Denpasar (Antaranews Bali) - Otoritas Jasa Keuangan menyebutkan kinerja BPR di Bali tumbuh melambat periode Januari-September 2018 karena pertumbuhan ekonomi yang belum stabil serta proses konsolidasi perbankan masih berlanjut sebagai dampak erupsi Gunung Agung dan gempa bumi.
     
Kepala OJK Regional Bali dan Nusa Tenggara Hizbullah dalam evaluasi kinerja BPR di Kuta, Badung, Selasa, menyebutkan pertumbuhan melambat itu tercermin dari kinerja aset, penghimpunan dana pihak ketiga, dan penyaluran kredit.
     
Hizbullah menyebutkan meski secara umum kinerja BPR di Bali tergolong cukup baik namun total aset bank perkreditan rakyat di Bali hingga September 2018 sebesar Rp15 triliun dengan pertumbuhan mencapai 8,27 persen, sedikit melambat dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar 8,87 persen.
     
Dari sisi penghimpunan dana pihak ketiga atau DPK, OJK mencatat sebesar Rp10,4 triliun atau tumbuh 13 persen, lebih rendah dibandingkan periode sama tahun sebelumnya mencapai 16,3 persen.
     
Porsi DPK, kata dia, didominasi oleh deposito sebesar 73,1 persen mencapai Rp7,63 persen dan tabungan mencapai 26,6 persen dengan nominal mencapai Rp2,8 triliun.
     
Sementara itu jumlah penyaluran kredit mencapai Rp10,1 triliun, atau meningkat sebesar 6,6 persen, lebih rendah dibandingkan periode sama tahun sebelumnya yang tumbuh 8,73 persen.
     
Penyaluran kredit di Bali lebih banyak disalurkan ke sektor produktif sebesar 63,3 persen atau Rp6,4 triliun yang terdiri dari kredit modal kerja Rp4,93 triliun dan investasi Rp1,48 triliun.
     
Hizbullah mengatakan pertumbuhan DPK tahun ini yang lebih tinggi dibandingkan penyaluran kredit mengakibatkan fungsi intermediasi BPR terus menurun yang ditunjukkan dengan rasio simpanan terhadap kredit atau LDR mencapai 71,65 persen. Jumlah itu lebih rendah dibandingkan periode September 2017 mencapai 72,9 persen.
     
Meski demikian, menurunnya LDR tidak dibarengi dengan persentase kredit bermasalah atau "nonperforming loan" (NPL) yang mengalami peningkatan.
     
Rasio NPL BPR di Bali hingga September 2018 mencapai 9,24 persen atau naik dari posisi sebelumnya mencapai 7,82 persen, melampaui angka rata-rata nasional mencapai 7,16 persen.
     
Kontribusi terbesar penyumbang NPL BPR di Bali dari sektor perdagangan besar dan eceran dan penerima bukan lapangan usaha dan penyedia akomodasi makanan dan minuman.
     
"Tingginya angka kredit bermasalah itu terutama disebabkan oleh banyak debitur melakukan spekulasi usaha properti dengan menggunakan kredit investasi dan 'side streaming kredit'," katanya.
     
Menanggapi tingginya NPL BPR, Ketua Perbarindo Bali Ketut Wiratjana menjelaskan kondisi itu disebabkan karena adanya kelemahan dari BPR termasuk keterlambatan pembayaran yang dilakukan debitur.
     
Pihaknya mengingatkan BPR untuk tetap berhati-hati dalam mencairkan kredit termasuk melakukan pendampingan kepada BPR melalui seminar atau lokakarya.
   
 "Kami bersama jajaran direksi dan komisaris di BPR sepakat untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit agar bisa cepat menangani kredit bermasalah sehingga NPL bisa ditekan," katanya. (ed)

Pewarta: Dewa Wiguna

Editor : Adi Lazuardi


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018