Buleleng (Antaranews Bali) - Puluhan nelayan yang melakukan aksi damai menolak pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Celukan Bawang, Kabupaten Buleleng, Bali, saat kapal Greenpeace, Rainbow Warrior, melintasi perairan itu.
"Bukan hanya pertanian lokal dan komunitas nelayan yang akan menderita jika rencana perluasan ini terus berlanjut. PLTU Celukan Bawang hanya berjarak 20 km dari Pantai Lovina, kawasan wisata populer yang terkenal karena pantai pasir hitam, terumbu karang, dan lumba-lumba," kata Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Didit Haryo, di Buleleng, Selasa.
Ia menjelaskan, khususnya lumba-lumba akan terpengaruh oleh peningkatan lalu lintas kapal pengangkut batubara dan kebisingan dari mesin kapal. Polusi meningkat akan mendorong wisatawan pergi, sehingga mempengaruhi mata pencaharian semua orang yang bekerja di sektor ini.
Menurut dia, emisi dari pembangkit listrik Celukan Bawang yang sudah beroperasi di Kabupaten Buleleng, telah mencemari kawasan tersebut dan menyebabkan masalah kesehatan bagi masyarakat setempat.
Selanjutnya, rencana memperluas pembangkit dan menambah kapasitasnya sebesar 2x330 MW justru akan memperburuk polusi yang dihasilkan dan menambah penderitaan masyarakat.
Selain itu, dampak emisi pembangunan PLTU itu akan menghilangkan mata pencaharian masyarakat setempat dan para petani serta nelayan pun terpaksa kehilangan mata pencaharian karena hasil tangkapan dan panen berkurang.
PLTU itu juga menimbulkan risiko bagi Taman Nasional Bali Barat, rumah bagi satwa langka dan dilindungi, termasuk macan tutul Jawa, trenggiling, dan jalak Bali yang semuanya sangat terancam. Tidak dapat dipungkiri bahwa emisi dari PLTU akan mencemari daerah yang indah ini.
"Pengembangan energi terbarukan perlu adalah masa depan kita. Bali hanya akan bertahan hidup dan berkembang sebagai tujuan wisata jika memiliki energi yang bersih dan berkelanjutan, bukan dengan emisi polusi dari pembangkit batubara seperti di Celukan Bawang," kata Didit.
Ketut Mangku Wijana, perwakilan warga Celukan Bawang juga menyatakan menolak rencana pengembangan PLTU tersebut karena dampak emisi PLTU yang sudah beroperasi saat ini sudah sangat berdampak pada pertanian dan nelayan setempat.
"Saat ini saja polusi asap PLTU itu sudah mengganggu kesehatan warga membuat batuk-batuk dan sering berobat ke rumah sakit," ujarnya.
Selain itu, dia menambahkan bahwa dampak PLTU itu sudah mempengaruhi hasil pertanian kepala. "Hasil kelapa menurun drastis dan malah banyak yang mati. Kami berharap rencana pengembangan PLTU itu segera dibatalkan," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018
"Bukan hanya pertanian lokal dan komunitas nelayan yang akan menderita jika rencana perluasan ini terus berlanjut. PLTU Celukan Bawang hanya berjarak 20 km dari Pantai Lovina, kawasan wisata populer yang terkenal karena pantai pasir hitam, terumbu karang, dan lumba-lumba," kata Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Didit Haryo, di Buleleng, Selasa.
Ia menjelaskan, khususnya lumba-lumba akan terpengaruh oleh peningkatan lalu lintas kapal pengangkut batubara dan kebisingan dari mesin kapal. Polusi meningkat akan mendorong wisatawan pergi, sehingga mempengaruhi mata pencaharian semua orang yang bekerja di sektor ini.
Menurut dia, emisi dari pembangkit listrik Celukan Bawang yang sudah beroperasi di Kabupaten Buleleng, telah mencemari kawasan tersebut dan menyebabkan masalah kesehatan bagi masyarakat setempat.
Selanjutnya, rencana memperluas pembangkit dan menambah kapasitasnya sebesar 2x330 MW justru akan memperburuk polusi yang dihasilkan dan menambah penderitaan masyarakat.
Selain itu, dampak emisi pembangunan PLTU itu akan menghilangkan mata pencaharian masyarakat setempat dan para petani serta nelayan pun terpaksa kehilangan mata pencaharian karena hasil tangkapan dan panen berkurang.
PLTU itu juga menimbulkan risiko bagi Taman Nasional Bali Barat, rumah bagi satwa langka dan dilindungi, termasuk macan tutul Jawa, trenggiling, dan jalak Bali yang semuanya sangat terancam. Tidak dapat dipungkiri bahwa emisi dari PLTU akan mencemari daerah yang indah ini.
"Pengembangan energi terbarukan perlu adalah masa depan kita. Bali hanya akan bertahan hidup dan berkembang sebagai tujuan wisata jika memiliki energi yang bersih dan berkelanjutan, bukan dengan emisi polusi dari pembangkit batubara seperti di Celukan Bawang," kata Didit.
Ketut Mangku Wijana, perwakilan warga Celukan Bawang juga menyatakan menolak rencana pengembangan PLTU tersebut karena dampak emisi PLTU yang sudah beroperasi saat ini sudah sangat berdampak pada pertanian dan nelayan setempat.
"Saat ini saja polusi asap PLTU itu sudah mengganggu kesehatan warga membuat batuk-batuk dan sering berobat ke rumah sakit," ujarnya.
Selain itu, dia menambahkan bahwa dampak PLTU itu sudah mempengaruhi hasil pertanian kepala. "Hasil kelapa menurun drastis dan malah banyak yang mati. Kami berharap rencana pengembangan PLTU itu segera dibatalkan," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018