Denpasar (Antaranews Bali) - Bentara Budaya Bali, lembaga kebudayaan nirlaba Kompas-Gramedia di Ketewel, Kabupaten Gianyar akan menyelenggarakan bedah buku kumpulan puisi "Antara Kita" karya Ketut Syahruwardi Abbas, Sabtu (23/6).
"Kumpulan 72 puisi karya penyair kelahiran Desa Pegayaman, Buleleng itu, dikuliti di dua tempat pada hari yang sama di Singaraja, yakni di markas Dermaga Seni Buleleng (DSB) yang digagas Gede Artawan, kemudian di Rumah Belajar Mahima yang dikomandani suami-istri Made Adnyana Ole dan Sonia Piscayanti, 26 Mei lalu," kata Staf Program BBB, Idayati, di Denpasar, Kamis.
Ketut Syahruwardi Abbas mengaku terharu atas antusiasme pecinta sastra di Buleleng, Bali utara. Gairah dan kecintaan mereka cukup besar terhadap pertumbuhan sastra modern di daerah itu.
Potensi anak-anak muda terhadap sastra juga disebut sebagai luar biasa.
"Untuk itu tokoh-tokoh sastra seperti Gede Artawan, Made Adnyana Ole, Kadek Sonia Piscayanti, dan dosen-dosen di lingkungan Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) hendaknya bersatu padu membimbing potensi muda itu," ujar Ketut Syahruwardi Abbas.
Pihaknya tidak pernah membayangkan sebelumnya jika pada waktu hampir bersamaan, sore di DSB dan malam di Mahima, terkumpul puluhan orang yang siap membaca serta mendendangkan sajak-sajak yang termuat dalam buku "Antara Kita".
Mereka disebutnya gembira menatap puisi, hampir sama seperti kegembiraan mereka menyantap rujak pada akhir acara.
Abbas berharap, kegembiraan yang sama juga terjadi di Bentara Budaya Bali (BBB), Sabtu (23/6) malam.
Sebab, kata dia, pada dasarnya puisi haruslah menyehatkan jiwa dan raga.
"Ia harus dihadapi dengan perasaan lapang dan gembira. Walaupun, mungkin, ekspresi kegembiraan itu bisa beragam," tutur Abbas.
Lelaki yang pernah bekerja di sebuah perusahaan "advertising" di Jakarta sebagai direktur kreatif itu, mengatakan puisi juga jenis kesenian lain memberikan ruang yang luas untuk rekreasi jiwa yang penuh warna.
"Maka jika politik dan ekonomi menekan jiwa kita, bukalah buku puisi," kata dia.
Abbas tergolong penyair senior. Ia satu angkatan dengan, misalnya, G.M. Sukawidana, Adi Ryadi, Nyoman Wirata, Raka Kusuma, yang sajaknya mulai masuk ruang Budaya Bali Post pada masa yang sama. Mereka juga sama-sama bergabung dengan Sanggar Minum Kopi.
Para penyair itu rata-rata telah menerbitkan buku puisi jauh sebelum Abbas melakukannya.
"Ya, saya sangat terlambat menerbitkan kumpulan puisi," kata Abbas.
Dalam soal itu, ia pun mengutip salah seorang temannya, Nyoman Wirata, seorang pelukis sekaligus penyair, yang menulis, "Akhirnya kau terbitkan juga, Bas. Tadinya aku tidak percaya. Bukan oleh kemampuan kesenimananmu, tetapi oleh kesibukanmu mondar-mandir Jakarta-Denpasar." Kira-kira seperti itulah Nyoman Wirata menulis dalam media sosial.
"Untuk sebagian, Nyoman Wirata benar. Kendatipun saya terus menulis sajak, tetapi setelah jadi, sajak-sajak itu tidak terurus. Sangat banyak sajak yang telah dimuat di berbagai media massa, tetapi bertahun kemudian tidak saya temukan lagi. Persoalan saya, belakangan saya sadari adalah pendokumentasian. Tetapi lebih dari itu, terus terang saya tidak terlalu punya keberanian membukukan sajak-sajak saya. Saya punya semacam penyakit, selalu tidak percaya diri melihat karya-karya saya sendiri," tutur Abbas.
Namun, atas desakan teman-temannya, akhirnya penyair yang juga menulis cerpen, novel, dan esai itu "berani" juga menerbitkan kumpulan puisinya dalam buku "Antara Kita".
Ia mengatakan sebuah buku puisi bisa menjadi semacam bukti sejarah bahwa di muka bumi ini pernah ada seorang Ketut Syahruwardi Abbas yang gemar menulis puisi.
Tentang buku "Antara Kita", Abbas mengaku sebagai sajak-sajak yang memiliki kesamaan proses penulisan, yakni lahir dari suatu interaksi.
Hampir semua sajak yang dimuat di buku itu, disebutnya sebagai reaksi atas apa yang bersentuhan dengan dirinya, baik secara fisik maupun kejiwaan.
Ia mengatakan interaksi fisik dengan alam dan manusia di sekitar, interaksi kejiwaan dengan Tuhan dan hal-hal yang bersifat gaib.
"Interaksi-interaksi itu unik. Sebagian besar menghasilkan kerinduan. Sebab, biasanya sajak saya tulis setelah interaksi terjadi beberapa saat, beberapa hari, atau beberapa tahun kemudian," ungkap Abbas.
Pada Pustaka Bentara kali ini, "Antara Kita" akan dibedah oleh Dr Gede Artawan, dosen Bahasa Indonesia Undiksha Singaraja bersama Puji Retno Hardiningtyas, peneliti sastra pada Balai Bahasa Bali.
Selain itu, akan tampil juga Kelompok Sekali Pentas menyanyikan sajak-sajak yang ada dalam buku "Antara Kita".
Tentu saja, katanya, acara itu juga akan diisi dengan pembacaan puisi.
"Kebetulan juga berdekatan dengan Hari Raya Idul Fitri. Acara ini sekaligus juga akan dijadikan ajang silaturahim puisi," ujar Abbas. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018
"Kumpulan 72 puisi karya penyair kelahiran Desa Pegayaman, Buleleng itu, dikuliti di dua tempat pada hari yang sama di Singaraja, yakni di markas Dermaga Seni Buleleng (DSB) yang digagas Gede Artawan, kemudian di Rumah Belajar Mahima yang dikomandani suami-istri Made Adnyana Ole dan Sonia Piscayanti, 26 Mei lalu," kata Staf Program BBB, Idayati, di Denpasar, Kamis.
Ketut Syahruwardi Abbas mengaku terharu atas antusiasme pecinta sastra di Buleleng, Bali utara. Gairah dan kecintaan mereka cukup besar terhadap pertumbuhan sastra modern di daerah itu.
Potensi anak-anak muda terhadap sastra juga disebut sebagai luar biasa.
"Untuk itu tokoh-tokoh sastra seperti Gede Artawan, Made Adnyana Ole, Kadek Sonia Piscayanti, dan dosen-dosen di lingkungan Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) hendaknya bersatu padu membimbing potensi muda itu," ujar Ketut Syahruwardi Abbas.
Pihaknya tidak pernah membayangkan sebelumnya jika pada waktu hampir bersamaan, sore di DSB dan malam di Mahima, terkumpul puluhan orang yang siap membaca serta mendendangkan sajak-sajak yang termuat dalam buku "Antara Kita".
Mereka disebutnya gembira menatap puisi, hampir sama seperti kegembiraan mereka menyantap rujak pada akhir acara.
Abbas berharap, kegembiraan yang sama juga terjadi di Bentara Budaya Bali (BBB), Sabtu (23/6) malam.
Sebab, kata dia, pada dasarnya puisi haruslah menyehatkan jiwa dan raga.
"Ia harus dihadapi dengan perasaan lapang dan gembira. Walaupun, mungkin, ekspresi kegembiraan itu bisa beragam," tutur Abbas.
Lelaki yang pernah bekerja di sebuah perusahaan "advertising" di Jakarta sebagai direktur kreatif itu, mengatakan puisi juga jenis kesenian lain memberikan ruang yang luas untuk rekreasi jiwa yang penuh warna.
"Maka jika politik dan ekonomi menekan jiwa kita, bukalah buku puisi," kata dia.
Abbas tergolong penyair senior. Ia satu angkatan dengan, misalnya, G.M. Sukawidana, Adi Ryadi, Nyoman Wirata, Raka Kusuma, yang sajaknya mulai masuk ruang Budaya Bali Post pada masa yang sama. Mereka juga sama-sama bergabung dengan Sanggar Minum Kopi.
Para penyair itu rata-rata telah menerbitkan buku puisi jauh sebelum Abbas melakukannya.
"Ya, saya sangat terlambat menerbitkan kumpulan puisi," kata Abbas.
Dalam soal itu, ia pun mengutip salah seorang temannya, Nyoman Wirata, seorang pelukis sekaligus penyair, yang menulis, "Akhirnya kau terbitkan juga, Bas. Tadinya aku tidak percaya. Bukan oleh kemampuan kesenimananmu, tetapi oleh kesibukanmu mondar-mandir Jakarta-Denpasar." Kira-kira seperti itulah Nyoman Wirata menulis dalam media sosial.
"Untuk sebagian, Nyoman Wirata benar. Kendatipun saya terus menulis sajak, tetapi setelah jadi, sajak-sajak itu tidak terurus. Sangat banyak sajak yang telah dimuat di berbagai media massa, tetapi bertahun kemudian tidak saya temukan lagi. Persoalan saya, belakangan saya sadari adalah pendokumentasian. Tetapi lebih dari itu, terus terang saya tidak terlalu punya keberanian membukukan sajak-sajak saya. Saya punya semacam penyakit, selalu tidak percaya diri melihat karya-karya saya sendiri," tutur Abbas.
Namun, atas desakan teman-temannya, akhirnya penyair yang juga menulis cerpen, novel, dan esai itu "berani" juga menerbitkan kumpulan puisinya dalam buku "Antara Kita".
Ia mengatakan sebuah buku puisi bisa menjadi semacam bukti sejarah bahwa di muka bumi ini pernah ada seorang Ketut Syahruwardi Abbas yang gemar menulis puisi.
Tentang buku "Antara Kita", Abbas mengaku sebagai sajak-sajak yang memiliki kesamaan proses penulisan, yakni lahir dari suatu interaksi.
Hampir semua sajak yang dimuat di buku itu, disebutnya sebagai reaksi atas apa yang bersentuhan dengan dirinya, baik secara fisik maupun kejiwaan.
Ia mengatakan interaksi fisik dengan alam dan manusia di sekitar, interaksi kejiwaan dengan Tuhan dan hal-hal yang bersifat gaib.
"Interaksi-interaksi itu unik. Sebagian besar menghasilkan kerinduan. Sebab, biasanya sajak saya tulis setelah interaksi terjadi beberapa saat, beberapa hari, atau beberapa tahun kemudian," ungkap Abbas.
Pada Pustaka Bentara kali ini, "Antara Kita" akan dibedah oleh Dr Gede Artawan, dosen Bahasa Indonesia Undiksha Singaraja bersama Puji Retno Hardiningtyas, peneliti sastra pada Balai Bahasa Bali.
Selain itu, akan tampil juga Kelompok Sekali Pentas menyanyikan sajak-sajak yang ada dalam buku "Antara Kita".
Tentu saja, katanya, acara itu juga akan diisi dengan pembacaan puisi.
"Kebetulan juga berdekatan dengan Hari Raya Idul Fitri. Acara ini sekaligus juga akan dijadikan ajang silaturahim puisi," ujar Abbas. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018