Nusa Dua (Antaranews Bali) - Peneliti Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Mouhamad Bigwanto mengatakan industri rokok memanfaatkan penjual tradisional untuk melakukan promosi rokok di kalangan ekonomi bawah dan menengah bawah.
"Industri rokok menjalin kemitraan dengan penjual tradisional melalui berbagai program," kata Bigwanto dalam salah satu sesi pada Konferensi Asia Pasifik untuk Tembakau dan Kesehatan ke-12 (APACT12th) di Nusa Dua, Bali, Sabtu.
Promosi yang dilakukan industri rokok dengan melibatkan penjual tradisional antara lain melalui pemasangan spanduk rokok di depan toko dan pengecatan bangunan toko dengan logo atau warna yang identik dengan merek rokok.
Industri rokok sengaja memilih toko-toko penjual tradisional yang lokasinya berdekatan dengan sekolah.
Menurut penelitian yang dilakukan di Kota Bogor, Depok, Kota Bekasi dan Tangerang Selatan pada pertengahan 2016, 37 persen toko mitra industri rokok tersebut terletak kurang dari 100 meter dari sekolah.
"Industri rokok menyasar anak-anak dan kelompok masyarakat miskin. Penjual tradisional dipilih karena memang pangsa pasar mereka masyarakat ekonomi kelas bawah," jelasnya.
Hal itu sesuai dengan tingkat prevalensi perokok dewasa pada kelompok ekonomi bawah dan menengah bawah yang terus meningkat pada rentang waktu 2001 hingga 2013.
Pada 2001, prevalensi merokok dewasa pada kelompok ekonomi bawah adalah 30 persen dan meningkat menjadi 43,8 persen pada 2013. Sedangkan prevalensi merokok kelompok menengah bawah meningkat dari 33 persen menjadi 40 persen.
Bigwanto menyampaikan hasil penelitian pada salah satu sesi dalam APACT12th. APACT pertama kali diadakan di Taipei, Taiwan pada 1989. Pertemuan terakhir diadakan di Beijing, China pada 2016.
APACT12th diselenggarakan di Nusa Dua, Bali dan diketuai Arifin Panigoro. Sebagai tuan rumah di Indonesia adalah Komite Nasional Pengendalian Tembakau bersama sejumlah organisasi pendukung pengendalian tembakau lainnya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018
"Industri rokok menjalin kemitraan dengan penjual tradisional melalui berbagai program," kata Bigwanto dalam salah satu sesi pada Konferensi Asia Pasifik untuk Tembakau dan Kesehatan ke-12 (APACT12th) di Nusa Dua, Bali, Sabtu.
Promosi yang dilakukan industri rokok dengan melibatkan penjual tradisional antara lain melalui pemasangan spanduk rokok di depan toko dan pengecatan bangunan toko dengan logo atau warna yang identik dengan merek rokok.
Industri rokok sengaja memilih toko-toko penjual tradisional yang lokasinya berdekatan dengan sekolah.
Menurut penelitian yang dilakukan di Kota Bogor, Depok, Kota Bekasi dan Tangerang Selatan pada pertengahan 2016, 37 persen toko mitra industri rokok tersebut terletak kurang dari 100 meter dari sekolah.
"Industri rokok menyasar anak-anak dan kelompok masyarakat miskin. Penjual tradisional dipilih karena memang pangsa pasar mereka masyarakat ekonomi kelas bawah," jelasnya.
Hal itu sesuai dengan tingkat prevalensi perokok dewasa pada kelompok ekonomi bawah dan menengah bawah yang terus meningkat pada rentang waktu 2001 hingga 2013.
Pada 2001, prevalensi merokok dewasa pada kelompok ekonomi bawah adalah 30 persen dan meningkat menjadi 43,8 persen pada 2013. Sedangkan prevalensi merokok kelompok menengah bawah meningkat dari 33 persen menjadi 40 persen.
Bigwanto menyampaikan hasil penelitian pada salah satu sesi dalam APACT12th. APACT pertama kali diadakan di Taipei, Taiwan pada 1989. Pertemuan terakhir diadakan di Beijing, China pada 2016.
APACT12th diselenggarakan di Nusa Dua, Bali dan diketuai Arifin Panigoro. Sebagai tuan rumah di Indonesia adalah Komite Nasional Pengendalian Tembakau bersama sejumlah organisasi pendukung pengendalian tembakau lainnya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018