Denpasar (Antara Bali) - Kepala Seksi Bimdal Penanggulangan Penyakit, Dinas Kesehatan Provinsi Bali dr Cynthia Sulaimin mengatakan, pemahaman komprehensif para remaja di Pulau Dewata mengenai HIV/AIDS masih tergolong minim.
"Di daerah ini, pemahaman secara utuh dan menyeluruh mengenai HIV/AIDS dari penduduk yang berusia 15-24 tahun berada dalam kisaran 19,1 persen," katanya pada workshop memerangi HIV/AIDS menuju percepatan pencapaian "Millenium Development Goals 2015" di Denpasar, Sabtu.
Besaran angka yang disampaikan itu, kata dia, berdasarkan hasil riset kesehatan daerah yang telah dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan RI pada 2010.
"Para remaja umumnya tahu apa itu HIV/AIDS dan darimana penularannya. Hanya saja, pemahaman mereka masih sepotong-sepotong," paparnya.
Ia menyebutkan, seperti masih ada keengganan pada diri remaja pada khususnya dan orang dewasa pada umumnya untuk melakukan pencegahan atau penularan HIV/AIDS, meskipun mereka telah mengetahui akibat buruk yang akan ditimbulkan di kemudian hari.
"Ini karena pengetahuan para remaja belum optimal. Padahal pengetahuan itu penting untuk memproteksi mereka agar tidak sampai tertular HIV/AIDS," ucapnya.
Cynthia mengemukakan, di sekolah dan perguruan tinggi sebenarnya telah ada kelompok yang berfungsi membantu menyebarluaskan informasi HIV AIDS, yakni melalui Kelompok Siswa Peduli AIDS dan Narkoba (KSPAN) dan Kelompok Mahasiswa Peduli AIDS (KMPA).
Kelompok-kelompok itu menjadi bibit informasi yang akan menularkan pengetahuannya kepada teman-teman mereka.
"Hanya saja karena KSPAN dan KPA sebagai sebuah ekstrakurikuler, menjadi tak banyak yang terlibat. Untuk merekrut para siswa dan mahasiswanya pun haruslah orang-orang yang memang punya minat akan bahaya narkoba dan AIDS," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Bagian Kesra Biro Kesra Setda Provinsi Bali Dra Ketut Tuti Karnasih MSi, yang juga menjadi pembicara dalam acara itu, mengatakan pentingnya memasukkan materi HIV/AIDS dalam kurikulum sekolah.
"Kami juga telah berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi Bali agar materi tersebut bisa terintegrasi dalam intrakurikuler. Dalam pelajaran olahraga dan biologi, misalnya," tuturnya.
Namun sayang, kata Tuti melanjutkan, kurikulum yang ada selama ini merupakan aturan baku yang telah ditetapkan secara nasional. "Untuk mengubahnya harus ada keputusan di tingkat nasional," ucapnya.
Berdasarkan data, situasi jumlah penderita HIV/AIDS di Bali dari tahun 1987 hingga November 2010 tercatat sebanyak 3.835 orang.
"Ini baru data permukaan yang dihimpun berdasarkan kesukarelaan penderita yang memeriksakan diri ke rumah sakit," ucap Tuti, menjelaskan.
Diprediksi, total pengidap HIV/AIDS di Bali sekitar tujuh ribuan jiwa, dan sekitar tiga ribuan yang tampaknya kini belum teridentifikasi.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011
"Di daerah ini, pemahaman secara utuh dan menyeluruh mengenai HIV/AIDS dari penduduk yang berusia 15-24 tahun berada dalam kisaran 19,1 persen," katanya pada workshop memerangi HIV/AIDS menuju percepatan pencapaian "Millenium Development Goals 2015" di Denpasar, Sabtu.
Besaran angka yang disampaikan itu, kata dia, berdasarkan hasil riset kesehatan daerah yang telah dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan RI pada 2010.
"Para remaja umumnya tahu apa itu HIV/AIDS dan darimana penularannya. Hanya saja, pemahaman mereka masih sepotong-sepotong," paparnya.
Ia menyebutkan, seperti masih ada keengganan pada diri remaja pada khususnya dan orang dewasa pada umumnya untuk melakukan pencegahan atau penularan HIV/AIDS, meskipun mereka telah mengetahui akibat buruk yang akan ditimbulkan di kemudian hari.
"Ini karena pengetahuan para remaja belum optimal. Padahal pengetahuan itu penting untuk memproteksi mereka agar tidak sampai tertular HIV/AIDS," ucapnya.
Cynthia mengemukakan, di sekolah dan perguruan tinggi sebenarnya telah ada kelompok yang berfungsi membantu menyebarluaskan informasi HIV AIDS, yakni melalui Kelompok Siswa Peduli AIDS dan Narkoba (KSPAN) dan Kelompok Mahasiswa Peduli AIDS (KMPA).
Kelompok-kelompok itu menjadi bibit informasi yang akan menularkan pengetahuannya kepada teman-teman mereka.
"Hanya saja karena KSPAN dan KPA sebagai sebuah ekstrakurikuler, menjadi tak banyak yang terlibat. Untuk merekrut para siswa dan mahasiswanya pun haruslah orang-orang yang memang punya minat akan bahaya narkoba dan AIDS," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Bagian Kesra Biro Kesra Setda Provinsi Bali Dra Ketut Tuti Karnasih MSi, yang juga menjadi pembicara dalam acara itu, mengatakan pentingnya memasukkan materi HIV/AIDS dalam kurikulum sekolah.
"Kami juga telah berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi Bali agar materi tersebut bisa terintegrasi dalam intrakurikuler. Dalam pelajaran olahraga dan biologi, misalnya," tuturnya.
Namun sayang, kata Tuti melanjutkan, kurikulum yang ada selama ini merupakan aturan baku yang telah ditetapkan secara nasional. "Untuk mengubahnya harus ada keputusan di tingkat nasional," ucapnya.
Berdasarkan data, situasi jumlah penderita HIV/AIDS di Bali dari tahun 1987 hingga November 2010 tercatat sebanyak 3.835 orang.
"Ini baru data permukaan yang dihimpun berdasarkan kesukarelaan penderita yang memeriksakan diri ke rumah sakit," ucap Tuti, menjelaskan.
Diprediksi, total pengidap HIV/AIDS di Bali sekitar tujuh ribuan jiwa, dan sekitar tiga ribuan yang tampaknya kini belum teridentifikasi.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011