Oleh  I Ketut Sutika
Denpasar (Antara Bali) - Pan Luh Padmini (42), seorang petani dari Banjar Ole Desa Marga Dauh Puri, Kabupaten Tabanan, sengaja mencari momentum Ramadhan untuk menjual sapi piaraannya, karena harganya akan lebih baik.

Meskipun pada pertengahan Juni sangat membutuhkan uang untuk biaya pendidikan putrinya melanjutkan ke SMAN I Marga, namun tetap saja menunda menjual sapi kesayangannya, akibat harga anjlok, dan terpaksa meminjam uang di Lembaga Perkreditan Desa (LPD) setempat untuk kelangsungan putrinya.

Dua dari tiga ekor sapi piaraannya dengan berat sekitar 375 kg per ekor itu dijual ke pasar Hewan Bringkit dengan harga Rp18 juta. Dari hasil penjualannya itu Rp8 juta diantaranya langsung diberikan dua ekor sapi bibit untuk dipelihara lebih lanjut.

Dengan demikian Pan Luh Padmini pulang membawa uang sebesar Rp10 juta, Rp5 juta diantaranya untuk melunasi hutang yang dipinjam di LPD dan Rp5 juta disimpan sebagai tabungan di lembaga keuangan desa adat (pekraman) setempat, untuk mengantisipasi keperluan biaya pendidikan bagi putrinya dan seorang putranya.

Sosok Pan Luh Padmini adalah salah seorang dari ribuan petani sekaligus peternak di Pulau Dewata yang memanfaatkan momentum bulan puasa untuk menjual sapinya, karena saat itu Bali membutuhkan banyak sapi potong dengan berat minimal 350 kg per ekor sebagai matadagangan antarpulau.

Bali selama bulan puasa hingga menjelang Idiul Fitri 1432 H mengirim ribuan ekor sapi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat Ibu Kota Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Pulau Jawa.

Pasar hewan Beringkit, Kabupaten Badung  yang melakukan transaksi dua kali dalam seminggu, yakni Rabu dan Minggu menjelang bulan puasa terjadi transaksi jual beli ternak sapi cukup ramai. Bahkan transaksi itu mencapai 80 persen dari seluruh ternak yang masuk ke pasar hewan terbesar di Pulau Dewata.

Setiap berlangsungnya pasar masuk sekitar 1.300 ekor sapi dalam berbagai ukuran mulai dari bibit, sapi ukuran sedang, hingga sapi dengan berat 350- 400 kg  per ekor yang memenuhi syarat sebagai matadagangan antarpulau.

Dari jumlah itu sekitar 900 ekor terjadi transaksi dan 400 ekor lainnya, terpaksa dibawa kembali pulang oleh pemiliknya karena tidak laku, tutur Made Suweta, seorang petugas di pasar tersebut.

Sapi yang tidak laku oleh pemiliknya itu tidak tertutup kemungkinan kembali dijual ke pasar serupa pada minggu berikutnya dan sangat berpeluang terjadi transaksi, karena Bali membutuhkan sapi untuk diperdagangkan antarpulau dalam jumlah banyak.

Bahkan transaksi yang sangat penonjol di pasar terbesar yang menampung matadagangan sapi dari delapan kabupaten dan satu kota di Bali itu untuk memenuhi kebutuhan sapi antarpulau dengan tujuan ibukota Jakarta.

Sapi potong yang mempunyai berat sekitar 350-400 kg per ekor sangat laris, begitu tiba di pasar sudah menjadi rebutan para pembeli, sehingga otomatis harganya naik dibanding transaksi sebelum bulan puasa.

    
Dua kali lipat
Kepala Dinas Peternakan Provinsi Bali Putu Sumantra  menjelaskan, Bali selama bulan puasa sedikitnya mengirim 10.000 ekor sapi dengan berat rata-rata 40 kg untuk memenuhi kebutuhan masyarakat ibukota Jakarta dan sejumlah kota besar lainnya di Pulau Jawa.

Jumlah itu dua kali lipat dari pengiriman matadagangan serupa pada bulan-bulan biasa.

Pengiriman matadagangan sapi antarpulau itu sengaja dibatasi, sesuai kuota yang telah ditetapkan Gubernur Bali Made Mangku Pastika dalam tahun 2011.

Pemprov Bali dalam tahun 2011 hanya menetapkan jatah perdagangan sapi antarpulau sebanyak 64.573  ekor, meningkat 2.573 ekor dari jatah 2010 yang hanya 62.000 ekor.

Jika dibagi secara merata dalam setahun setiap bulannya maksimal diizinkan untuk mengirim 5.000 ekor atau 30.000 ekor.

Sisanya sebanyak 34.573 ekor itu untuk memenuhi hari-hari besar keagamaan yang meliputi bulan puasa menjelang Idul Fitri,  Idul Adha,  Hari Raya Natal dan hari-hari besar keagamaan lainnya, termasuk menyambut tahun baru 2012 jumlahnya ditingkat dua kali lipat menjadi 9.200 ekor atau maksimal 10.000 ekor.

Pembatasan itu sengaja dilakukan secara ketat, agar jatah perdagangan yang ditangani oleh 71 perusahaan pedagangan sapi antarpulau mencukup dalam setahun, karena Pemprov Bali tidak akan menambah kuota perdagangan sapi antarpulau tersebut.

Oleh sebab itu pengaturan izin perdagangan sapi antarpulau dilakukan secara ketat, disamping meningkatkan pengawasan terhadap kemungkinan pengiriman ternak sapi ke luar Bali itu secara ilegal, tutur Putu Sumantra.

Pembatasan kuota perdagangan sapi antarpulau maupun pemotongan sapi dalam memenuhi konsumsi masyarakat dan bahan baku pabrik pengolahan daging di Bali, sebagai upaya menjaga keseimbangan populasi sapi Bali di Pulau Dewata.

Gubernur Bali Made Mangku Pastika dalam menetapkan jatah perdagangan sapi antarpulau setiap tahunnya itu      didasarkan atas hasil pengkajian terhadap peningkatan populasi sapi di Bali.

Oleh sebab itu Dinas Peternakan Provinsi Bali melakukan penghitungan secara cermat didasarkan atas angka kelahiran anak sapi selama dalam kurun waktu setahun.  Kuota yang ditetapkan harus lebih kecil dari angka kelahiran sapi dalam tahun bersangkutan, dengan harapan, peningkatan dan keseimbangan populasi sapi Bali tetap dapat dipertahankan.

    
Pacu pengembangan
Bali  sebuah pulau kecil dengan luas wilayah hanya 5.632,86 km2, memiliki populasi  675.419 ekor sapi, atau meningkat rata-rata 3,41 persen per tahun, setelah dikurangi untuk perdagangan sapi antarpulau, kebutuhan hotel dan pemotongan untuk masyarakat setempat yang setiap  tahunnya berkisar 100.000 hingga 120.000 ekor

Dengan demikian kepadatan rata-rata 93,3 ekor setiap kilometer persegi, termasuk paling padat di Indonesia, menyusul Jawa Tengah memiliki kepadatan 68,91 ekor dan Yogyakarta 61 ekor setiap kilometer persegi.                      

Meskipun tergolong padat,  menurut Kadis Putu Sumantra, populasi sapi itu masih bisa ditingkatkan menjadi lebih dari satu juta ekor, atau dua kali lipat dari kondisi sekarang, mengingat  sistem pemeliharaan dan pengembangan ternak sapi dapat dilakukan dengan sistem ternak sapi kereman, sehingga tidak membutuhkan lahan yang terlalu luas.

Sistem pengadaan pakan ternak yang mampu bertahan lama sudah dilakukan sejumlah perusahaan pengolah hijauan makanan ternak yang mengandung semua unsur, yang diperlukan dalam pertumbuhan berat badan sapi, sehingga memudahkan peternak yang memelihara lebih dari lima ekor sapi.

Peternak dalam mengembangkan usahanya  sehari-hari itu tinggal mencarikan beberapa hijauan makanan ternak yang segar dicampur dengan pakan ternak yang sudah jadi.

Namun kebanyakan petani di Bali memelihara sapi satu-dua ekor sebagai sambilan yang seluruhnya memanfaatkan rerumputan dan hijauan makanan ternak segar.

Pemprov Bali lewat pengembangan sistem pertanian terintegrasi (Simantri) pada 40 unit tahun 2010 membantu seribu ekor bibit sapi betina yang siap dikawinkan, atau masing-masing unit 20 ekor, menyusul 2.000 ekor dalam tahun 2011 untuk 100 unit Simantri.

Selain itu bekerja sama dengan Bank Pembangunan Daerah (BPD) setempat menyediakan kredit tanpa anggunan (KTA) sebesar Rp miliar selama tiga tahun, 2008-2010, hingga kini sudah terealisasi Rp7,1 miliar dan masih ada sisa Rp2,9 miliar yang diharapkan terealisasi akhir 2010 atau awal 2011.

Dalam memacu pengembangan ternak sapi di Bali  Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian juga mengucurkan dana sebesar Rp7,83 miliar untuk program pengembangan bibit ternak sapi Bali dalam tahun 2010 yang disalurkan  kepada 18 kelompok ternak sapi, masing-masing sebesar Rp435 juta.

Kelompok masing-masing mengarahkan dana tersebut untuk membuat kandang dan pengadaan sapi betina untuk  dikembangkan sebagai usaha pembibitan.

"Berbagai upaya yang dilakukan untuk mendorong dan mempercepat meningkatkan populasi sapi Bali, mengingat jenis matadagangan tersebut mempunyai prospek yang sangat cerah," tutur  Kadis Putu Sumantra.(*)

Pewarta:

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011