Denpasar (Antara Bali) - Mahasiswa Universitas Udayana yang sedang mengikuti kuliah kerja nyata (KKN) menyelenggarakan sosialisasi bertema "Hukum Adat tentang Ayahan Karang Desa" di Desa Nongan, Kabupaten Karangasem, Bali.

Putu Andre Japani Satrya Saputra selaku ketua panitia kegiatan sosialisasi tersebut kepada Antara di Denpasar, Rabu, mengatakan bahwa acara itu bertujuan memberi pemahaman kepada warga masyarakat. Hal ini mengingat tanah "ayahan" milik desa pakraman (adat) dipandang penting dalam hak kepemilikan.

Oleh karena itu, pihaknya bekerja sama dengan Desa Pakraman Nongan untuk menyelenggarakan sosialisasi terkait dengan tanah milik desa adat setempat. Masalhnya, relatif banyak warga ingin melakukan penyertifikatan tanah kepemilikannya, antara lain, pekarangan desa itu.

Untuk melakukan sosialisasi, pihaknya bekerja sama dengan bendesa adat setempat dalam pengerahan warga, tokoh masyarakat, dan pemangku kepentingan yang ada di desa tersebut.

"Kami dalam kegiatan tersebut mengundang pakar hukum adat, yakni Prof. Dr. Wayan P. Windia dari Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar dan Ketua Majelis Madya Desa Pakraman (MDDP) Kabupaten Karangasem yang diwakili Sekretaris MMDP Karangasem Nyoman Putra Suarjana," ucapnya.

Dalam kesempatan tersebut, narasumber Wayan Windia mengatakan bahwa menyikapi permasalahan tanah di desa adat harus sesuai dengan aturan yang tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan dan Undang-Undang Pokok Agaria.

Dalam aturan tanah desa, kata dia, terbagi dalam tiga hal, yakni "karang ayahan desa" (pekarangan yang ada di desa adat sejak turun-temurun dan ditempati warga), tanah desa dan tanah "pelaba" desa.

"Untuk melakukan langkah persertifikatan itu harus berdasarkan kesepakatan desa. Bagi yang menempati tidak bisa secara leluasa dan kemauan pribadi untuk melakukan pembukaan berupa sertifikat hak milik," ujarnya.

Menurut dia, harus melalui "paruman desa" rapat desa untuk mencarikan jalan keluar terhadap persoalan yang selama ini dihadapi masyarakat. Biasanya karang desa secara sah akan ditempati oleh warga (krama) yang masuk dalam keluarga desa adat.

"Sebagai warga `wed" (asli) yang menempati karang desa memiliki kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh individu bersangkutan. Di Bali, misalnya, bagi warga `wed` kewajiban mebanjar adat dengan tanggung jawab memelihara Pura Desa, Pura Bale Agung, dan Pura Dalem setempat," katanya.

Sementara itu, Putra Suarjana mengatakan bahwa keberadaan desa adat di Bali sangat herat kaitnya dengan tanah desa yang ditempati sebagai pekarangan rumah.

Jika individu atau warga masyarakat menempati tanah secara turun-temurun sudah dipastikan adalah tanah "ayahan atau welayat" desa adat setempat.

Oleh karena itu, jika ada warga ingin menyertifikatkan tanah yang ditempati (pekarangan), harus berdasarkan kesepakatan dari desa adat setempat. Pasalnya, tanah desa adat ditempati memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang berkelanjutan, yakni memeliharan sesuai dengan tujuan adanya desa adat itu.

Bendesa Adat Nongan Gusti Ngurah Wiryanata, M.Si. mendukung kegiatan yang dilakukan mahasiswa KKN di desanya, karena dengan langkah kegiatan tersebut permasalahan yang terjadi di desa bisa dicarikan jalan keluarnya.

Peran mereka yang sedang mengikuti tugas KKN, menurut dia, sangat penting untuk mengaplekasikan disiplin ilmu yang didapat di bangku kuliah.

"Mareka bisa melihat persoalan dan potensi secara langsung di desa sehingga kelak bisa memberikan masukan dan pemecahan permasalahan yang terjadi di desa bersangkutan," katanya.(WDY)

Pewarta: Pewarta: I Komang Suparta

Editor : I Komang Suparta


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017