Singaraja (Antaranews Bali) - Dalam seminar "How to be an international lawyer" di Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja, Kabupaten Buleleng, Bali (28/12), pengacara kondang Dr. Hotman Paris Hutapea, S.H.,M.Hum, berbagi strategi menjadi pengacara internasional kepada mahasiswa setempat.
"Jangan mimpi menjadi pengacara internasional kalau tidak mau bekerja keras di tempat belajar atau tempat magang yang benar," ujar pengacara asal Medan, Sumatera Utara itu, di hadapan ratusan peserta seminar yang diadakan Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial (FHIS) Undiksha itu.
Hotman mencontohkan tempat magang di Jakarta yang dikenal memiliki banyak perkara bisnis, atau bekerja pada kantor-kantor "raksasa" minimum lima tahun.
"Jadi, hidup adalah pilihan. Tidak ada yang bisa menjadi pengacara interasional kalau belum pernah punya jam kerja sebagai anak buah minimum lima tahun pada kantor raksasa-raksasa di Indonesia," ucap pengacara selebritis Indonesia itu.
Di daerah, lanjut dia, hanya terdapat perkara-perkara bersifat kedaerahan dan sedikit ada perkara internasional karena hampir semua kantor perusahaan-perusahaan besar ada di Jakarta.
"Tujuhpuluh persen uang negara ini di Jakarta juga. Yang berhubungan dengan luar negeri juga di Jakarta. Jadi, memang harus (magang) di Jakarta. Tidak ada pilihan lain," saran pengacara yang dijuluki sebagai “Raja Pailit" itu.
Alumni doktoral dari Universitas Padjadjaran Bandung itu mengaku perlu jangka waktu lama untuk mewujudkan keinginan menjadi pengacara internasional. Tak hanya cukup berbekal pengetahuan bidang hukum yang didapatkan di bangku kuliah, tetapi juga harus membangun jaringan kerja dan membina klien.
"Yang terpakai saat kuliah itu cuma lima persen. Jadi, kalau mau benar-benar menjadi lawyer yang lengkap, harus memiliki jam terbang tinggi di ibu kota. Tidak ada pilihan lain. Anda harus dipaksa mengerti internasional, dipaksa mengerti cara berpikir bule-bule, dipaksa untuk bisa berbahasa Inggris," ujarnya.
Seminar itu didukung Wakil Rektor II Undiksha, Prof. Dr. I Wayan Lasmawan, M.Pd. "Menghadirkan narasumber sekelas Hotman Paris itu sesuatu yang luar biasa untuk Undiksha. Menghadirkannya bukan perkara mudah dengan berbagai kesibukannya. Beliau adalah populer, internasonal lawyer," katanya.
Selain mengenalkan Undiksha di tengah masyarakat, seminar itu juga bisa menghapus stigma yang menempatkannya sebagai kampus produsen guru semata. Saat ini, di Undiksha ada 27 program studi non kependidikan. "Artinya, tidak lagi mencetak calon guru, tetapi juga sumber daya manusia yang sesuai kualifikasi yang dibutuhkan masyarakat," katanya.
Oleh karena itu, universitas negeri terbesar di Bali Utara yang mengusung visi menjadi universitas unggul berlandaskan falsafah Tri Hita Karana di Asia pada tahun 2045 itu mendorong FHIS untuk membentuk kelas internasional dan membuka Jurusan Ilmu Hukum. "Mulai tahun akademik 2019, kami berharap di FHIS ada satu kelas internasional," katanya. (ed)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018
"Jangan mimpi menjadi pengacara internasional kalau tidak mau bekerja keras di tempat belajar atau tempat magang yang benar," ujar pengacara asal Medan, Sumatera Utara itu, di hadapan ratusan peserta seminar yang diadakan Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial (FHIS) Undiksha itu.
Hotman mencontohkan tempat magang di Jakarta yang dikenal memiliki banyak perkara bisnis, atau bekerja pada kantor-kantor "raksasa" minimum lima tahun.
"Jadi, hidup adalah pilihan. Tidak ada yang bisa menjadi pengacara interasional kalau belum pernah punya jam kerja sebagai anak buah minimum lima tahun pada kantor raksasa-raksasa di Indonesia," ucap pengacara selebritis Indonesia itu.
Di daerah, lanjut dia, hanya terdapat perkara-perkara bersifat kedaerahan dan sedikit ada perkara internasional karena hampir semua kantor perusahaan-perusahaan besar ada di Jakarta.
"Tujuhpuluh persen uang negara ini di Jakarta juga. Yang berhubungan dengan luar negeri juga di Jakarta. Jadi, memang harus (magang) di Jakarta. Tidak ada pilihan lain," saran pengacara yang dijuluki sebagai “Raja Pailit" itu.
Alumni doktoral dari Universitas Padjadjaran Bandung itu mengaku perlu jangka waktu lama untuk mewujudkan keinginan menjadi pengacara internasional. Tak hanya cukup berbekal pengetahuan bidang hukum yang didapatkan di bangku kuliah, tetapi juga harus membangun jaringan kerja dan membina klien.
"Yang terpakai saat kuliah itu cuma lima persen. Jadi, kalau mau benar-benar menjadi lawyer yang lengkap, harus memiliki jam terbang tinggi di ibu kota. Tidak ada pilihan lain. Anda harus dipaksa mengerti internasional, dipaksa mengerti cara berpikir bule-bule, dipaksa untuk bisa berbahasa Inggris," ujarnya.
Seminar itu didukung Wakil Rektor II Undiksha, Prof. Dr. I Wayan Lasmawan, M.Pd. "Menghadirkan narasumber sekelas Hotman Paris itu sesuatu yang luar biasa untuk Undiksha. Menghadirkannya bukan perkara mudah dengan berbagai kesibukannya. Beliau adalah populer, internasonal lawyer," katanya.
Selain mengenalkan Undiksha di tengah masyarakat, seminar itu juga bisa menghapus stigma yang menempatkannya sebagai kampus produsen guru semata. Saat ini, di Undiksha ada 27 program studi non kependidikan. "Artinya, tidak lagi mencetak calon guru, tetapi juga sumber daya manusia yang sesuai kualifikasi yang dibutuhkan masyarakat," katanya.
Oleh karena itu, universitas negeri terbesar di Bali Utara yang mengusung visi menjadi universitas unggul berlandaskan falsafah Tri Hita Karana di Asia pada tahun 2045 itu mendorong FHIS untuk membentuk kelas internasional dan membuka Jurusan Ilmu Hukum. "Mulai tahun akademik 2019, kami berharap di FHIS ada satu kelas internasional," katanya. (ed)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018