Jakarta (Antaranews Bali) - Direktur dan Perwakilan Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) Jakarta Shahbaz Khan menilai Indonesia perlu lebih banyak berinvestasi pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) untuk berkontribusi pada pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030.
Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, Indonesia masih menghadapi salah satu tantangan besar yakni keluar dari kelompok negara berpendapatan menengah.
Agar terbebas dari middle income trap, Indonesia harus mengembangkan basis data yang berasal dari riset dan pengembangan teknologi untuk menunjang kehidupan masyarakatnya, ujar Khan dalam Pertemuan Koordinasi Strategis Regional UNESCO bertajuk Sains untuk Memampukan dan Memberdayakan Asia Pasifik bagi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Jakarta, Senin.
"Karena itu Indonesia perlu berinvestasi pada ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama anak-anak mudanya, agar mereka lebih bersemangat mengembangkan teknologi informasi dan sistem daring," tutur dia.
Indonesia tertinggal jauh dari Korea Selatan sebagai negara yang menempati peringkat pertama dalam hal investasi terhadap riset dan pengembangan, berdasarkan data UNESCO Institute for Statistics.
Dengan 6.856 periset setiap satu juta penduduk, Korea menggunakan 4,3 persen Produk Domestik Bruto (PDB) atau sebesar 73 miliar dolar AS untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sementara Indonesia hanya memiliki 89 periset setiap satu juta penduduk, dengan 0,1 persen PDB atau senilai dua miliar dolar AS digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Fakta ini, menurut Khan, menunjukkan bahwa Indonesia perlu lebih mendorong bidang riset dan pengembangan dan mengoptimalkan peran universitas juga institusi seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), serta Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) untuk menemukan solusi atas berbagai tantangan yang dihadapi bangsa, dalam kaitannya dengan pencapaian SDGs.
Pelestarian lingkungan, pengelolaan air bersih, penyediaan lapangan kerja, dan manajemen risiko bencana adalah beberapa upaya yang dapat ditingkatkan melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
"Sebenarnya basis-basisnya sudah ada, sekarang tinggal bagaimana kita membawa riset dan pengembangan ke level yang lebih tinggi dengan membiasakan budaya inovasi dan kreativitas," kata Khan.
Sependapat dengan Khan, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO Arief Rachman mengatakan bahwa Indonesia sedang bekerja keras untuk meletakkan ilmu pengetahuan dan teknologi demi menunjang SDGs.
"Masalah utama yang perlu diperhatikan itu apakah para ilmuwan dan ahli sudah berpikir pada pembangunan berkelanjutan atau masih terpaku pada pencapaian akademisnya," kata dia.
Ilmuwan, hampir di seluruh bidang, seharusnya tidak terpisah dari realitas yang ada dan mau menggunakan ilmunya untuk kepentingan bangsa, bahkan masyarakat dunia.
Hasil-hasil penelitian dan pengembangan teknologi, menurut Arief, seharusnya disampaikan kepada DPR dan pemerintah sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan agar lebih tepat sasaran.
"Sayangnya banyak sarjana-sarjana kita mengadakan penelitian hanya untuk kenaikan golongan, membuat desertasi, atau untuk mencari status akademisnya sendiri," ujar Arief. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018
Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, Indonesia masih menghadapi salah satu tantangan besar yakni keluar dari kelompok negara berpendapatan menengah.
Agar terbebas dari middle income trap, Indonesia harus mengembangkan basis data yang berasal dari riset dan pengembangan teknologi untuk menunjang kehidupan masyarakatnya, ujar Khan dalam Pertemuan Koordinasi Strategis Regional UNESCO bertajuk Sains untuk Memampukan dan Memberdayakan Asia Pasifik bagi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Jakarta, Senin.
"Karena itu Indonesia perlu berinvestasi pada ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama anak-anak mudanya, agar mereka lebih bersemangat mengembangkan teknologi informasi dan sistem daring," tutur dia.
Indonesia tertinggal jauh dari Korea Selatan sebagai negara yang menempati peringkat pertama dalam hal investasi terhadap riset dan pengembangan, berdasarkan data UNESCO Institute for Statistics.
Dengan 6.856 periset setiap satu juta penduduk, Korea menggunakan 4,3 persen Produk Domestik Bruto (PDB) atau sebesar 73 miliar dolar AS untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sementara Indonesia hanya memiliki 89 periset setiap satu juta penduduk, dengan 0,1 persen PDB atau senilai dua miliar dolar AS digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Fakta ini, menurut Khan, menunjukkan bahwa Indonesia perlu lebih mendorong bidang riset dan pengembangan dan mengoptimalkan peran universitas juga institusi seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), serta Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) untuk menemukan solusi atas berbagai tantangan yang dihadapi bangsa, dalam kaitannya dengan pencapaian SDGs.
Pelestarian lingkungan, pengelolaan air bersih, penyediaan lapangan kerja, dan manajemen risiko bencana adalah beberapa upaya yang dapat ditingkatkan melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
"Sebenarnya basis-basisnya sudah ada, sekarang tinggal bagaimana kita membawa riset dan pengembangan ke level yang lebih tinggi dengan membiasakan budaya inovasi dan kreativitas," kata Khan.
Sependapat dengan Khan, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO Arief Rachman mengatakan bahwa Indonesia sedang bekerja keras untuk meletakkan ilmu pengetahuan dan teknologi demi menunjang SDGs.
"Masalah utama yang perlu diperhatikan itu apakah para ilmuwan dan ahli sudah berpikir pada pembangunan berkelanjutan atau masih terpaku pada pencapaian akademisnya," kata dia.
Ilmuwan, hampir di seluruh bidang, seharusnya tidak terpisah dari realitas yang ada dan mau menggunakan ilmunya untuk kepentingan bangsa, bahkan masyarakat dunia.
Hasil-hasil penelitian dan pengembangan teknologi, menurut Arief, seharusnya disampaikan kepada DPR dan pemerintah sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan agar lebih tepat sasaran.
"Sayangnya banyak sarjana-sarjana kita mengadakan penelitian hanya untuk kenaikan golongan, membuat desertasi, atau untuk mencari status akademisnya sendiri," ujar Arief. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018