Denpasar, 11/12 (Antara) - Kantor berita negara itu tidak mungkin asal-asalan, sehingga kepercayaan pelanggan kepada (kantor berita) Antara masih tinggi.
Tapi, kata seorang pemimpin redaksi dari sebuah media cetak terkemuka di Bali itu, media online saat ini sudah sangat "straight", karena itu kantor berita harus lebih kolaboratif dengan "background".
Pandangan itu agaknya menyiratkan harapan dari "kepercayaan" seorang pemimpin redaksi yang berada diantara "zaman old" (masa lalu) dan "zaman now" (masa kini dan masa depan).
Ya, "zaman old" merupakan cikal bakal dari munculnya "kepercayaan" mereka kepada Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara yang dirintis Adam Malik dkk pada 13 Desember 1937.
Sejak 80 tahun silam (1937-2017), Antara tetap konsisten memihak kepentingan bangsa dan negara. Antara lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap agitasi kantor berita Belanda, Aneta.
Hingga akhirnya perjuangan pun berujung pada kemerdekaan dan saat itulah Antara berperan strategis melalui penyebarluasan berita proklamasi kemerdekaan ke seantero negeri dan bahkan ke luar negeri.
Bahkan, bendera Merah Putih yang berkibar untuk pertama kalinya di Provinsi Bali juga di kawasan Banjar Titih, Denpasar (d/h Restoran Betty, Jalan Sumatera, Bali) yang dipilih wartawan Antara, Herman, untuk pengibaran bendera itu pada 18 Agustus 1945.
Hal itu didukung bukti sejarah dalam buku "Kiprah Kerobokan dan Peranan Markas `K` Dalam Sejarah Pergerakan Perintis Kemerdekaan dan Revolusi Fisik 1945" yang ditulis I Gusti Ketut Wibisana Aryadharma.
Salah satu bagian dari bukti sejarah itu menyebutkan bahwa "Berita Proklamasi Kemerdekaan RI sampai ke Provinsi Bali karena dibawa oleh seorang wartawan ANTARA bernama Herman" hingga Merah Putih berkibar di kantor "perwakilan" Antara Bali itu.
Dokumen yang tak jauh berbeda juga terjadi di Surabaya yang menunjukkan adanya markonis kantor berita Antara bernama Jacub yang menyebarluaskan berita proklamasi kemerdekaan secara sembunyi-sembunyi, karena penjajah Jepang masih berkeliaran di Kota Pahlawan.
Secara nasional, Antara juga berperan menyebarluaskan berita proklamasi kemerdekaan itu hingga ke luar negeri, sehingga ada dua negara, termasuk Mesir, yang mendorong Majelis PBB untuk mengakui kemerdekaan Indonesia.
Walhasil, LKBN Antara sempat menjadi pers perjuangan untuk "alat" mencapai kemerdekaan dan juga penyebar Proklamasi Kemerdekaan, sehingga Antara sesungguhnya memiliki "DNA pejuang" pada "zaman old" itu.
Pasca-kemerdekaan, Antara juga tetap konsisten memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara dalam era orde pembangunan hingga era reformasi dan demokrasi melalui pengembangan Jurnalisme Indonesia atau jurnalisme positif.
Terkait pengembangan Jurnalisme Indonesia atau jurnalisme positif itu, Antara menjalankan peran dengan merujuk empat fungsi pers yakni mendidik, mencerahkan, memberdayakan, dan memperkuat Republik.
Jurnalisme positif bukan hanya memberitakan fakta yang baik-baik, namun juga tetap memberitakan fakta buruk yang dikemas untuk berdampak baik, kritis tapi bebas dan bertanggung jawab.
Dalam konteks ini, Antara sebagai kantor berita berusaha menyajikan informasi dari dua pihak bila terjadi konflik atau polemik atau senantiasa menjaga keberimbangan informasi sesuai empat fungsi pers (mendidik, mencerahkan, memberdayakan, memperkuat republik).
Ciri lain dari Jurnalisme Indonesia yang dikembangkan Antara adalah Antara juga menyampaikan kritik, namun kritik dari Antara tidak bersifat "menyerang" personal/individual, melainkan kritik pada kebijakan/keputusan individu atau lembaga yang merugikan masyarakat.
Artinya, Jurnalisme Indonesia yang dikembangkan Antara itu memosisikan Antara sebagai "pejuang kepentingan bangsa dan negara" dari zaman ke zaman.
Kegaduhan, BUMN, IMCS
Aktivitas Antara sebagai kantor berita yang menjaga semangat perjuangan untuk kemerdekaan melalui berita dan foto hingga akhirnya mengembangkan dunia pers yang memihak publik melalui Jurnalisme Indonesia itulah yang dalam proses panjang menumbuhkan "kepercayaan" itu.
Namun, proses panjang itu tidak berhenti atau bahkan diam, melainkan bergerak terus hingga republik ini memasuki era reformasi yang ditandai dengan demokrasi dan kini pun beranjak ke dalam era digitalisasi yang ditandai dengan percepatan informasi atau percepatan teknologi.
Era reformasi dengan demokrasi-nya dan era digitalisasi dengan teknologi-nya itu memiliki fenomena yang hampir sama yakni kegaduhan akibat ketidaksiapan mayoritas masyarakat Indonesia dengan demokrasi dan percepatan teknologi itu, tapi mau atau tidak ya harus mau.
Pakar komunikasi dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Henry Subiakto menyebut "kegaduhan" ala media sosial (medsos) itu terjadi akibat mayoritas publik adalah "immigrant digital" (pendatang baru di dunia digital) yang tidak paham seluk-beluk dunia digital.
Dampaknya, mayoritas "immigrant digital" itu menjadi "mainan" minoritas di "zaman now" untuk kepentingan tertentu (politik, ekonomi/bisnis, budaya, dan sebagainya) melalui fenomena "viral", padahal dunia digital itu bisa saja "mainan" cropping, scanning, dubbing, atau asal comot sana-sini tulisan/foto/video, asalkan viral.
Contohnya, saat peningkatan aktivitas vulkanis Gunung Agung di Karangasem, Bali, dari status Waspada menjadi Siaga (19/9/2017), lalu pada saat yang bersamaan terjadi kebakaran lahan pada lereng gunung tertinggi di Pulau Dewata itu, sehingga foto kebakaran itu pada malam hari akan terlihat seperti lava pijar.
Nah, foto "lava pijar" (palsu) itu pun di-share ke medsos seolah-olah Gunung Agung meletus! Padahal, cuma "letusan" medsos... Mungkin hanya warga Bali yang tahu apa yang terjadi sebenarnya, tapi warga Jakarta atau Aceh bisa sangat tertipu. Padahal, foto itu bukan rekayasa, tapi momentumnya saja yang di-pelintir.
Gawatnya lagi, justru ada pula video tentang gunung lain tapi diberi judul "Gunung Agung Meletus", sehingga foto itu viral, padahal pengirimnya cuma pengguna teknologi yang sok tahu paling awal!. Nah, kita semua tahu dampak yang sekarang dialami Bali yakni pariwisata pun kelimpungan. Fatal kan?! Sadis kan?!.
Nah, fenomena "kegaduhan" ala era reformasi dan era digital itulah yang kini harus dihadapi kantor berita, termasuk Antara. Apalagi, medsos juga telah "menggulung" media konvensional dengan "ideologi" viral itu. Bagaimana Antara menyikapinya ?!.
Sejak era kepemimpinan Dr Ahmad Muchlis Yusuf sebagai Dirut Perum LKBN Antara 2007-2012, kantor berita yang kini memiliki kantor perwakilan dan jaringan portal pada 34 provinsi dan biro luar negeri (London, Beijing, Kualalumpur) itu memasuki era baru sebagai BUMN.
Pada era dirut yang akrab disapa Pak Emye itu, pemikiran untuk menyikapi era digital melalui konvergensi media sudah tergagas, namun Pak Emye mengalami kendala teknologi dan ia juga fokus pada pengakuan standar sertifikasi internasional yakni ISO yang cukup menyita waktu.
Akhirnya, kepemimpinan digantikan oleh Saiful Hadi (2012-2016) sebagai dirut yang sudah malang-melintang menjadi wartawan dan menduduki jabatan struktural LKBN Antara di dalam dan luar negeri, namun ia memilih fokus pada ikhtiar finansial yang lebih mendesak yakni PSO.
Nah, dalam kondisi finansial agak tertata dan standar ISO sudah diraih itulah, kepemimpinan LKBN Antara beralih kepada Meidyatama Suryodiningrat sebagai dirut sejak awal 2016, sehingga wartawan senior yang akrab disapa Pak Dimas itu pun mampu melanjutkan gagasan konvergensi media.
Namun, ia tidak sekadar melakukan konvergensi media (teks/features, foto, video, grafis), melainkan ia pun menempatkan Antara pada "zaman now" dengan melontarkan gagasan "integrated media communication service" (IMCS) atau memadukan potensi "old" dan "now" melalui optimalisasi dan modernisasi secara terukur.
Potensi "old" yang terus dikembangkan dalam IMCS adalah "content" (berita) yang dimiliki Antara hingga 2017 yakni jaringan media massa (130 pelanggan VSAT), jaringan media online (40 pelanggan VSAT), media produk berupa Koran "Indonesia Kini" (KIK) dengan mengedarkan 175.000 eksemplar koran se-Indonesia melalui pengembangan kerja sama dengan Kominfo (PSO), dan memajukan lembaga pendidikan jurnalistik.
Selain itu, potensi yang juga dikembangkan adalah "data". Potensi "data" yang sudah ada adalah PR Wire (jaringan rilis dan advetorial internasional) dan grafis (iklan banner dan grafis), lalu dikembangkan melalui sinergi dengan lembaga riset menjadi "Antara Insight" (analisis berita yang dipromosikan) dan "Jaringan Antara Cegah Hoax".
Berikutnya, potensi "digital" juga dioptimalkan melalui jalur distribusi digital/maya melalui media sosial (medsos), seperti FaceBook, twitter, WhatsApp, dan instagram hingga jutaan "follower" (2017). Selain medsos, potensi "digital" lain yang juga dipacu adalah konvergensi portal, melalui "wajah baru" yang lebih menonjolkan visualisasi dan sinergi/migrasi portal biro-pusat hingga ratusan ribu "viewer" (2017).
"Jadi, `core business` dalam content dan data tetap menjadi `brand` Antara sebagai kantor berita, namun kalau hanya itu yang kita tawarkan kepada publik era sekarang ya akan tergilas zaman, maka kita bisa mengambil pelajaran dari National Geographic, Twenty One, dan Gojek dalam mengembangkan diri, karena itu IMCS bisa menjadi jawaban untuk 80 tahun Antara (13 Desember 1937-2017)," kata Pak Dimas dalam Rakernas LKBN Antara di Jakarta pada 3-7 Oktober 2017.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
Tapi, kata seorang pemimpin redaksi dari sebuah media cetak terkemuka di Bali itu, media online saat ini sudah sangat "straight", karena itu kantor berita harus lebih kolaboratif dengan "background".
Pandangan itu agaknya menyiratkan harapan dari "kepercayaan" seorang pemimpin redaksi yang berada diantara "zaman old" (masa lalu) dan "zaman now" (masa kini dan masa depan).
Ya, "zaman old" merupakan cikal bakal dari munculnya "kepercayaan" mereka kepada Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara yang dirintis Adam Malik dkk pada 13 Desember 1937.
Sejak 80 tahun silam (1937-2017), Antara tetap konsisten memihak kepentingan bangsa dan negara. Antara lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap agitasi kantor berita Belanda, Aneta.
Hingga akhirnya perjuangan pun berujung pada kemerdekaan dan saat itulah Antara berperan strategis melalui penyebarluasan berita proklamasi kemerdekaan ke seantero negeri dan bahkan ke luar negeri.
Bahkan, bendera Merah Putih yang berkibar untuk pertama kalinya di Provinsi Bali juga di kawasan Banjar Titih, Denpasar (d/h Restoran Betty, Jalan Sumatera, Bali) yang dipilih wartawan Antara, Herman, untuk pengibaran bendera itu pada 18 Agustus 1945.
Hal itu didukung bukti sejarah dalam buku "Kiprah Kerobokan dan Peranan Markas `K` Dalam Sejarah Pergerakan Perintis Kemerdekaan dan Revolusi Fisik 1945" yang ditulis I Gusti Ketut Wibisana Aryadharma.
Salah satu bagian dari bukti sejarah itu menyebutkan bahwa "Berita Proklamasi Kemerdekaan RI sampai ke Provinsi Bali karena dibawa oleh seorang wartawan ANTARA bernama Herman" hingga Merah Putih berkibar di kantor "perwakilan" Antara Bali itu.
Dokumen yang tak jauh berbeda juga terjadi di Surabaya yang menunjukkan adanya markonis kantor berita Antara bernama Jacub yang menyebarluaskan berita proklamasi kemerdekaan secara sembunyi-sembunyi, karena penjajah Jepang masih berkeliaran di Kota Pahlawan.
Secara nasional, Antara juga berperan menyebarluaskan berita proklamasi kemerdekaan itu hingga ke luar negeri, sehingga ada dua negara, termasuk Mesir, yang mendorong Majelis PBB untuk mengakui kemerdekaan Indonesia.
Walhasil, LKBN Antara sempat menjadi pers perjuangan untuk "alat" mencapai kemerdekaan dan juga penyebar Proklamasi Kemerdekaan, sehingga Antara sesungguhnya memiliki "DNA pejuang" pada "zaman old" itu.
Pasca-kemerdekaan, Antara juga tetap konsisten memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara dalam era orde pembangunan hingga era reformasi dan demokrasi melalui pengembangan Jurnalisme Indonesia atau jurnalisme positif.
Terkait pengembangan Jurnalisme Indonesia atau jurnalisme positif itu, Antara menjalankan peran dengan merujuk empat fungsi pers yakni mendidik, mencerahkan, memberdayakan, dan memperkuat Republik.
Jurnalisme positif bukan hanya memberitakan fakta yang baik-baik, namun juga tetap memberitakan fakta buruk yang dikemas untuk berdampak baik, kritis tapi bebas dan bertanggung jawab.
Dalam konteks ini, Antara sebagai kantor berita berusaha menyajikan informasi dari dua pihak bila terjadi konflik atau polemik atau senantiasa menjaga keberimbangan informasi sesuai empat fungsi pers (mendidik, mencerahkan, memberdayakan, memperkuat republik).
Ciri lain dari Jurnalisme Indonesia yang dikembangkan Antara adalah Antara juga menyampaikan kritik, namun kritik dari Antara tidak bersifat "menyerang" personal/individual, melainkan kritik pada kebijakan/keputusan individu atau lembaga yang merugikan masyarakat.
Artinya, Jurnalisme Indonesia yang dikembangkan Antara itu memosisikan Antara sebagai "pejuang kepentingan bangsa dan negara" dari zaman ke zaman.
Kegaduhan, BUMN, IMCS
Aktivitas Antara sebagai kantor berita yang menjaga semangat perjuangan untuk kemerdekaan melalui berita dan foto hingga akhirnya mengembangkan dunia pers yang memihak publik melalui Jurnalisme Indonesia itulah yang dalam proses panjang menumbuhkan "kepercayaan" itu.
Namun, proses panjang itu tidak berhenti atau bahkan diam, melainkan bergerak terus hingga republik ini memasuki era reformasi yang ditandai dengan demokrasi dan kini pun beranjak ke dalam era digitalisasi yang ditandai dengan percepatan informasi atau percepatan teknologi.
Era reformasi dengan demokrasi-nya dan era digitalisasi dengan teknologi-nya itu memiliki fenomena yang hampir sama yakni kegaduhan akibat ketidaksiapan mayoritas masyarakat Indonesia dengan demokrasi dan percepatan teknologi itu, tapi mau atau tidak ya harus mau.
Pakar komunikasi dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Henry Subiakto menyebut "kegaduhan" ala media sosial (medsos) itu terjadi akibat mayoritas publik adalah "immigrant digital" (pendatang baru di dunia digital) yang tidak paham seluk-beluk dunia digital.
Dampaknya, mayoritas "immigrant digital" itu menjadi "mainan" minoritas di "zaman now" untuk kepentingan tertentu (politik, ekonomi/bisnis, budaya, dan sebagainya) melalui fenomena "viral", padahal dunia digital itu bisa saja "mainan" cropping, scanning, dubbing, atau asal comot sana-sini tulisan/foto/video, asalkan viral.
Contohnya, saat peningkatan aktivitas vulkanis Gunung Agung di Karangasem, Bali, dari status Waspada menjadi Siaga (19/9/2017), lalu pada saat yang bersamaan terjadi kebakaran lahan pada lereng gunung tertinggi di Pulau Dewata itu, sehingga foto kebakaran itu pada malam hari akan terlihat seperti lava pijar.
Nah, foto "lava pijar" (palsu) itu pun di-share ke medsos seolah-olah Gunung Agung meletus! Padahal, cuma "letusan" medsos... Mungkin hanya warga Bali yang tahu apa yang terjadi sebenarnya, tapi warga Jakarta atau Aceh bisa sangat tertipu. Padahal, foto itu bukan rekayasa, tapi momentumnya saja yang di-pelintir.
Gawatnya lagi, justru ada pula video tentang gunung lain tapi diberi judul "Gunung Agung Meletus", sehingga foto itu viral, padahal pengirimnya cuma pengguna teknologi yang sok tahu paling awal!. Nah, kita semua tahu dampak yang sekarang dialami Bali yakni pariwisata pun kelimpungan. Fatal kan?! Sadis kan?!.
Nah, fenomena "kegaduhan" ala era reformasi dan era digital itulah yang kini harus dihadapi kantor berita, termasuk Antara. Apalagi, medsos juga telah "menggulung" media konvensional dengan "ideologi" viral itu. Bagaimana Antara menyikapinya ?!.
Sejak era kepemimpinan Dr Ahmad Muchlis Yusuf sebagai Dirut Perum LKBN Antara 2007-2012, kantor berita yang kini memiliki kantor perwakilan dan jaringan portal pada 34 provinsi dan biro luar negeri (London, Beijing, Kualalumpur) itu memasuki era baru sebagai BUMN.
Pada era dirut yang akrab disapa Pak Emye itu, pemikiran untuk menyikapi era digital melalui konvergensi media sudah tergagas, namun Pak Emye mengalami kendala teknologi dan ia juga fokus pada pengakuan standar sertifikasi internasional yakni ISO yang cukup menyita waktu.
Akhirnya, kepemimpinan digantikan oleh Saiful Hadi (2012-2016) sebagai dirut yang sudah malang-melintang menjadi wartawan dan menduduki jabatan struktural LKBN Antara di dalam dan luar negeri, namun ia memilih fokus pada ikhtiar finansial yang lebih mendesak yakni PSO.
Nah, dalam kondisi finansial agak tertata dan standar ISO sudah diraih itulah, kepemimpinan LKBN Antara beralih kepada Meidyatama Suryodiningrat sebagai dirut sejak awal 2016, sehingga wartawan senior yang akrab disapa Pak Dimas itu pun mampu melanjutkan gagasan konvergensi media.
Namun, ia tidak sekadar melakukan konvergensi media (teks/features, foto, video, grafis), melainkan ia pun menempatkan Antara pada "zaman now" dengan melontarkan gagasan "integrated media communication service" (IMCS) atau memadukan potensi "old" dan "now" melalui optimalisasi dan modernisasi secara terukur.
Potensi "old" yang terus dikembangkan dalam IMCS adalah "content" (berita) yang dimiliki Antara hingga 2017 yakni jaringan media massa (130 pelanggan VSAT), jaringan media online (40 pelanggan VSAT), media produk berupa Koran "Indonesia Kini" (KIK) dengan mengedarkan 175.000 eksemplar koran se-Indonesia melalui pengembangan kerja sama dengan Kominfo (PSO), dan memajukan lembaga pendidikan jurnalistik.
Selain itu, potensi yang juga dikembangkan adalah "data". Potensi "data" yang sudah ada adalah PR Wire (jaringan rilis dan advetorial internasional) dan grafis (iklan banner dan grafis), lalu dikembangkan melalui sinergi dengan lembaga riset menjadi "Antara Insight" (analisis berita yang dipromosikan) dan "Jaringan Antara Cegah Hoax".
Berikutnya, potensi "digital" juga dioptimalkan melalui jalur distribusi digital/maya melalui media sosial (medsos), seperti FaceBook, twitter, WhatsApp, dan instagram hingga jutaan "follower" (2017). Selain medsos, potensi "digital" lain yang juga dipacu adalah konvergensi portal, melalui "wajah baru" yang lebih menonjolkan visualisasi dan sinergi/migrasi portal biro-pusat hingga ratusan ribu "viewer" (2017).
"Jadi, `core business` dalam content dan data tetap menjadi `brand` Antara sebagai kantor berita, namun kalau hanya itu yang kita tawarkan kepada publik era sekarang ya akan tergilas zaman, maka kita bisa mengambil pelajaran dari National Geographic, Twenty One, dan Gojek dalam mengembangkan diri, karena itu IMCS bisa menjadi jawaban untuk 80 tahun Antara (13 Desember 1937-2017)," kata Pak Dimas dalam Rakernas LKBN Antara di Jakarta pada 3-7 Oktober 2017.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017