"Saya mau kembali ke Kampung Long Sa'an, asalkan aksesnya sudah bagus. Saya ingin berladang dan menjaga kuburan di sana," ujar Philius dengan mata berkaca-mata.

Long Sa'an adalah perkampungan Suku Dayak yang terletak di tengah hutan belantara dan di atas ketinggian pegunungan. Perkampungan ini berada di Kalimantan Utara, yang dahulu kala dihuni penduduk dengan segala keterbatasan yang melingkupi.

Tidak ada akses jalan, listrik, pendidikan, atau bahkan garam untuk dipakai memasak. Hutan belantara dengan kepungan pepohonan, mengisolasi perkampungan itu dari dunia luar. Segalanya sepi, hening, dan sekaligus hambar. Hambar tanpa rasa, karena garam begitu sulitnya didapatkan.

Perjuangan untuk mendapatkan garam ke kota, berarti harus siap mempertaruhkan nyawa. Penduduk mesti melintasi sungai yang penuh riam terjal, sarat risiko perahu terbalik sehingga membahayakan jiwa. Perjalanan menerobos hutan dan bertarung nyawa di sungai, memakan waktu sekitar 720 jam. Atau 30 hari. Sebuah perjalanan yang meletihkan, untuk sekadar mencari garam.

Kerasnya kehidupan di Long Sa'an ini, membuat penduduk berbondong-bondong berpindah ke desa lain pada tahun 1968. Perjalanan panjang pun dimulai.

Ribuan warga secara bertahap bermigrasi ke Desa Setulang melintasi hutan dan gunung. Ancaman binatang buas dan penyakit yang mendera, menjadi momok yang menghantui. Tapi penduduk sudah bertekad untuk bergerak maju menuju kehidupan baru.

Dua bulan kemudian, mereka tiba di Desa Setulang. Meski terdera rasa lapar dan letih, namun pengharapan akan kehidupan baru meluruhkan semuanya.

Sejak itulah, Kampung Long Sa'an seperti hanya tertinggal dalam kenangan. Dalam bayang-bayang samar ingatan sebagian penduduknya, yang sesekali dijangkiti kerinduan pada kampung kelahiran.





Long Sa'an: The Journey Back

Semua kerinduan dengan kampung di tengah belantara ini dapat terobati dengan kehadiran film 'Long Sa'an: The Journey Back' yang disutradarai Erick EST.

Film berdurasi sekitar 60 menit ini mengajak untuk bernostalgia kembali pada kampung yang telah ditinggalkan lebih dari 40 tahun silam.

"Tokoh utama film ini adalah Philius. Seorang tokoh yang memendam kerinduan pada tanah kelahirannya Long Sa'an," ujar sutradara muda Erick EST dalam Dialog Kebangsaan bertema 'Kemerdekaan di Mata Generasi Muda', di Kubu Kopi, Denpasar (16/8).

Ya, Philius rindu bermain, berburu dan mandi di kali bersama kawan-kawan masa kecilnya, yakni Djulung, Asang dan Ekent.

Namun apa daya, kondisi topografi daerah yang terpencil, terisolasi dan terkepung hutan rimba, membuat keinginan untuk hidup kembali di Long Sa'an belum terkabulkan.

Jika penduduk belahan lain di Indonesia sudah tersentuh akses jalan raya, transportasi memadai, listrik dan pendidikan, maka keadaan di Long Sa'an masih sama seperti dulu kala. Masih sama, seperti ketika ditinggalkan pada tahun 1968.

"Padahal kemerdekaan Indonesia sudah berlangsung selama 72 tahun. Namun kemerdekaan itu belum sampai di Long Sa'an," ujar pria asal Medan itu.

Oleh karenanya, ia sengaja menawarkan penayangan film itu pada perayaan HUT RI ke-72, untuk memperlihatkan masih ada wilayah di Indonesia yang belum merdeka.


Memaknai Kemerdekaan

Selain pemutaran film, kegiatan Dialog Kebangsaan ini dihadiri sejumlah tokoh dan siswa, yang antusias menyuarakan opini mengenai makna kemerdekaan.

Penasihat hukum senior sekaligus penasihat Gerakan Anti-Radikalisme I Nyoman Gde Sudiantara menyatakan bahwa membicarakan kemerdekaan tidak bisa lepas dari acuan UUD 1945.

"Jika ingin merdeka secara hakikat, maka taati aturan hukum yang berlaku," ujar Sudiantara.

Apabila membicarakan masalah hukum, maka siapapun tidak pernah melepaskan ingatan dengan kata-kata salah seorang dosen pengajar di Universitas Udayana (Unud) Prof DR Suryano Sukanto.

Dosen terbang di Unud itu pernah mengatakan semakin tinggi stratifikasi sosial seseorang, maka semakin sedikit hukum yang mengaturnya. Stratifikasi ini meliputi: orang yang memiliki kekuasaan, status sosial ekonominya tinggi, serta dari sisi keilmuan terbilang menonjol.

"Hukum disebutkan sebagai panglima tertinggi, namun masih banyak dijumpai kasus bahwa kekuasaan itu bisa mengintervensi hukum. Makanya ini masih menjadi pertanyaan pada era kemerdekaan ke-72 ini," kata dia.

Pada tempat yang sama, ketika tampil di hadapan audiens, Rovin Bou perwakilan dari Perhimpunan Mahasiswa Katolik RI (PMKRI) langsung menyitir kata-kata Soekarno: 'Berikan aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.'

"Sekarang kita memang sudah lepas dari penjajahan Belanda. Tapi jangan lupa, masih ada yang menjajah bangsa. Korupsi itu sama dengan penjajah, penghambat kemerdekaan, meski tanpa wajah," kata Rovin, berapi-api.

Menurut dia, penghambat kemerdekaan yang lain adalah kasus in-toleransi yang membuat bangsa Indonesia hanya secara formal merdeka pada 17 Agustus 1945. Namun kenyataannya, masih ada berbagai bentuk penjajahan kecil di masyarakat.

"Saya berharap agar masyarakat tidak diam jika masih mengalami penjajahan, agar merasakan kemerdekaan yang sebenarnya. Saya setuju dengan kata-kata Presiden Jokowi baru-baru ini yang mengucapkan: suarakanlah kebenaran ketika kalian merasakan ketidakadilan. Semoga kebenaran ini akan membawa pada kemerdekaan yang sesungguhnya," ujarnya pada acara Dialog Kebangsaan ini.

Kegiatan Dialog Kebangsaan ini dimeriahkan dengan lagu-lagu Band Navicula yang menjadi soundtrack film 'Long Sa'an: The Journey Back'. Selain itu, tampilan Duo Aya dan Laras, menghadirkan suasana syahdu lewat tembang grup band Coklat bertajuk Bendera.

Syair lagu: "Merah putih teruslah kau berkibar - Di ujung tiang tertinggi di Indonesiaku ini - Merah putih teruslah kau berkibar - Di ujung tiang tertinggi di Indonesiaku ini - Merah putih teruslah kau berkibar - Ku kan selalu menjagamu ..." pun membahana pada satu senja, mengiringi detak waktu menuju 17 Agustus 2017. (*)

--------------
*) Penulis adalah penulis artikel lepas yang tinggal di Bali.

Pewarta: Tri Vivi Suryani *)

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017