Wirantara Putra

Editor : Adi Lazuardi


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019