Oleh I Ketut Sutika

Denpasar (Antara Bali) -  Alunan suara genta, semerbak wangi bunga dan dupa, menebar di mana-mana. Gemerencing irama gamelan ditabuh, terasa menyatu dalam kalbu umat yang tafakur dalam prosesi ritual.

Kesenian topeng dari perkampungan seniman Ubud, Bali tampil melengkapi kegiatan ritual  "Ngayarin" di Pura Pura Agung Mandara Giri Semeru Agung, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, setelah puncak karya berkaitan  dengan "piodalan" atau semacam ritual tahunan yang puncaknya jatuh pada Purnama Sasih Kasa, 15 Juli 2011.

Kegiatan ritual yang dipimpin Ida Pedanda Gede Nganung dari Desa Duda, Kabupaten Karangasem dihadiri Gubernur Bali Made Mangku Pastika, tokoh spiritual Bali Ida Pedanda Gede Made Gunung dan pimpinan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) Provinsi Bali, dan ribuan umat lainnya dari Bali maupun dari sejumlah daerah di Jawa Timur.

Doa yang dipanjatkan umat dengan dentingan suara genda,  juga diantarkan oleh pemangku pura setempat Jero Mangku Marto. Hampir semua prosesi upacara nampak berjalan dengan sangat lancar Sabtu pagi (23/7) itu, bahkan terkadang nyaris sulit dibedakan, bahwa ritual yang sesungguhnya berlangsung di "tanah" Jawa itu, terasa bagai situasi umumya di pura-pura di Bali.

Desa berhawa sejuk di lambung sisi timur Gunung Semeru itu, dihadiri ratusan umat Hindu  yang masing-masing mengenakan busana khas didominasi warna putih.

Mereka datang dari sejumlah desa di Bali maupun daerah di Jawa timur  untuk melakukan doa dan persembahyangan bersama, memohon kehadapan Yang Maha Kuasa, agar senantiasa menebarkan benih-benih kesucian, kebenaran dan kemakmuran bagi segenap jiwa anak bangsa Indonesia.

Upacara ritual tersebut  merupakan ritus besar mencakup secara utuh siklus rotasi bentangan alam dari hulu, tengah hingga ke hilir. Dengan harapan, kekuatan negatif, gelap atau destruktif, dapat dikendalikan dan dinetralisir menjadi kekuatan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Kondisi demikian menjadikan  Kabupaten Lumajang semakin tenar sebagai kawasan suci bagi penganut Hindu di Indonesia, terutama dari Bali.

Di daerah itu kini menjulang megah dan kokoh berdiri sebuah pura di atas lahan seluas dua hektare yang tergolong paling besar di Tanah Jawa, setelah pembangunannya melalui perjuangan yang cukup panjang yang kini dapat diwujudkan menjadi kenyataan.

Tokoh spiritual Bali Ida Pedanda Gede Made Gunung mengingatkan, pentingnya melakukan doa dan permohonan keselamatan umat serta lingkungan kepada Tuhan Yang Maha Esa di pura terbesar di Tanah Jawa tersebut.

"Kegiatan itu untuk kepentingan kita semua. Hal ini mengingat umat Hindu di Bali awalnya berasal dari Jawa, namun perkembangan di Pulau Dewata kemudian lebih pesat dibandingkan dengan Pulau Jawa atau daerah lainnya di Indonesia," ucapnya.

Disebutkan bahwa Bali ibaratnya mikrokosmos dan Jawa Makrokosmos. Dalam rangkaian kegiatan ritual itu semua  telah dilaksanakan seperti adanya "sugihan Jawa" dan "sugiahan Bali". Kedua kegiatan ritual itu dilaksanakan saat menjelang Hari Raya Galungan.

Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengatakan, bahwa umat Hindu yang bermukim di berbagai daerah di Indonesia, khusus di sekitar Pura Agung Mandara Giri Semeru Agung, Kabupaten Lumajan bisa diterima masyarakat lingkungannya dengan baik.

Mereka hidup rukun berdampingan satu sama lain, sehingga keberadaannya bisa diterima umat lain dan kondisi itu diharapkan bisa lebih ditingkatkan di masa mendatang. Umat Hindu dalam menjalani kehidupan sehari-hari itu sangat fleksibel.

Dalam kehidupan bermasyarakat dengan umat lainnya sehari-hari, umat Hindu lebih mengedepankan rasa persaudaraan (menyama braya) dan saling menghormati satu sama lain. Berkat kebersamaan dengan masyarakat di sekitarnya, telah menbuat suasana di sekitar umat Hindu bermukim menjadi semakin akrab dan harmonis, tutur Gubernur Pastika.

    
Paduan Bali-Jawa

Pembangunan Pura Agung Mandara Giri Semeru Agung, Kabupaten Lumajang di atas hamparan seluas dua hektare melalui proses yang cukup panjang secara bertahap itu dengan memadukan unsur budaya Bali dan Jawa.

Pura tersebut dilengkapi dengan beberapa bangunan suci antara lain pintu masuk yang cukup megah, pendopo, balai petandingan. Sementara itu di areal utama 'Jeroan', juga dibangun Pengapit Lawang, Bale Ongkara, Bale Pesanekan, Bale Gajah, Bale Agung, Bale Paselang, Anglurah, Tajuk dan Padmanabha  sebagai bangunan suci utama.

Di bagian timur pura dibangun Pesraman Sulinggih, Bale Simpen untuk peralatan, dan dua Bale Pegibungan. Di bagian selatan dibangun pula wantilan megah yang cukup luas.

Pembangunan pura yang tergolong megah di  bagian "lambung" Gunung Semeru dilatari konsep yang terkait dengan sumber susastra agama, antara lain disuratkan, ketika tanah Jawa belum stabil, Batara Guru menitahkan para Dewa memenggal puncak Gunung Mahameru dari tanah Hindu ke Jawa.

Titah itu dilakoni para Dewa, puncak Gunung Mahameru dipenggal diterbangkan ke tanah Jawa, jatuh di sisi barat, Pulau Jawa berguncang, bagian timur berjungkat dan bagian barat tenggelam.

Potongan puncak Gunung Mahameru menurut mitologi digotong lagi ke arah timur. Sepanjang perjalanan dari barat ke timur tanah Jawa, bagian-bagian puncak Gunung Mahameru ada yang rempak, yang kelak tumbuh menjadi enam gunung kecil.

Keenam gunung kecil itu masing-masing Gunung Lawu, Wilis, Kampud, Kawi, Arjuna dan Gunung Kemukus. Puncak Gunung Mahameru itu kemudian menjadi Gunung Semeru, puncak tertinggi Pegunungan Tengger.

Sejak saat itu tanah Jawa menjadi stabil dan tidak lagi bergoyang. Di lambung Gunung Semeru itulah kini berdiri megah Pura Mandara Giri Semeru Agung yang mengadopsi budaya Bali-Jawa.

Kisah itu menurut Jero Mangku Marto tersurat dalam kitab "Tantupangelaran"  berbahasa Jawa digubah dalam bentuk  prosa.  Mitologi itu sekaligus menunjukan perssebaran Hindu paham "Siwaistis" dari tanah India ke negeri Nusantara yang berpusat di Tanah Jawa. Dalam pandangan Hindu "Siwaistis" berpengaruh besar di Nusantara, khususnya Pulau Nusa Dewata yang sekarang adalah Bali.

Dewa Siwa bersemayam di gunung tertinggi di puncak Gunung Mahameru (Himalaya) di alam India atau puncak Gunung Semeru di alam Nusantara. Dari puncak ketinggian gunung yang bersalju abadi itulah "Siwa' menurunkan ajaranNYA kepada Sakti-NYA Dewi Parwati dan Dewi Gunung.        

"Di sekitar gunung, baik di puncak, lereng dan  kaki beristana Tuhan dalam manifestasinya sebagai Siwa yang maha suci dan dipuja, karena dinilai secara spiritual  sebagai kawasan tersuci," tuturnya.(*)

Pewarta:

Editor : Masuki


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011