Amlapura (Antara Bali) - Kasus penganiayaan terhadap korban hukum adat "kesepekang" (pengucilan, pengusiran) I Nyoman Nada Artawa (36) asal Banjar Adat Perasi, Kota Amlapura, mulai disidang di Pengadilan Negeri Karangasem, Bali, Kamis.
Sidang dipimpin majelis hakim yang diketuai I Ketut Tirta itu menghadirkan satu dari tiga terdakwa penganiayaan yakni Wayan Subarja.
Menurut Jaksa Penuntut Umum (JPU) Cok Dian Permana Putra, terdakwa yang asal Dusun Perasi Kelod dijerat Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan biasa.
Terdakwa memukul pipi korban satu kali menggunakan tangan kosong mengakibatkan pipi kanan korban luka dan harus mendapat jahitan.
Aksi penganiayaan itu terjadi usai proses mediasi terkait kasus pemanenan padi di lahan adat yang digarap oleh salah seorang warga yang dikenai hukum adat "kesepekang".
"Upaya negosiasi yang difasilitasi Muspika Karangasem di kantor camat setempat buntu, karena kedua pihak yang bersengketa ngotot dengan kebenaran versi masing-masing," katanya.
Penganiayaan terjadi ketika massa yang didominsi warga Perasi non-kasepekang dalam perjalanan pulang dari kantor camat pada hari Jumat (10/6).
Sebelum aksi penganiayaan terjadi, korban sedang duduk-duduk di pinggir jalan desa setempat.
"Karena melihat ada ribut-ribut di dekat tempatnya duduk-duduk, korban bermaksud melerai," jelasnya.
Ketika hendak melerai itulah pria yang juga berstatus terhukum "kesepekang" pada banjar itu dihajar dengan pukulan oleh terdakwa.
"Korban terluka di pipi kanan, tapi masih bisa beraktivitas seperti biasa," katanya.
Majelis Hakim I Ketut Tirta memutuskan menunda sidang hingga minggu depan untuk memberi kesempatan kepada terdakwa menyampaikan tanggapannya atas dakwaan JPU.
"Sidang kita lanjutkan minggu depan, sekaligus menunggu jaksa menghadirkan saksi-saksi," jelasnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011
Sidang dipimpin majelis hakim yang diketuai I Ketut Tirta itu menghadirkan satu dari tiga terdakwa penganiayaan yakni Wayan Subarja.
Menurut Jaksa Penuntut Umum (JPU) Cok Dian Permana Putra, terdakwa yang asal Dusun Perasi Kelod dijerat Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan biasa.
Terdakwa memukul pipi korban satu kali menggunakan tangan kosong mengakibatkan pipi kanan korban luka dan harus mendapat jahitan.
Aksi penganiayaan itu terjadi usai proses mediasi terkait kasus pemanenan padi di lahan adat yang digarap oleh salah seorang warga yang dikenai hukum adat "kesepekang".
"Upaya negosiasi yang difasilitasi Muspika Karangasem di kantor camat setempat buntu, karena kedua pihak yang bersengketa ngotot dengan kebenaran versi masing-masing," katanya.
Penganiayaan terjadi ketika massa yang didominsi warga Perasi non-kasepekang dalam perjalanan pulang dari kantor camat pada hari Jumat (10/6).
Sebelum aksi penganiayaan terjadi, korban sedang duduk-duduk di pinggir jalan desa setempat.
"Karena melihat ada ribut-ribut di dekat tempatnya duduk-duduk, korban bermaksud melerai," jelasnya.
Ketika hendak melerai itulah pria yang juga berstatus terhukum "kesepekang" pada banjar itu dihajar dengan pukulan oleh terdakwa.
"Korban terluka di pipi kanan, tapi masih bisa beraktivitas seperti biasa," katanya.
Majelis Hakim I Ketut Tirta memutuskan menunda sidang hingga minggu depan untuk memberi kesempatan kepada terdakwa menyampaikan tanggapannya atas dakwaan JPU.
"Sidang kita lanjutkan minggu depan, sekaligus menunggu jaksa menghadirkan saksi-saksi," jelasnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011