Denpasar (Antara Bali) - Kalangan DPRD Provinsi Bali sepakat dengan pandangan Gubernur Bali terkait usulan mengkaji jumlah "bendega" atau nelayan dikaitkan dengan implementasi konsep "Tri Hita Karana" untuk penyempurnaan penyusunan rancangan peraturan daerah.

"DPRD Bali sepakat adanya pengkajian yang lebih mendalam terhadap hal-hal tentang keberadaan jumlah populasi bendega yang berkaitan dengan Tri Hita Karana (tiga hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, dengan sesama dan lingkungan) , pengertian bendega dan palemahannya (wilayahnya), awig-awig, serta materi muatan tentang pengaturan, pengakuan dan perlindungan terhadap bendega," kata Wakil Ketua Pansus Raperda Bendega DPRD Provinsi Bali I Wayan Rawan Atmaja membacakan tanggapan fraksi-fraksi di Denpasar, Selasa.

Menurut Atmaja, berdasarkan data, terdapat 114 Pura Segara (pura di pinggir laut) di Bali yang menunjukkan keberadaan bendega sebagai bentuk kearifan lokal yang masih tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Bali.

DPRD Bali juga menegaskan keberadaan Pura Segara menunjukkan eksistensi bendega di Provinsi Bali terkait dengan adanya filosofi Tri Hita Karana.

"Terkait dengan pengaturan dalam awig-awig (hukum adat tertulis), tidak dapat dilakukan penyeragaman agar kearifan lokal yang ada di masing-masing daerah masih tumbuh dalam arti aspek budaya sebagai suatu kesatuan yang tidak terpisahkan," kata Atmaja.

DPRD Bali juga sepakat dengan saran Gubernur berkenaan dengan aspek legal drafting atau teknis penyusunan agar mengacu pada UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan akan diadakan penyesuaian-penyesuaian.

Sidang Paripurna DPRD Bali ini dipimpin Ketua DPRD Bali Nyoman Adi Wiryatama dan dihadiri oleh anggota dewan setempat serta kepala organisasi perangkat daerah di lingkungan Pemerintah Provinsi Bali.

Sebelumnya Gubernur Bali Made Mangku Pastika meminta agar Rancangan Peraturan Daerah tentang Bendega (nelayan) yang merupakan inisiatif Dewan provinsi setempat agar dilakukan kajian kembali.

Dia mengemukakan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Penambak Garam, memberikan kewenangan kepada pemerintah provinsi untuk menetapkan kebijakan di bidang perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam sesuai urusan yang menjadi kewenagan provinsi.

"Untuk itu, seyogyanya subtansi materi muatan yang diatur dalam raperda hendaknya mengacu pada undang-undang dimaksud, dengan tetap mengadopsi nilai-nilai luhur kearifan lokal di bidang perikanan," ujar Pastika.

Selain itu, tambah Pastika agar dilakukan pengkajian kembali terhadap keberadaan dan jumlah populasi bendega (nelayan) yang berkaitan dengan implementasi konsep Tri Hita Karana serta pengertian bendega.

"Pengertian bendega itu apakah nelayan ataukah lembaga. Kalau nelayan, ini sebagian besar di Bali justru bukan beragama Hindu," ujarnya. (WDY)

Pewarta: Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017