Gianyar (Antaranews Bali) - Aktivis yang kini menjadi dosen Fakultas Filsafat Universitas Indonesia Saras Dewi menyatakan kebangkitan Orde Baru (Orba) masih terus membayangi dan mengancam pemerintahan reformasi (1998) hingga kini.

"Itu karena kekuatan-kekuatan Orba belum benar-benar musnah, bahkan mampu melakukan transformasi menjelma dalam partai-partai politik belakangan ini," katanya saat berbicara di Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2018 bertema 'Setelah 20 Tahun Reformasi' di Gianyar, Jumat.

Dalam diskusi yang juga menampilkan Haidar Bagir, mantan direktur harian Republika dan aktivis masjid Salman ITB Bandung itu, ia menegaskan bahwa kekuatan-kekuatan Orba dengan ciri-ciri otoriterisme, KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), sering menyebarkan teror, dan bertumpu kepada kharisma seseorang.

"Mereka ternyata belum benar-benar musnah dalam kehidupan ekonomi-politik di Indonesia," kata Saras Dewi yang sejak pelajar SMA sudah mengorganisasi demo-demo pelajar SMA untuk menggulingkan pemerintahan Soeharto dan rezim militer.

Bahkan, ia sempat mendekam di jeruji besi walau hanya semalam akibat ikut demo-demo pada tahun 1998 bersama para mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia yang berujung dengan mundurnya Soeharto sebagai presiden setelah sekitar 32 tahun berkuasa.

"Kekuatan Orba bisa dilihat dari kemunculan partai politik yang dikuasai oleh menantu Soeharto dan anak-anak presiden Orba. Kekuatan Orba mampu bertransformasi dan menjelma dalam partai politik, karena itu masyarakat harus paham, baca sejarah, baca latar belakang elit politik yang saat ini muncul demi mencegah kembalinya kekuatan Orba berkuasa di Indonesia," kata Saras yang lahir di Denpasar, Bali.

Untuk mencegah kembalinya kekuatan Orba berkuasa di Indonesia, rakyat harus menolak kekuatan Orba yang menjelma dalam partai politik dan elite politik saat ini.

Selain itu, kekuatan gerakan mahasiswa dan rakyat harus turun kembali untuk mencegah kembalinya kekuatan dan nilai-nilai Orba.

Sementara itu, Haidar Bagir yang juga aktivis masjid Salman ITB Bandung itu, mengatakan jika harus memilih Soeharto atau anak-anaknya, maka Soeharto lebih teruji kepemimpinannya.

"Kita harus akui Presiden Soeharto memiliki banyak hal yang positif dan prestasi selama memimpin, walau ada kelemahan. Sementara, anak-anak Soeharto terkenal banyak bisnis dan banyak perusahaan hasil dari KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme)," katanya.

Ketika ditanya kemunculan Prabowo, menantu mantan Presiden Soeharto, yang maju sebagai salah satu Capres, dan didukung oleh semua anak-anak Soeharto, mantan Direktur Penerbitan buku Mizan ini menyebut Hashim Djojohadikusumo sebagai adik Prabowo yang juga menjadi tim suksesnya.

"Hashim tidak mau mengecam FPI sebagai organisasi Islam garis keras hanya karena ormas itu mendukung Prabowo. Ini sangat berbahaya. Mereka telah bermain api. Menggunakan isu agama dalam politik sejak Pilpres 2014 dan Pilkada DKI. Agama menjadi menyeramkan, padahal agama sesungguhnya menyejukkan dan membuat kedamaian dan ketentraman bagi pemeluk dan masyarakat sekitarnya," katanya. (ed)

Pewarta: Adi Lazuardi

Editor : I Komang Suparta


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018