Oleh I Ketut Sutika

Hampir mirip seperti pementasan kesenian, halaman pura Hyang Api di Desa Pekraman Klusa Kecamatan
Payangan, Kabupaten Gianyar, Bali dipadati masyarakat untuk mengadu ayam jago kesayangannya.

Mereka melakukan itu bertepatan dengan Hari Kuningan, rangkaian hari Suci Galungan yang bermakna untuk memperingati Dharma (kebaikan) melawan Adharma (keburukan).

Tajen massal atau  nama lain dari kegiatan sabung ayam awalnya tanpa disertai dengan taruhan uang itu pada era tahun 1970-an, masing-masing warga membawa seekor ayam yang ditangkap di pekarangannya untuk diadu di halaman pura dengan ayam yang dibawa oleh warga lainnya.

Begitu atraksi sabungan ayam selesai, setelah ditentukan ada yang kalah dan menang, warga kemudian sembahyang dan kembali ke rumahnya masing-masing.

Sebagian besar warga  Desa Pekraman Klusa maupun desa sekitarnya melakoni hal itu dengan penuh kepercayaan.

"Namun dalam beberapa tahun belakangan ini ayam yang diadu pada tajen massal yang berlangsung sehari penuh itu betul-betul ayam jago yang dipelihara secara khusus untuk kepentingan adu ayam," kata I Wayan Yoga Sudirga, salah seorang warga setempat di tengah kerumunan adu ayam secara massal.

Pada tejan massal yang berlangsung sejak pagi hingga petang hari itu ada ratusan bahkan ribuan pasang ayam diadu warga setempat, pelakunya tidak hanya warga dari Desa Adat Klusa.

Namun juga ada datang dari desa sekitarnya yang pernah berkaul (berjanji) terhadap ternak piaraannya yang sakit akhirnya bisa sembuh.

Adu ayam yang masing-masing lengkap dengan taji di bagian kaki itu terjadi dalam waktu bersamaan di areal halaman pura Hayang Api, atau di mana saja tempat yang kosong di sekitar tempat suci, tidak lagi tergantung pada aturan yang berlaku seperti umumnya tajen yang digelar di tempat lainnya di Bali.

Tajen massal yang dilaksanakan setiap hari suci Kuningan atau setiap 210 hari sekali  merupakan  tradisiyang diwarisi secara turun temurun  untuk membayar kaul (janji) kepada Bhatara dan Dewa yang beristana di Pura Hyang Api.

"Jika tidak melaksanakan tajen massal itu, maka hewan peliharaan warga berupa sapi, ayam, babi dan jenis piharaan lainnya dikhawatirkan bakal terkena wabah penyakit hingga mati secara massal," jelasnya.

Oleh sebab itu tajen massal tetap dipercaya dan diyakni masyarakat  untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar hewan peliharaan warga selamat, terhindar dari serangan penyakit.

I Wayan Kertiyasa, salah seorang warga yang ikut sebagai pelaku dalam mengadu ayam secara massal itu mengaku sangat yakin dan percaya lewat tradisi tajen mampu mendapatkan keselamatan untuk diri dan keluarganya. Untuk itu seusai tajen langsung sembahyang dan diperciki air suci (tirta) oleh pemangku pura tersebut.

    
42 hari
Wayan Suda menjelaskan, tajen secara massal itu berlangsung satu bulan tujuh hari atau totalnya selama 42 hari, karena cukup lamanya tenggang waktu tersebut, warga biasanya melakukan hal itu selama tujuh hari berturut-turut mulai hari suci Kuningan 16 Juli hingga 22 Juli 2011.

Setelah tanggal 22 Juli 2011, kegiatan serupa kembali digelar setiap keliwon atau lima hari sekali hingga akhirnya mencapai 42 hari. Tajen massal itu umumnya tanpa taruhan, namun belakangan tidak tertutup kemungkinan hal itu bisa terjadi.

Hal itu atas kenyataan beberapa "bebotoh (penjudi), baik dari warga setempat maupun luar desa Klusa sudah mempersiapkan pelaksaan tajen massal itu secara matang, termasuk taji atau pisau kecil yang diikat dibagian kaki ayam jago.

Tradisi ritual itu selama ini bebas dari incaran polisi, karena masih erat hubungan dengan tradisi dan kepercayaan, tutur pemuka masyarakat itu.

Bagi para penggemar tajen terutama "bebotoh", tajen tidak saja sebagai kegiatan yang menarik karena di situ terdapat dua ekor ayam jantan yang sedang diadu, tetapi juga karena pada saat yang bersamaan mereka menang taruhan dari ayam yang diadu.

Di kalangan masyarakat Bali, tajen sudah dikenal sejak ratusan tahun silam dan berkembang dari zaman ke jaman.

Sehingga tidak berlebihan bila dikatakan Tajen bagi masyarakat Pulau Dewata sudah mendarah daging.

Karenanya, sebagian masyarakat Bali menginginkan kegiatan tersebut dilestarikan. Namun, tidak sedikit pula yang meminta Tajen supaya dihapus atau dihentikan.

Mereka yang menginginkan kegiatan tersebut dipertahankan dan dilestarikan beralasan karena tajen terkait erat dengan adat dan budaya, disamping merupakan permainan yang digemari masyarakat. Sementara mereka yang tidak setuju, menganggap tajen adalah kegiatan yang berbau judi.

Namun terlepas dari adanya silang pendapat tentang tajen, secara realitas kegiatan tersebut hingga sekarang ini masih berlangsung baik di kota maupun di pelosok pedesaan, namun pelaksanaan selalu dikaitkan dengan kegiatan adat dan ritual, atau kadangkala tersembunyi di tegalan atau tempat terpencil.

Menurut pakar Hukum adat Universitas Udayana, Prof  I Nyoman Sirtha SH,  pelaksanaan tajen dapat dibedakan menjadi tiga jenis.

Pertama, tajen sebagai "tabuh hah" yang biasanya dilaksanakan setelah upacara ritual di Pura, tempat suci umat Hindu, tanpa izin dari kepolisian dan jumlah ayam yang diadu dibatasi hanya tiga pasang (telung seet).

Kedua, Tajen yang mendapat izin dari pemerintah yang dikenal dengan "tajen terang" yang pelaksanaannya dilakukan oleh Desa Adat dengan tujuan sebagai sarana penggalian dana pembangunan.

Ketiga, tajen tanpa izin kepolisian yang dilakukan secara tersembunyi oleh para penggemarnya, yang dikenal dengan istilah 'tajen branangan'.  

Implikasi tajen terhadap budaya dan adat di Bali, jika dilaksanakan sesuai dengan yang disadari oleh warga masyarakat akan berpengaruh positif, karena tajen dapat menyeimbangkan kepentingan duniawi dengan spiritual.

Artinya, selain dapat menjadi hiburan, tajen juga dapat menjadi sarana penggalian dana.

Sebaliknya, jika masyarakat menyimpang dari dari nilai-nilai yang terkandung dalam budaya dan adat, maka tajen berfungsi sebagai judian yang bisa menyengsarakan masyarakat.

Seorang antropolog asal Belanda, Clifford Geertz pernah melakukan penelitian tentang tajen di Bali tahun 1958 mengungpakan tajen merupakan kegiatan cara hidup orang Bali, sehingga bagaimana pun aktivitas tersebut akan terus berlangsung dengan frekuensi yang terus meningkat.

Larangan terhadap kegiatan tajen sebenarnya sudah dilakukan pada zaman Belanda, tetapi masyarakat Bali yang suka "metajen" tetap saja melakukannya. Tajen biasanya dilakukan di tempat yang dirahasiakan guna menghindari penggerebekkan aparat keamanan.

Apa yang diungkapkan antropolog Negeri Kincir Angin itu,  tampaknya tidak jauh berbeda dengan situasi  dan kondisi yang terjadi selama ini, bahwa tajen yang diselenggarakan masyarakat masih main kucing-kucingan dengan aparat kepolisian.(*)

Pewarta:

Editor : Masuki


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011