Denpasar (Antaranews Bali) - Sembilan Lembaga  Lingkungan Hidup (LLH) Indonesia dan internasional mengajukan pendapat hukum  "Sahabat  Pengadilan" kepada  hakim  Pengadilan Tata  Usaha  Negara  (PTUN)  Denpasar terkait gugatan terhadap ekspansi PLTU Celukan Bawang,  Bali.

"Sembilan  lembaga  hukum  lingkungan  yang mengajukan  Pendapat  Hukum  yakni Indonesian  Center  for  Environmental  Law (ICEL),  Research  Center  for  Climate  Change  Universitas  Indonesia  (RCCC  UI), Earthjustice,  Environmental  Law  Alliance  Worldwide  (ELAW),  Client  Earth,  Center  for Environmental  Rights,    EDOs  of  Australia,  Environmental  Justice  Australia,  The  Access Initiative," kata Kepala  Divisi  Pencemaran  Lingkungan  dari Indonesian 'Center  for  Environmental  Law', Margaretha  Quina, di Denpasar, Selasa.

Menurut Analisis  Dampak  Lingkungan (AMDAL) , penambahan  unit  pembangkit  2  x  330  MW  di  Celukan  Bawang  akan membakar  2.950.635,60  ton  batubara  per  tahun  selama  periode  operasinya.  

Dengan asumsi  bahwa  PLTU  Celukan  Bawang  akan  beroperasi  dengan  efisiensi  sebesar  85 persen  selama  30  tahun  sesuai  dengan  izin  usaha  pembangkit,  maka perluasan  Celukan Bawang  akan  menghasilkan  pembakaran  setidaknya  75.241.207,8  ton  batubara  selama masa  operasional  pabrik.

"Ini  akan  menghasilkan  pelepasan  lebih  dari  200  juta  ton  CO2 selama  tiga  puluh  tahun  kehidupan  pabrik," ujarnya.

Preseden  hukum  kasus  gugatan  serupa  di  negara  lain  dengan  memasukkan  penilaian dampak  perubahan  iklim  dalam  proyek  pembangunan  yang  menghasilkan  emisi Earthlife Africa Johannesburg v Kementerian Lingkungan Hidup.

Proyek PLTU tersebut  tidak  memenuhi  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan  Lingkungan dan merongrong  komitmen iklim internasional Indonesia.

Pendapat  hukum  setebal  18  halaman  itu  menyebutkan  bahwa  perluasan  PLTU  Celukan Bawang  tidak  menyertakan  analisis  komprehensif  terhadap  dampak  perubahan  iklim  dalam pengambilan  keputusan  hingga diterbitkannya  izin  lingkungan.

Padahal, menurut dia, izin  lingkungan  seharusnya didasarkan  pada  keputusan  kelayakan  lingkungan  hidup  dan  Analisis  Dampak  Lingkungan (AMDAL) yang  menganalisis  secara  komprehensif  bagaimana  dampak  proyek  terhadap lingkungan  hidup dan dampak  terhadap  lingkungan  hidup selayaknya  mencakup  dampak perubahan  iklim.

"Amici  meyakini  bahwa  kewajiban  hukum  dan  ketentuan  dalam  UU  Perlindungan  dan Pengelolaan  Lingkungan  Hidup  berikut  turunannya  memberikan  cukup  alasan  bagi  Majelis untuk  menyatakan  batal  izin  lingkungan  PLTU  Batubara  yang  tidak  mempertimbangkan  dampak perubahan  iklim,"  ujar  Margaretha.

Menurut dia, Indonesia  juga  telah  meratifikasi  Konvensi  Kerangka  Kerja  Perserikatan  Bangsa-bangsa tentang  perubahan  iklim  dan  protokol-protokol  berikutnya,  termasuk  Perjanjian  Paris.

Selain itu, komitmen iklim  internasional  Indonesia  juga  dituangkan  dalam  NDC  yang  berarti  kewajiban memitigasi  perubahan  iklim  harus  dilakukan  pada  setiap  proyek  pembangunan.

Selanjutnya, perluasan  PLTU  Celukan Bawang akan  membakar  hampir  3  juta  ton  batubara  per  tahun selama  30  tahun beroperasi,  pembangkit  itu akan melepaskan  lebih  dari  200  juta  ton  CO2.

Dengan memperhitungkan  pelepasan  emisi  dari  proyek  energi  Indonesia  35  GW,  dimana  60 persen di antaranya  dari  batubara,  maka  sangat  mungkin  proyek  itu akan  menghambat  pencapaian komitmen  internasional  Indonesia  untuk  pengurangan  emisi  gas  rumah  kaca  sebesar  29 persen  atau 41 persen  dengan  bantuan  internasional  pada  2030. (ed)

Pewarta: Wira Suryantala

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018