Denpasar (Antaranews Bali) - Guru besar Fakultas Teknik Universitas Udayana Prof Ir Nyoman Arya Thanaya mengusulkan kepada para pemegang kebijakan untuk memulai daur ulang jalan dari hasil penggarukan untuk sejumlah ruas jalan di Kota Denpasar.

"Sebagai institusi akademik, kami mengomunikasikan, menggugah, dan melaksanakan pendekatan kepada pemegang kebijakan untuk mulai memikirkan hal tersebut," kata Prof Arya yang juga Koordinator Program Studi Doktor Ilmu Teknik, Fakultas Teknik Unud itu disela-sela kuliah tamu bertajuk 'Preservasi dan Daur Ulang Perkerasan Jalan' di Denpasar, Kamis.

Menurut dia, penggarukan jalan khususnya perlu dilakukan pada sepanjang ruas jalan yang ada peninggalan bangunan bersejarahnya di Kota Denpasar  seperti di Jalan Gadjah Mada, Jalan Surapati, hingga di jalan di seputaran Lapangan I Gusti Ngurah Made Agung, serta pada sejumlah ruas jalan yang padat penduduknya.

Arya mengatakan, pengerasan jalan selama ini yang hanya dengan terus menumpuk aspal, sehingga menyebabkan elevasi jalan semakin tinggi dan bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan perumahan penduduk.

"Kalau sampai elevasi rumah penduduk lebih rendah dari elevasi jalan, tentunya akan timbul ketidaknyamanan psikologis. Namun, sudah telanjur puluhan tahun seperti itu, karena itu kami mencoba mulai mengunggah para pemangku kebijakan untuk mulai mendaur ulang jalan," ucapnya.

Dengan mulai daur ulang jalan, khususnya di Bali dan Indonesia pada umumnya, lanjut Arya, juga akan menjadi solusi ditengah kondisi daerah yang mulai mengalami kekurangan material untuk pembangunan jalan, apalagi hasil penelitian juga menunjukkan hal itu bagus.

"Galian C di Bali sebagian besar sudah ditutup, padahal hasil garukan jalan yang lama sangat potensial untuk kembali digunakan. Bahkan dari hasil penelitian di laboratorium, hasilnya bagus," ujarnya.

Dalam acara yang diadakan bekerja sama dengan 'Gaya Makmur' Surabaya itu, Arya menambahkan, hasil penggarukan jalan sangat bisa dimanfaatkan kembali setelah distabilisasi dengan berbagai teknologi, seperti dengan semen dan aspal busa.

"Jadi teknologinya sudah ada, tinggal kita mencari waktu kapan memulainya dan memilih proyek percontohan yang memungkinkan untuk itu," ucapnya.

Dia tidak memungkiri memang akan ada biaya tambahan untuk menggaruk jalan yakni untuk per meter kubik sebesar Rp165 ribu atau jika pada jalan sepanjang 1 kilometer dengan lebar 7 meter, perlu tambahan biaya sekitar Rp57 juta  yang harus diinvestasikan.

"Dalam jangka panjang, hasil garukan tersebut bisa dijual untuk pengerasan jalan yang lalu lintasnya sedang sampai dengan ringan. Dengan dikelola lebih baik, kebutuhan material alam juga bisa dikurangi karena menggunakan hasil daur ulang," ujarnya.

Sementara itu, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan, pada Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian PU dan Perumahan Rakyat Ir Deded Permadi Sjamsudin MEngSc mengatakan jumlah produksi aspal di Indonesia sesungguhnya masih jauh kurang dari kebutuhan.

Deded mengemukakan, secara nasional untuk keseluruhan jaringan jalan, pelabuhan, bandara dan sebagainya membutuhkan aspal hingga 1,2-1,6 juta ton pertahun.

"Selama ini yang mendapat penugasan menyediakan aspal adalah Pertamina, tetapi kemampuan Pertamina untuk memproduksi aspal nasional sekitar 400 ribu ton. Untuk tambahannya, Pertamina harus mengimpor untuk kemudian diolah, serta sisanya diimpor dari importir lain," ujarnya.

Demikian pula untuk deposit aspal alam di Buton, sampai sekarang serapannya tidak lebih dari 100 ribu ton. Oleh karenanya, dengan metode daur ulang itu sesungguhnya dapat menjawab tantangan produksi aspal yang masih kurang itu.

"Untuk proses daur ulang hasil penggarukan, bisa dilakukan langsung di lokasi jalan tersebut, ataupun prosesnya dibawa ke tempat lain. Untuk daur ulang di lokasi memang ada hambatan persoalan lalu lintas yang cukup tinggi," katanya sembari mengatakan urusan daur ulang jalan sudah diteliti sejak 2006

Persoalan lainnya yakni dari sisi alat pengolahan daur ulang jalan yang dilengkapi pemanas, untuk saat ini hanya ada dua unit, sedangkan untuk pengadaan alat tentu harus didukung regulasi. Selain ada persoalan juga dari sisi permintaan dan penawaran untuk kebutuhan daur ulang jalan itu.

Padahal, dengan metode daur ulang jalan itu, biayanya akan lebih murah dibandingkan dengan menggunakan hotmix, karena dengan daur ulang menggunakan agregat bekas yang sudah diproses. Sebelumnya juga sudah sempat dilakukan proyek percontohan daur ulang jalan itu tersebut di daerah Karawang, Jawa Barat.

Dalam kesempatan tersebut juga menghadirkan narasumber Martin Diekman selaku Recycling Product Manager Wirtgen Group. (ed)

Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018