Denpasar (Antaranews Bali) - Akademisi pengajar filsafat Hindu di Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar I Kadek Satria MPdH mengatakan "ogoh-ogoh" harus dibakar di kuburan setelah diarak pada saat Pengerupukan atau sehari sebelum Hari Suci Nyepi.

"Seringkali yang menjadi persoalan adalah ketika ogoh-ogoh dibuat dengan sangat baik, dengan bahan yang begitu besar, namun enggan dibakar. Ini adalah bentuk ketidaktulusan, padahal seharusnya "dipralina" atau dikembalikan pada asalnya dengan cara dibakar," kata Satria, di Denpasar, Rabu.

Akademisi di Fakultas Pendidikan Agama dan Seni Unhi Denpasar itu menambahkan, ogoh-ogoh merupakan bentuk ilustrasi dari bhuta kala atau sosok yang berbadan besar dan menyeramkan. Ogoh-ogoh, sekaligus menjadi kreativitas generasi muda untuk membentuk penyomian (mengubah unsur negatif menjadi positif) dalam bentuk nyata yang bisa dilihat.

"Kalau dilihat di dalam lontar, tidak ada satupun lontar yang menyatakan bahwa saat Pengerupukan itu harus menggunakan ogoh-ogoh sebagai sarana untuk Pengerupukan. Namun, ini menurut saya adalah bentuk kreativitas yang berdasar karena pada pagi atau siangnya itu, umat Hindu melakukan `penyomian` dengan menggelar ritual Tawur Kesanga," ucapnya.

Jadi, ujar Satria, ogoh-ogoh merupakan "nyomia" dalam bentuk "sekala" atau yang nyata dilihat oleh generasi muda karena sebagian besar pemahaman umat tidak bisa mencakup abstrak, sehingga untuk lebih mudahnya dibuat ogoh-ogoh.

"Karena ogoh-ogoh sebagai sarana ritual, maka ada proses ritual, yakni ada ritual pemlaspas, urip-urip, dan selanjutnya diarak mengelilingi desa, yang pada akhirnya ogoh-ogoh dibakar di kuburan," ucapnya.

Satria tidak memungkiri, ritual "pralina" memang dapat dilakukan tidak hanya dengan dibakar, namun juga bisa dengan menggunakan tirta atau air suci.
"Tetapi kalau ogoh-ogoh tersebut yang hanya diperciki tirta, terus diletakkan di balai banjar itu akan menimbulkan persoalan karena pada beberapa desa di Bali, pernah terjadi ogoh-ogoh hidup sendiri," kata Satria.

Oleh karena itu, lanjut dia, pembakaran harus dilakukan di kuburan sebagai bentuk pengembalian. "Saya kira ini perlu penertiban dari desa pakraman (desa adat) bahwa ogoh-ogoh itu sebagai bagian yadnya (pengorbanan) yang dilakukan generasi muda sebagai bentuk kreativitas dan harus dibakar," ucapnya.

Umat Hindu akan merayakan Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1940 pada 17 Maret mendatang. Nyepi tahun ini juga bertepatan dengan Hari Suci Saraswati yang diyakini merupakan Hari Turunnya Ilmu Pengetahuan. (WDY)

Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018