Denpasar (Antaranews Bali) - Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) bersama Tsing Hua University, Tiongkok, bekerja sama meningkatkan hasil penelitian dengan melakukan kegiatan penelitian skala laboratorium bersama. 

Kegiatan penelitian ini diawali dengan pembahasan bersama kedua belah pihak dengan menyusun program kerja dan rencana penelitian bersama tahun 2019 di Sanur, Kota Denpasar, Bali, Jumat.

Peneliti Batan, Muhammad Subekti mengatakan kegiatan penelitian skala laboratorium bersama (joint lab) awalnya digagas oleh Pemerintah Tiongkok dengan Indonesia sebagai partner-nya dalam bentuk kerja sama pengembangan teknologi "High Temperature Gas Coolled Reactor (HTGR)" di kedua negara.

Dengan adanya kegiatan tersebut diharapkan dapat menjawab keraguan masyarakat selama ini terhadap penguasaan teknologi reaktor nuklir oleh bangsa Indonesa.

Muhammad Subekti yang sekaligus kontributor simulator menjelaskan pentingnya melakukan kegiatan penelitian bersama dengan Tsing Hua University, khususnya terkait dengan penguasaan teknologi HTGR.

"Kegiatan penelitian 'joint lab' dapat dijadikan sebagai wadah kegiatan sharing data dan penelitian bersama terkait dengan desain HTGR, pengembangan simulator, kajian penerimaan regulasi, dan studi penelitian bersama tahun 2019," ujarnya.

Selanjutnya, Muhammad Subekti menambahkan, implementasi kegiatan bersama ini diwujudkan dalam bentuk peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) dan pengembangan teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Program kerja sama "joint lab" tersebut direncanakan pelaksanaannya berlangsung hingga tiga tahun ke depan.

Muhammad Subekti yang juga sebagai salah satu desainer PLTN di Indonesia, kerja sama ini dapat mempercepat tugas Batan dalam mendesain PLTN komersial pertama di Indonesia. Desain yang dihasilkan dari kegiatan bersama ini merupakan peningkatan dari skala Reaktor Daya Eksperimental (RDE) yang berkapasitas 10 MW menjadi skala yang lebih tinggi dayanya.

"Peningkatan skala dari RDE menjadi lebih tinggi akan diperuntukkan sebagai pembangkit listrik sekaligus dapat digunakan untuk keperluan industri seperti smelter, pabrik pupuk, pabrik pengolahan logam tanah jarang atau industri lainnya yang memanfaatkan panas dari proses reaktor nuklir," ucapnya.

Sementara itu, Kepala Pusat Teknologi Keselamatan Reaktor Nuklir (PTKRN), Geni Rina Sunaryo menjelaskan tiga target dari kegiatan "joint lab" yakni, peningkatan kapasitas SDM, mengakselerasi regulasi terkait HTGR, dan membuat peta manufatur terkait HTGR.
 
"Hasil kerja kegiatan 'joint lab' ini nantinya dapat dimanfaatkan oleh kedua belah pihak, paling tidak yang terkait dengan peningkatan kapasitas SDM," ujarnya.

Menurut Geni, salah satu alasan Indonesia bersedia menjadi partner Tiongkok dalam kegiatan 'joint lab' dikarenakan saat ini Tiongkok telah mempunyai reaktor HTGR yang nantinya dapat dimanfaatkan Indonesia sebagai sarana pembelajaran dalam mengembangkan RDE.

Hal senada dikatakan Kepala Batan, Djarot Sulistio Wisnubroto, bahwa kerja sama "joint lab" memberi keuntungan bagi kedua belah pihak baik dari sisi desain, pembuatan perangkat lunak, regulasi dan manufaktur.

"Tiongkok merupakan negara yang maju dan serius di bidang energi nuklir, maka dengan adanya kerja sama ini, kita bisa belajar banyak hal terkait dengan penguasaan teknologi HTGR," ucapnya.

Djarot menambahkan, kegiatan joint lab ini difokuskan pada kegiatan pengembangan HTGR terutama pada desain 150 MWth. Dengan demikian, kegiatan ini menjadi semacam penyiapan kelanjutan dari program pembangunan RDE yang berkapasitas 10 MWth.

"Kegiatan ini akan mampu merespon kritikan bahwa RDE akan berhenti tanpa ada kelanjutan 'scale-up'. Dengan kegiatan ini ditargetkan kami mampu membuat desain HTGR 150 MWth," ujar Djarot.

Pewarta: I Komang Suparta

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018